Di sebuah kota kecil yang selalu macet saat hujan—meski hujannya cuma gerimis—hidup seorang gadis bernama Nara, barista magang di kedai kopi “Aroma Pagi”.
Tugasnya sederhana: jangan menjatuhkan gelas, jangan membuat pelanggan kabur, dan jangan sekali-kali memberi gula lima sendok ke cappuccino.
Tapi anehnya, hal-hal itulah yang paling sering ia lakukan.
Suatu pagi, datang seorang cowok tinggi berkemeja biru. Wajahnya adem, tapi auranya… auranya kayak orang yang hidupnya sudah terorganisir dari A sampai Z. Namanya Rafka—pelanggan baru yang selalu memesan hal yang sama:
> “Hot latte. Tanpa gula. Tanpa drama.”
Sayangnya, bersama Nara, drama hadir otomatis.
---
Waktu Rafka menerima pesanannya, Nara tersandung… entah kaki siapa. Gelas di tangannya terbang seperti sedang audisi film aksi level rendah.
BYUR.
Latte panas mendarat tepat di dada Rafka.
Nara panik. Temannya, Reni—sesama barista tapi level lebih tinggi—langsung menepuk bahunya.
> “Tenang, Nar. Cowok itu kelihatan sabar kok. Atau minimal… dia tidak menjerit.”
Rafka hanya diam, melihat bajunya yang berubah warna.
> “Maaf… maaf banget, Kak! Ini gelas… ini lantai… ini tisu… ini hidup saya… semuanya salah!”
Rafka justru tertawa kecil.
> “Gapapa. Latte memang harusnya hangat. Bajuku saja yang kurang siap.”
Nara langsung meleleh di tempat. Reni yang melihat hanya memutar bola mata.
---
Sejak hari itu, Rafka jadi sering mampir. Katanya sih karena kopinya enak, tapi Reni selalu berkata:
> “Kopinya biasa. Yang bikin dia sering datang ya kamu, dasar kubis jatuh cinta.”
Nara menepis.
> “Ah, mana mungkin!”
Tapi tiap kali Rafka muncul, wajah Nara otomatis berubah seperti toast yang baru keluar dari toaster—merah dan kepanasan.
Rafka pun cepat akrab dengan Nara dan Reni. Bahkan dia sudah hafal kebiasaan mereka:
Nara selalu menumpahkan sesuatu minimal sekali sehari.
Reni selalu mengeluh soal gajinya padahal dia sendiri lupa mengirim berkas kenaikan gaji.
Keduanya selalu ribut kecil tapi saling sayang diam-diam.
---
Suatu sore, hujan turun deras. Hanya ada tiga orang di kedai: Nara, Reni, dan Rafka.
Nara membuat latte seperti biasa. Tapi entah kenapa, kali ini tangannya tidak gemetaran. Hatinya yang gemetaran.
Ia meletakkan cangkir itu di depan Rafka.
> “Untuk Kak Rafka… latte tanpa gula… dan tanpa tumpahan.”
Rafka tersenyum.
> “Hebat. Kamu makin jago.”
Reni dari jauh:
> “Akhirnya! Dunia aman dari bencana kopi!”
Nara nyaris menendang kakinya sendiri saking gugupnya.
Saat Rafka hendak menyeruput, ia berhenti dan menatap Nara.
> “Aku boleh minta satu hal lagi?”
> “Apa?”
> “Temannya… bukan gula, tapi nomor telepon kamu.”
Nara kaget. Reni memekik seperti alarm motor.
> “AKHIRNYA!!”
Nara menunduk malu.
> “Boleh… tapi jangan ketawain kalau aku sering tumpah-tumpah.”
> “Tenang,” kata Rafka. “Kalau kamu tumpah, aku siap jadi korbannya. Asal bukan kopi panas lagi.”
Mereka bertiga tertawa.
Hujan di luar masih turun, tapi di dalam kedai—ada cerita kecil yang mulai menghangat.
---
Sejak hari itu, Rafka dan Nara jadi makin dekat. Mereka sering nongkrong dengan Reni. Kadang mereka jalan-jalan ke taman, kadang cuma nonton film jelek bareng lalu menertawakan alurnya yang tak masuk akal.
Dan Nara?
Ia masih sering menumpahkan kopi.
Tapi kini ada seseorang yang siap mengelapnya sambil tersenyum.
Karena cinta kadang berawal dari kesalahan kecil…
atau dari latte yang jatuh tepat sasaran.