---
🌙✨ Happy Reading, Dear Reader…
Selamat membaca, pembaca yang baik hati.
Tarik napas pelan… biarkan dunia luar mereda sejenak.
Hari ini kamu akan masuk ke sebuah kisah tentang dua hati yang bertemu bukan karena kebetulan, tapi karena waktu diam-diam merajut jalannya sendiri.
Semoga ceritanya menemanimu—entah kamu sedang butuh kehangatan, pelarian kecil, atau sekadar ingin jatuh cinta lagi lewat kata-kata.
Mari mulai.
---
CERPEN: “Padang Senja di Balik Jendela”
Tokoh:
Mira, gadis tenang dengan dunia kecilnya—suka kopi hitam, hujan, dan kata-kata.
Ardan, pemilik senyum yang jarang muncul tapi ketika muncul, rasanya seperti matahari yang muncul setelah berhari-hari mendung.
---
Senja selalu menjadi jam favorit Mira. Ia duduk di dekat jendela kamar kosnya, memandangi langit yang perlahan berubah dari jingga ke keemasan. Di permukaan meja kecilnya, sebuah buku tulis penuh coretan puisi terbuka. Jendela membiarkan angin sore masuk, membawa aroma tanah dan suara anak-anak yang pulang dari surau.
Hari itu, ia tidak menyangka seseorang akan menghampiri dunianya yang sunyi.
Tok-tok.
Suara ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh.
“Mira?”
Suara itu familiar—dalam, teduh, punya gema lembut yang selalu muncul di antara deretan suara di kantin kampus.
Ardan.
Teman satu kelas yang jarang bicara, jarang hadir di keramaian, tapi entah kenapa selalu hadir di ingatan Mira.
Mira membukakan pintu. “Ada apa?”
Ardan menggaruk tengkuknya gugup. “Ehm… aku pinjam buku catatanmu waktu kuliah tadi… aku cuma mau balikin.”
Ia mengulurkan buku yang dihiasi sticky notes warna-warni.
Bukan Mira kalau ia tidak menata catatan seperti seni.
“Oh, makasih. Kamu bisa naruh di meja aja.” Mira tersenyum kecil.
Ardan masuk pelan, menatap kamar Mira yang sederhana: rak kecil, lampu warm tone, jendela yang dibiarkan terbuka, dan buku tulis penuh puisi di sampingnya.
“Kamu nulis?” tanyanya sambil menunjuk buku itu.
Mira menutupnya cepat. “Ah… cuma iseng.”
Ardan tersenyum tipis. “Kamu selalu bilang ‘iseng’, tapi aku pernah baca puisi kamu waktu kau tinggalkan di meja kelas. Itu bagus banget. Hangat.”
Wajah Mira memanas. “Kamu baca…?”
Ia menunduk, malu tapi juga… entah kenapa senang.
“Aku nggak sengaja. Tapi sejak itu… aku nunggu kapan kamu nulis lagi,” ujar Ardan jujur.
Hening tercipta, tapi bukan hening yang canggung—lebih seperti lembutnya kabut yang turun perlahan di pagi hari.
Mira akhirnya duduk kembali di dekat jendela. “Kalau mau… kamu boleh duduk dulu. Sembari nunggu senja selesai.”
Ardan mendekat. “Aku boleh?”
“Kamu udah duduk kok,” Mira tertawa kecil.
Dan saat itu Ardan baru sadar—ia tanpa sadar sudah menempati kursi kecil dekat meja.
Senja menyorot wajah mereka dengan cahaya keemasan.
Angin tipis masuk, membawa aroma tanah dan suara dunia yang pelan-pelan menutup hari.
---
“Kenapa kamu suka senja?” tanya Ardan.
Mira melipat lutut ke atas kursi. “Karena senja itu jujur. Ia nggak buru-buru, tapi tetap pasti. Ia mengajarkan bahwa sesuatu yang indah… nggak harus abadi.”
Ardan menatapnya lama. “Atau mungkin… sesuatu yang indah bisa abadi kalau kita menjaganya.”
Mira menelan ludah. Kalimat itu terlalu lembut untuk dibiarkan lewat begitu saja.
“Ardan…”
“Ya?”
“Kenapa kamu datang sore ini? Hanya buat balikin buku?”
Ardan memalingkan pandangan ke luar jendela. Senja memantul di matanya.
“Karena aku capek nunggu alasan buat datang. Jadi… aku bikin alasan sendiri.”
Mira terdiam.
“Aku nggak pandai ngomong hal-hal manis,” lanjut Ardan pelan, “tapi… kamu selalu muncul di pikiranku di jam-jam yang paling sunyi. Entah di perpustakaan, entah pas aku lagi denger hujan, atau pas aku ngerjain laporan sampai malam.”
Ia menghela napas. “Aku nggak tahu ini apa. Tapi… kalau boleh jujur, aku ngerasa kayak… aku selalu cari kamu.”
Dadanya bergetar pelan, seperti baru saja melepaskan beban lama.
Mira merasakan dadanya ikut menghangat. “Aku pikir kamu cuma cuek…”
“Aku takut.”
Satu kata itu keluar seperti kejujuran yang sudah lama menunggu.
“Aku takut kalau aku suka sama kamu, kamu bakal menjauh.”
Mira tersenyum—senyum yang halus seperti cahaya lilin.
“Aku nggak kemana-mana. Aku cuma… di sini.”
Ardan menunduk, menatap tangannya sendiri. “Boleh aku dekat? Maksudku… lebih dekat?”
Mira tidak menjawab dengan kata-kata. Ia menggeser kursinya beberapa sentimeter ke arah Ardan.
Hanya sedikit. Tapi cukup untuk membuat dunia terasa berbeda.
Ardan perlahan menoleh, dan mata mereka bertemu.
Bukan tatapan dramatis. Bukan tatapan penuh ambisi.
Hanya tatapan dua orang yang sama-sama diam-diam menyimpan rindu yang sederhana.
Senja akhirnya turun ke malam. Tapi tak ada dari mereka yang berdiri.
Mira berkata pelan, “Aku takut juga.”
Ardan menatapnya. “Kenapa?”
“Aku takut kalau aku suka kamu… aku jadi berharap kamu nggak pergi.”
Ardan menghela napas, lalu berkata pelan, hampir seperti sumpah kecil,
“Kalau kamu jatuh… aku nggak akan ninggalin.”
Dunia terasa sangat sunyi, tapi hati mereka riuh.
Di balik jendela, lampu-lampu kota menyala satu per satu.
Di dalam kamar kecil itu, dua hati akhirnya saling menemukan tempat yang selama ini mereka cari.
Dan malam pun menjadi saksi pertama.
---
🌙 Moral Cerita
Cinta tidak selalu datang dengan gemuruh atau kejutan besar.
Kadang ia hadir diam-diam—dalam senja yang tenang, percakapan sederhana, dan keberanian kecil untuk tetap tinggal.
Yang paling penting bukan siapa yang datang paling cepat, tetapi siapa yang tetap menetap ketika semua orang pergi.
---
✍️ Catatan Penulis
Terima kasih sudah membaca sampai akhir.
Jika kamu sedang jatuh cinta, semoga kisah ini menemani hatimu.
Jika hatimu sedang patah, semoga kata-kata ini merawatnya perlahan.
Dan kalau kamu merasa sendirian… ingat, selalu ada cerita yang siap menemanimu.
Sampai jumpa di cerita berikutnya.
🌟 Happy resting. See you in the next page…
---