(Cerpen dari Seri: “Di Mana Kita Bermula? Bukan Titik, Tapi Lingkaran.”)
***
Stasiun Tua itu kini tak lagi bernapas dengan suara mesin besi, tapi dengan musik akustik, aroma kopi, dan langkah-langkah pengunjung yang mencari nostalgia. Dinding batu bata yang dulu kusam kini berubah menjadi mural berwarna hangat; loket-loket tua dipertahankan seperti artefak; dan di antara semuanya, di Peron Lima, ada deretan kios seni kecil yang menjadi denyut baru kawasan itu.
Di salah satu kios kayu, Gina sedang memasang jarum jam kecil yang bergerak pelan seperti sedang belajar bernapas lagi. Tangannya terampil, teliti, dan rapi—sifat yang membuatnya jadi pembuat jam tangan kustom yang terkenal di Art District.
Kiosnya bernama “Jam-Jam dari Masa Kita.”
Sebenarnya ia benci nama itu. Terlalu sentimental. Terlalu jujur.
Tapi… itulah nama yang spontan ia ucapkan saat tim kurator menanyakannya pertama kali.
“Masa kita”—ya, masa ketika ia masih percaya bahwa seseorang seperti Ravi akan tetap tinggal.
Gina memutar obeng mini. “Tuhan,” gumamnya, “kenapa gue masih mikirin cowok itu di umur segini?”
Belum sempat ia menertawakan dirinya sendiri, seorang panitia event mendatangi kiosnya.
“Gina, nanti jam tiga kamu siaran bareng Radio Peron ya? Host-nya sini nih… Ravi. Kamu pasti tahu, kan? Dia yang—”
“Aku tahu,” potong Gina cepat. “Tenang. Aku siap.”
Senyumnya kecil, singkat, dan penuh kontrol. Tapi di dalam dadanya, jantungnya baru saja mengguncang peron kecil itu.
Ravi.
Nama yang seperti gema, muncul lagi tepat saat ia paling tidak ingin mengingatnya.
***
Di studio mini Radio Peron, Ravi baru saja menyelesaikan segmen “Cerita Orang yang Datang dan Pergi.”
Suara itu—lembut, renyah, sedikit serak di ujungnya—adalah suara yang pernah membuat Gina jatuh cinta tanpa sadar. Kini ia jadi penyiar paling disukai di kompleks Art District.
“Acara berikutnya,” kata produser, “wawancara dengan pengrajin jam. Mantan kampus lu tuh kayaknya.”
Ravi terdiam sejenak.
Ia tahu itu Gina.
Tentu saja ia tahu.
Tidak ada orang lain yang bisa membuat jam dari roda gigi tua kereta, baut lampu peron, dan kepingan logam yang ia temukan dulu-dulu.
Ravi menghela napas. “Gue kira dia nggak bakal mau tampil di acara gue.”
“Eh, dia bilang siap kok.”
Ravi tertawa pelan. “Ya Tuhan… ini tanda baik atau tanda mau mati muda ya?”
Produser menepuk punggungnya. “Tenang. Paling cuma canggung doang. Toh udah bertahun-tahun.”
Bertahun-tahun.
Tapi Ravi tahu betul: beberapa lingkaran tidak pernah selesai hanya dengan waktu.
Di studio mini Radio Peron, Ravi baru saja menyelesaikan segmen “Cerita Orang yang Datang dan Pergi.”
Suara itu—lembut, renyah, sedikit serak di ujungnya—adalah suara yang pernah membuat Gina jatuh cinta tanpa sadar. Kini ia jadi penyiar paling disukai di kompleks Art District.
“Acara berikutnya,” kata produser, “wawancara dengan pengrajin jam. Mantan kampus lu tuh kayaknya.”
Ravi terdiam sejenak.
Ia tahu itu Gina.
Tentu saja ia tahu.
Tidak ada orang lain yang bisa membuat jam dari roda gigi tua kereta, baut lampu peron, dan kepingan logam yang ia temukan dulu-dulu.
Ravi menghela napas. “Gue kira dia nggak bakal mau tampil di acara gue.”
“Eh, dia bilang siap kok.”
Ravi tertawa pelan. “Ya Tuhan… ini tanda baik atau tanda mau mati muda ya?”
Produser menepuk punggungnya. “Tenang. Paling cuma canggung doang. Toh udah bertahun-tahun.”
Bertahun-tahun.
Tapi Ravi tahu betul: beberapa lingkaran tidak pernah selesai hanya dengan waktu.
***
Wawancara dimulai dengan formalitas kaku. Gina duduk tegak, meletakkan tiga jam kustom sebagai properti, sementara Ravi mencoba menjaga nada suaranya tetap netral.
“Selamat datang di Radio Peron,” ucap Ravi. “Hari ini kita kedatangan Gina—seorang pembuat jam yang karyanya sering kita lihat di area peron lima.”
“Terima kasih sudah mengundang,” jawab Gina. Suaranya datar. Profesional.
“Tentu,” kata Ravi, sembari menatapnya sekilas. “Aku selalu penasaran… kenapa jam?”
Pertanyaan itu sederhana—tapi menohok.
