Malam turun seperti tirai hitam yang basah, meneteskan dingin ke bahuku saat aku melangkah ke aula tua itu. Lilin-lilin di sepanjang dinding bergetar kecil, seakan takut padanya—sosok yang berdiri di ujung ruangan, membelakangiku, memandang jendela yang dipenuhi kabut.
Namanya Arven.
Lelaki yang pernah memelukku seperti doa dan menghancurkanku seperti kutukan.
Ketika ia menoleh, matanya tampak seperti senja yang tenggelam terlalu cepat—indah, namun menyembunyikan sesuatu yang pecah di dalamnya.
“Aku tahu kau akan datang,” katanya pelan, suaranya serak namun lembut seperti malam yang mendekap.
Aku mendekat, langkahku menggema di lantai marmer yang dingin.
Bahkan udara pun terasa memanas setiap kali aku mendekati tubuhnya; seolah angin pun iri, lalu mundur memberi ruang hanya untuk kami berdua.
Ada jarak satu helaan napas di antara kami ketika ia menyentuh wajahku, perlahan, seakan takut aku akan retak.
“Kenapa kau kembali?” ia berbisik.
Pertanyaan yang sama yang selalu ia gunakan untuk menyelamatkan diri, sekaligus menghancurkanku lagi.
“Aku tidak pernah berhenti mencarimu,” jawabku.
Dan itu kebenaran yang paling menyakitkan.
Ia menunduk sedikit, keningnya hampir menyentuhku.
Sentuhan tanpa menyentuh —
sensual, namun penuh luka yang tak terlihat.
“Cinta kita ini…” gumamnya, “gelap. Kau tahu itu.”
“Aku tidak takut gelap,” balasku.
Yang tak kukatakan adalah:
aku takut kehilanganmu lebih dari aku takut pada gelap.
Arven tersenyum tipis—senyum yang selalu tampak seperti pertanda baik ataupun bencana.
Tangannya turun ke pinggangku, menahan gemetar yang bahkan ia coba sembunyikan.
“Gelap akan mengambilmu juga,” katanya.
“Tapi aku akan tetap memilihmu,” jawabku, meski dada terasa dihimpit takdir yang tak memberi pilihan.
Lilin-lilin di sekeliling padam satu per satu, seperti malam sedang menelan cahaya.
Hanya tersisa suara napas kami, beradu, ragu, lalu saling mencari.
Bukan ciuman—hanya jarak yang hampir, sangat hampir, membuat kami lupa bagaimana caranya saling meninggalkan.
Kemudian ia memelukku.
Langsung.
Kencang.
Seolah dunia akan runtuh jika ia melepaskan.
Di dadanya, aku mendengar detak yang tak stabil—
cinta yang hidup, tapi hampir mati.
“Aku ini bahaya untukmu,” katanya pelan, suaranya pecah.
Aku menutup mata.
“Aku tahu.”
Aku menarik napas dalam, mencium aroma yang selalu kuingat — hujan, asap, dan Arven sendiri.
“Dan tetap,” bisikku, “aku kembali.”
Saat itu, gelap di sudut ruangan tersenyum—aku bisa merasakannya.
Karena ia tahu sesuatu yang tak kami tahu:
Bahwa kisah kami bukan untuk diselamatkan.
Ia hanya untuk diingat…
dan ditangisi.