Selamat membaca📖📖
Semoga kalian sukaa👻👻
✨✨
Di sebuah desa kecil bernama Kedungwangi, ada satu rumah tua yang selalu jadi bahan bisik-bisik warga. Rumah itu milik Mbah Ratri, seorang janda berusia hampir tujuh puluh tahun. Meski tubuhnya sudah bongkok dan rambutnya seputih kapas, ia masih tinggal sendirian di rumah yang dikelilingi pekarangan luas—dan satu sumur tua di belakangnya.
Konon, sumur itu nggak pernah kering, walau kemarau panjang. Airnya jernih, tapi…gak ada warga yang berani memakainya.
Katanya, di sumur itu pernah meninggal seorang perempuan yang tak ditemukan selama tiga hari. Warga percaya arwahnya menetap di sana.
Tapi semua itu cuma cerita, sampai kejadian aneh benar-benar muncul lagi.
Suatu malam, cucu Mbah Ratri yang bernama Sukerti—gadis dua puluh tahun yang baru pindah dari kota—mengalami kejadian aneh. Ia baru seminggu tinggal di situ, dan sebagai anak kota, ia pikir semua omongan warga cuma lebay.
Malam itu, saat ia sedang menata buku, ia mendengar suara perempuan menangis lirih dari arah belakang rumah.
Pelan… serak… panjang…
“Hhhhh… hiks… hhhiks…”
Sukerti merinding. Awalnya ia kira suara kucing atau suara angin. Tapi lama-lama suara itu seperti semakin dekat. Seperti seseorang sedang duduk memeluk lutut, menangis tepat di luar jendelanya.
Ketika ia intip dari celah tirai, halaman belakang kosong. Angin bahkan tidak bergerak.
Namun suara tangisan itu masih ada.
Seolah… berasal dari dalam tanah.
Dan hanya satu hal yang ada di sana: sumur tua Mbah Ratri.
Besok paginya, Sukerti langsung cerita pada Mbah Ratri. Tapi bukannya kaget atau bingung, Mbah Ratri hanya tertawa kecil.
“Kowe krungu yo? Ya wis, ojo ndangak-ndangak ning kono. Mbiyen pancen ono sing kelangan urip neng sumur kuwi.”
Sukerti makin penasaran. Bukan takut, justru ingin tahu lebih jauh.
Larangan itu membuatnya merasa ada yang disembunyikan. Dan benar saja, malam berikutnya kejadian itu makin parah.
Pintu belakang rumah digedor keras. Bukan seperti maling. Tapi seperti seseorang yang panik, memohon dibukakan.
DUG! DUG! DUG!
“Tolongin aku… tolong buka… aku kedinginan…”
Suara perempuan itu terdengar jelas. Bukan echo, bukan hembusan, tapi suara yang benar-benar berada di depan pintu.
Sukerti mematung. Air matanya hampir jatuh tanpa alasan. Suara itu begitu memelas… begitu putus asa… sampai ada rasa iba.
Hingga suara itu,”
“Suh… ker… ti… buka… pintu…”
Nama Sukerti disebut.
Padahal ia belum pernah memperkenalkan diri pada siapa pun selain warga sekitar.
Dan dari bawah celah pintu, muncul air menetes. Bukan air jernih… tapi air keruh, kehijauan, seperti berasal dari sumur berlumut.
Keesokan paginya, Sukerti nekat mendekati sumur. Mbah Ratri sudah pergi ke pasar—kesempatan itu tidak ia lewatkan.
Ia berdiri di depan sumur tua itu, menatap ke dalam. Airnya tampak gelap dan tenang, tidak ada hembusan angin sedikit pun.
Tiba-tiba, sebuah tangan pucat muncul dari permukaan air.
Perlahan… naik ke atas… seolah seseorang ingin meraih siapa pun yang berdiri di sana.
Lalu wajah menyusul—wajah pucat dengan rambut basah menutupi setengah pipi, mulutnya biru keunguan, matanya membesar seperti menahan sakit.
"Aku… ditinggal… aku… ditenggelamkan…”
Sukerti terpaku. Tubuhnya tidak bisa bergerak.
Perempuan itu merangkak keluar dari sumur dengan suara “blub-blub” mengerikan. Bukan seperti manusia yang keluar dari air… tapi seperti mayat yang dipaksa hidup lagi.
Saat perempuan itu hampir menyentuh kaki Sukerti, tiba-tiba Mbah Ratri datang membawa kendi dan menyiramkan air ke arah sosok itu.
Seketika suara jeritan menggema, tubuh perempuan itu mencair seperti kabut dan menghilang.
Sukerti terduduk. Napasnya sesak.
Dengan suara berat, Mbah Ratri akhirnya bercerita.
Perempuan itu bernama Lastri, sahabat lama Mbah Ratri. Mereka berdua pernah menyukai laki-laki yang sama, dan sewaktu muda mereka bertengkar hebat. Suatu malam Lastri jatuh ke sumur—ada yang bilang terpeleset, ada yang bilang didorong.
Mbah Ratri selalu merasa bersalah karena malam itu ia membiarkan Lastri pulang sendiri dalam keadaan sedih.
Sejak itu, arwah Lastri sering menangis di sumur, mencari siapa pun yang mau mendengarnya.
“Arwahé dudu pengganggu, Nduk. Dheweke mung kepengin ditemani, kepengin ceritane didelok wong.”
(Arwah itu bukan pengganggu, Nak. Dia cuma ingin ditemani, ingin kisahnya dilihat orang.)
Sukerti akhirnya mengerti. Malam berikutnya, ia meletakkan bunga melati di tepi sumur dan berbisik pelan:
“Mbah Lastri… aku denger kok. Semoga sampean tenang.”
Sejak malam itu, tangisan berhenti.
Rumah kembali sunyi. Sumur tetap ada, tapi sudah tidak menakutkan lagi—hanya tinggal kenangan tentang persahabatan yang retak dan penyesalan yang terlalu lama dipendam.
"Kadang, hantu bukan selalu tentang rasa takut.
Ada yang hanya ingin didengarkan—lebih lembut dari manusia yang hidup sekalipun.
Dan penyesalan terbesar sering lahir dari kata-kata yang tidak sempat diucapkan."