Gina menggerakkan jarinya di atas meja. “Karena menurutku… waktu bukan garis lurus. Dia selalu kembali ke tempat yang sama, Ravi.”
Ravi menelan ludah. Itu jawaban yang terlalu menyentuh.
Atau… terlalu mirip dengan dirinya.
“Lalu,” ia memaksa dirinya tersenyum, “karya mana yang paling berkesan buat kamu?”
Gina membuka kotak kecil. “Ini.”
Ia mengeluarkan jam saku tua berlapis tembaga. Jarumnya patah. Bodinya penuh goresan.
Ravi terpaku.
Itu jam pemberian Gina pada ulang tahunnya—bertahun-tahun lalu—sebelum ia pergi tanpa penjelasan.
“Gue nemuin ini di pasar barang antik belakang stasiun,” kata Gina pelan. “Anehnya… kembali ke gue lagi.”
Suasana studio membeku.
Ravi menyentuh jam itu perlahan. “Aku kira jam ini hilang.”
“Hilang,” sahut Gina, “bukan dibuang?”
“Gina…” suara Ravi melembut. “Gue nggak pernah buang apa pun dari lu.”
Itu bukan kalimat yang ia rencanakan.
Itu keluar seperti pengakuan yang menunggu bertahun-tahun untuk keluar.
Studio radio perlahan menjadi lebih sunyi daripada stasiun yang telah lama mati.
***
Setelah siaran selesai, keduanya berdiri dalam diam. Ravi memainkan topi kupluknya, sedangkan Gina berpura-pura sibuk merapikan kotak jam.
“Aku… janji bukan drama,” Ravi memecah keheningan. “Tapi boleh gue jelasin kenapa gue pergi dulu?”
Gina menatapnya, untuk pertama kalinya sejak bertemu kembali.
“Mending kita ke Peron Lima,” katanya akhirnya. “Gue nggak mau nangis di studio.”
Ravi mengangguk. “Gue juga.”
Mereka berjalan berdua menuju peron tua itu. Orang-orang sibuk dengan galeri, kedai kopi, dan booth seni. Tapi buat mereka, semuanya mumuh, redup, seperti dunia sedang memberi ruang khusus untuk dua jiwa yang tertinggal.
Di kursi kayu peron, Ravi duduk dengan napas panjang.
“Gue pergi waktu itu,” ucapnya, “karena gue dapet panggilan kerja dari radio besar di kota lain. Semua orang bilang itu kesempatan langka. Tapi gue… gue takut.”
“Tapi kenapa nggak ngomong, Rav?” suara Gina retak. “Kenapa gue harus dengar dari orang lain bahwa lu pergi—dan lu pergi tanpa pamit?”
“Aku takut kamu nahan aku,” kata Ravi jujur. “Dan aku lebih takut lagi kalau aku minta kamu ikut… tapi kamu nggak mau.”
Hening menggulung cepat.
Gina memejamkan mata. “Jadi, intinya… kita berpisah karena lu terlalu takut bicara.”
“Iya.” Ravi menunduk. “Dan itu salah. Gue tahu.”
Air mata Gina tidak jatuh. Tapi matanya merah. Dan itu lebih sakit daripada tangisan.
“Aku nemuin jam saku itu dua bulan lalu,” katanya pelan. “Pas aku liat jam ini, aku sadar: bagian dari masa lalu gue bakal kembali, entah gue siap atau enggak.”
Ravi mengangkat kepalanya, suara hampir berbisik.
“Lalu sekarang… lu siap?”
Pertanyaan itu menggantung.
Gina memandang jam saku itu. Jarum jamnya patah; tidak bergerak. Tapi lingkaran logamnya masih utuh, masih mampu menutup, masih mampu mengikat.
“Aku nggak tahu,” jawab Gina jujur. “Tapi kalau jam ini bisa diperbaiki… mungkin kita juga bisa.”
Ravi tersenyum kecil—senyum yang pernah membuat Gina jatuh cinta dulu. “Kalau gitu… boleh gue minta satu kesempatan? Bukan untuk balik jadi kita. Bukan untuk nyelesain apa-apa. Cuma… buat mulai ngomong jujur dari awal.”
Gina mengambil jam itu, membuka tutupnya pelan. “Satu kesempatan.”
Ravi menahan napas.
“Tapi bukan titik.” Gina menatapnya. “Kita mulai dari lingkaran baru.”
***
Mereka berjalan kembali ke area kios. Gina menyerahkan jam saku itu ke Ravi.
“Besok jam dua, balik ke sini. Gue perbaikin.”
“Serius?”
“Serius.”
“Dan… kita ngobrol lagi?”
“Kalau gue nggak kabur, iya.”
Ravi tertawa kecil. “Oke. Gue janji nggak bikin lu kabur.”
Saat Ravi pergi, Gina memegang dadanya sendiri. Rasanya seperti peron tua itu bergetar kembali—bukan karena kereta, tapi karena sesuatu yang sudah lama berhenti bergerak.
Mungkin waktu tidak pernah benar-benar berjalan lurus.
Mungkin ia selalu kembali ke tempat seseorang harus memperbaiki sesuatu yang rusak.
Dan bagi Gina serta Ravi, lingkaran itu mulai bergerak lagi.