Hujan turun pelan ketika Raka menunggunya di bangku taman kota. Di tangannya ada dua gelas kopi satu hitam tanpa gula, satu caramel latte favorit Naya. Setiap menit yang berlalu membuat dadanya makin sesak, seperti ada sesuatu yang sudah ia tahu akan berakhir… tapi tetap berharap salah.
Naya datang dengan payung biru, wajahnya pucat tapi berusaha tersenyum.
“Maaf telat,” katanya pelan.
Raka menyerahkan latte itu. “Gak apa. Kamu baik-baik aja?”
Naya duduk, menarik napas panjang. “Rak… aku ketemu dia tadi.”
“Tunanganmu?”
Naya mengangguk. “Dia minta aku balik.”
Keheningan menggantung. Raka menatap jalan basah tanpa berani melihat matanya.
“Dan kamu mau?” suaranya nyaris bergetar.
Naya menggigit bibir, “Aku sayang sama kamu. Tapi… aku takut. Orang tua aku, keluarga dia, semuanya udah nyusun masa depan kami. Aku capek harus sembunyi-sembunyi. Aku capek harus membuat kamu nunggu tanpa kepastian.”
Kopi hitam di tangan Raka mendadak dingin.
“Jadi, ini tentang restu?”
“Bukan cuma restu… ini tentang aku yang gak cukup berani.”
Raka menunduk. “Padahal aku siap apa pun buat kamu.”
Hujan makin deras. Naya menutup matanya, menahan tangis.
“Aku tahu… dan itu yang bikin aku makin sakit. Kamu terlalu baik buat seseorang yang pengecut seperti aku.”
Raka akhirnya menatapnya. Bukan dengan marah tapi dengan pasrah, seolah ia sudah kalah bahkan sebelum perang dimulai.
“Mungkin kita ketemu di waktu yang salah, ya?”
Naya tersenyum pahit. “Atau mungkin aku yang salah dari awalnya.”
Ia berdiri, menutup payungnya sebentar, lalu menatap Raka dengan tatapan terakhir yang ia tahu akan ia sesali seumur hidup.
“Maaf… dan terima kasih karena pernah bikin aku bahagia.”
Raka mengangguk. “Semoga kamu bahagia… meski bukan sama aku.”
Naya pergi, langkahnya menjauh, payung biru itu makin lama makin kecil sampai hilang di ujung jalan. Raka tetap duduk di bangku itu, membiarkan hujan mengguyur wajahnya. Rasanya lebih mudah begitu—air hujan bisa menyembunyikan air mata, tapi tidak bisa menyembunyikan patah yang akhirnya ia terima.
Malam itu Raka sadar:
Cinta yang indah pun bisa tumbuh di tempat yang salah. Dan keberanian untuk melepaskan terkadang lebih menyakitkan daripada kehilangan itu sendiri.