---
🌑✨ Happy Reading, Penjelajah Kata…
Sebelum kamu masuk ke cerita ini, tarik napas perlahan.
Kisah ini bukan tentang cinta yang berisik, bukan tentang pertemuan yang terang—
tapi tentang dua jiwa yang bertemu di tempat yang seharusnya tidak pernah menyatukan siapa pun.
Jika kamu sedang ingin sesuatu yang berbeda, lebih gelap tapi hangat, lebih sunyi tapi berarti…
maka ini untukmu.
---
CERPEN: “Kompas yang Berputar Saat Namamu Disebut”
Tokoh:
Sava, lelaki pendiam yang hidup dengan prinsip “jangan terlihat bila tidak perlu”.
Rhea, gadis misterius yang muncul seperti angin malam—senyap tapi meninggalkan jejak.
---
Hujan baru saja berhenti ketika Sava memasuki perpustakaan tua itu. Malam menggantung rendah, baunya seperti tanah basah dan debu buku yang lama tidak disentuh. Tempat itu harusnya sudah tutup, tapi lampu di meja pojok masih menyala redup.
Di sana, duduk seorang gadis.
Rhea.
Rambutnya jatuh hingga bahu, dan jemarinya menyentuh halaman buku seakan ia tidak membaca—ia berbicara dengan kata-kata di dalamnya. Ada sesuatu pada Rhea yang membuat Sava merasa seperti sedang menatap sesuatu yang tak seharusnya ia pahami.
“Perpustakaannya belum tutup,” katanya tiba-tiba, tanpa menoleh.
Suara itu rendah, tenang, tapi mengandung sesuatu yang tidak bisa Sava identifikasi.
“Aku tahu,” jawab Sava pelan.
“Lalu kenapa kamu masuk dengan muka seperti orang tersesat?”
Sava terdiam. Ia tidak tahu apakah ia sedang diolok atau dipahami terlalu cepat.
“Aku… cuma butuh tempat yang sunyi,” katanya akhirnya.
“Kamu nyasar ke tempat yang tepat.”
Rhea menutup bukunya.
“Perpustakaan ini lebih sunyi daripada pikiran manusia.”
Sava ingin tertawa, tapi tidak keluar.
Rhea kemudian menatapnya. Tatapannya seperti kompas yang berputar—tidak mencari arah mata angin, tapi mencari sesuatu di dalam diri Sava.
“Kamu Sava, kan?” tanyanya.
Sava mengangguk. “Kita pernah satu perpustakaan minggu lalu.”
“Bukan itu,” gumam Rhea. “Aku tahu kamu karena seseorang menyebut nama kamu di mimpiku.”
Sava menegang. “Mimpimu?”
Rhea berdiri, mengambil tasnya. “Apa kamu percaya kalau beberapa orang memang ditakdirkan bertemu bahkan sebelum saling mengenal?”
Sava menelan ludah. Ada sesuatu yang membuat dadanya bergerak lebih cepat dari pikirannya.
Rhea berjalan melewatinya, tapi berhenti tepat di sampingnya. Ia berbicara tanpa menatap.
“Kamu terlihat seperti orang yang tidak pernah bertanya apa pun. Tapi hati kamu… seperti orang yang diam-diam menunggu jawaban.”
Sava menutup buku yang tadi ia ambil sembarangan. “Jawaban tentang apa?”
Rhea tersenyum tipis. “Tentang kenapa kamu selalu merasa sendirian meski banyak orang di sekelilingmu.”
Itu menampar Sava lebih dari yang ia akui.
Sejak kecil, ia punya dunia di dalam kepala yang orang lain tidak pernah masuk.
Kadang itu aman.
Kadang itu sepi.
Rhea melangkah ke luar pintu, tapi sebelum pergi ia menoleh:
“Besok di tempat ini. Jam yang sama. Bawa sesuatu yang kamu takut kehilangan.”
---
Keesokan malamnya, perpustakaan itu kembali sunyi. Sava datang lebih telat dari biasanya, membawa sesuatu yang ia sendiri ragu untuk tunjukkan—sebuah kompas lama peninggalan ayahnya yang sudah meninggal.
Ia menemukannya di meja Rhea.
“Apa itu?” tanya Rhea lembut.
“Kompas ayahku,” Sava menjawab pelan. “Dia dulu pelaut. Ini satu-satunya peninggalannya.”
Rhea mengambil kompas itu dengan sangat hati-hati.
“Kompas selalu mencari utara. Tapi manusia…”
Ia menatap Sava lama sekali.
“…selalu mencari seseorang.”
Sava menahan napas.
Rhea membuka kompas itu—dan jarumnya berputar cepat, seperti kehilangan arah. Padahal tidak ada medan magnet di situ.
“Seharusnya jarumnya nggak gini,” gumam Sava bingung.
Rhea mengangkat wajahnya, dan untuk pertama kalinya Sava melihat sesuatu di mata gadis itu:
kedalaman. sepi. rindu.
“Jarumnya hanya akan berhenti,” kata Rhea, “kalau orang yang kamu cari sedang ada di depanmu.”
Sava menelan ludah.
“Rhea… kamu ngomong apa?”
Rhea memegang kompas itu dengan kedua tangan dan mendekat satu langkah.
“Kalau aku bilang… aku sudah memperhatikanmu jauh sebelum kamu memperhatikan aku… kamu percaya?”
Sava kehilangan kata-kata.
Rhea tersenyum pelan, seperti sedang menahan sesuatu yang lama ia simpan.
“Setiap kali aku mimpi tentang laut, kompas ini muncul. Dan selalu berputar sampai aku menyebut namamu.”
Sava merinding.
“Kenapa aku?”
“Karena kamu orang yang tidak pernah mencari siapa pun… tapi tetap ditemukan.”
Ketika Rhea mengembalikan kompas itu, jarumnya perlahan berhenti bergerak.
Tepat mengarah ke dada Sava.
Tidak ke utara.
Tidak ke selatan.
Ke dirinya.
Rhea memandangnya lama, lalu berkata pelan—seperti kalimat yang seharusnya tidak diucapkan dengan lantang:
“Kalau kamu mau… aku bisa jadi arahmu.”
Sava merasa dunia menjadi sangat hening.
Bukan hening yang kosong—
hening yang penuh kehadiran seseorang.
Rhea menambahkan dengan suara yang lebih lembut dari hujan:
“Dan kamu… bisa jadi jawaban yang selama ini aku cari.”
Jarum kompas tetap diam.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Sava tahu bahwa ia tidak sedang tersesat.
Ia baru saja menemukan seseorang.
---
🌒 Moral Cerita
Tidak semua orang mencari cinta.
Beberapa orang hanya mencari ketenangan.
Dan terkadang… ketenangan itu datang dalam bentuk seseorang yang melihat kita
—bukan seperti orang lain melihat—
tapi seperti diri kita ingin dipahami.
Kadang, kompas hati berhenti bukan pada arah utara,
tapi pada seseorang yang membuat kita tidak ingin pergi lagi.
---
✍️ Catatan Penulis
Terima kasih, pembaca baik hati, sudah mengikuti kisah yang lebih gelap dan sunyi ini.
Semoga kamu menemukan seseorang yang membuat jarum “kompas” di hatimu berhenti berputar.
Kalau kamu butuh cerita lain—lebih lembut, lebih gelap, lebih chaotic, lebih manis, atau lebih emosional—
tinggal bilang saja.
Dunia kata-kata selalu siap dibuka lagi.
Sampai jumpa di cerita berikutnya. 🌙