Bel pintu ruang perawatan berbunyi pelan, tapi Mira justru meremas ujung jaketnya seakan suara itu lebih nyaring dari detak jantungnya. Ia hanya punya satu jam sebelum dokter memutuskan melepas alat bantu napas ayahnya—dan ia belum juga berani masuk.
Selama sebulan terakhir, Mira terus menunda kunjungan. Bukan karena tak sayang, tapi karena rasa bersalah yang menempel seperti duri: ia yang memaksa ayahnya tetap bekerja meski lelaki itu sudah terlalu letih. “Ayah kuat,” katanya waktu itu. Kini kata-kata itu terasa seperti paku.
Suara suster menyusulnya di koridor. “Kalau Anda ingin bicara, lakukan sekarang. Kondisinya stabil… untuk saat ini.”
Mira mengangguk, meski tenggorokannya terasa sempit.
Ia masuk. Ruangan itu penuh dengung mesin dan bau antiseptik. Ayahnya terbaring pucat, helaan napasnya terbagi antara tubuh yang lemah dan alat yang menahan hidupnya. Mira menarik kursi dan duduk. Tangannya gemetar saat menyentuh jemari ayahnya yang dingin.
“Ayah,” bisiknya, padahal suara di dalam dadanya berteriak. “Aku… aku yang salah.”
Meski tak ada jawaban, kelopak mata ayahnya sedikit bergetar. Mira menunduk. Air mata jatuh ke punggung tangan tua itu.
Selama bertahun-tahun, ayahnya selalu mengajarinya satu hal: jangan biarkan penyesalan datang lebih dulu daripada keberanian. “Kalau kamu takut, tetap jalan. Takut itu tanda kalau kamu sedang menuju sesuatu yang penting,” kata ayahnya dulu, ketika Mira gagal lomba menulis.
Napas mesin terdengar tersengal. Taruhannya kini jelas: jika ia gagal berbicara jujur hari ini, penyesalannya akan tinggal seumur hidup.
Mira menarik napas panjang—untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, ia menatap ayahnya tanpa menghindar.
“Ayah,” katanya, lebih mantap, “terima kasih sudah hidup sekuat ini untuk aku. Aku pulang telat. Tapi aku di sini sekarang. Dan… kalau Ayah mau istirahat, aku izinkan.”
Seketika, ruangan itu hening. Hanya detak mesin yang memotong keheningan seperti jarum kecil.
Kelopak mata ayahnya bergerak sekali lagi, seolah memberi isyarat yang sulit dimengerti: bukan jawaban, tapi penerimaan.
Ketika dokter masuk untuk bertanya apakah keluarga sudah siap, Mira berdiri. Tangannya tidak lagi gemetar. “Ya,” ujarnya. “Aku siap.”
Tapi sebelum dokter menyentuh mesin, sesuatu terjadi: alat monitor menunjukkan satu helaan napas yang lebih dalam dari sebelumnya. Tidak panjang. Tidak kuat. Tapi cukup untuk membuat Mira menahan napas.
Ia memeluk tangan ayahnya perlahan. “Terima kasih… sudah menunggu aku.”
Tak ada balasan. Tapi wajah ayahnya seperti sedikit lebih tenang, seakan beban terakhirnya sudah dilepaskan.
Dalam perjalanan pulang, Mira merasa dada yang selama ini sesak akhirnya punya ruang untuk satu hal: keberanian. Bukan untuk melupakan, tapi untuk hidup tanpa terus mengutuk dirinya sendiri.
Ia menatap langit senja. “Aku jalan, Yah,” gumamnya. “Kali ini, bukan karena takut.”
Dan untuk pertama kalinya, langkah kakinya terasa mantap.
"Keberanian terbesar bukanlah menahan kehilangan, melainkan berani hadir sebelum kehilangan itu datang."
-SELESAI-