---
Raka selalu penasaran dengan hutan tua di pinggir desanya. Semua orang menghindarinya, katanya ada “pintu” yang muncul tiba-tiba dan hilang begitu saja. Tapi Raka, dengan rasa ingin tahu yang tinggi, selalu membayangkan apa yang ada di balik pintu itu.
Suatu sore, ketika matahari mulai turun, Raka berani masuk ke hutan. Suara burung dan angin menemaninya, tapi ada rasa aneh di udara—seolah ada yang memperhatikannya.
Setelah beberapa menit berjalan, ia melihat sesuatu yang aneh: sebuah pintu kayu tua berdiri di antara pepohonan, tidak ada dinding di sekitarnya, hanya pintu yang berdiri sendiri.
Raka mendekat. Tangannya gemetar saat memegang gagang pintu. Dengan napas tertahan, ia mendorong pintu itu perlahan.
Di sisi lain… tidak ada hutan lagi. Hanya jalan setapak yang dipenuhi cahaya hangat, bunga-bunga berwarna cerah, dan suara gemericik air yang menenangkan.
“Ini… seperti mimpi,” gumamnya.
Tiba-tiba, dari kejauhan muncul seorang gadis kecil, tersenyum padanya. “Kau datang akhirnya,” katanya.
Raka bingung. “Siapa kamu?”
Gadis itu menatapnya dengan mata lembut. “Aku penjaga pintu ini. Setiap orang yang tersesat di dunia nyata… bisa menemukan jalan di sini jika hatinya jujur.”
Raka menelan ludah. “Apa maksudmu?”
“Kadang, kita butuh berhenti sejenak… melihat diri sendiri, sebelum kembali ke dunia yang sesungguhnya,” jawab gadis itu.
Raka menatap sekeliling. Ruangan cahaya itu begitu hangat, damai, dan berbeda dari dunia nyata yang penuh kebisingan.
Ia sadar, pintu itu bukan sekadar misteri, tetapi pelajaran:
Bahwa terkadang, kita harus berani membuka “pintu” dalam hati—menghadapi ketakutan, rindu, dan keraguan—untuk menemukan ketenangan yang sesungguhnya.
Ketika Raka menutup pintu itu dan kembali ke hutan, matahari sudah hampir tenggelam. Tapi hatinya… terasa ringan. Dan ia tahu, suatu saat nanti, ia akan kembali, bukan karena penasaran, tapi karena ia ingin belajar lebih banyak tentang dirinya sendiri.
---