---
Setiap sore, Rania duduk di bawah pohon mangga tua di halaman sekolah. Pohon itu rindang, daunnya menari lembut diterpa angin, dan dari sana Rania bisa melihat halaman luas yang kosong kecuali satu sosok—Aldo, pemuda yang selalu tersenyum padanya dari jauh.
Rania tidak pernah berani mendekat. Dia hanya menulis, menulis di buku catatannya—tentang hari-hari yang dilalui, tentang senyum Aldo yang selalu membuat jantungnya berdetak lebih kencang, tentang rasa malu yang tak tertahankan saat mereka bertemu di koridor.
Suatu sore, Rania menemukan secarik kertas terlipat di bawah buku catatannya. Hatinya berdebar saat membuka.
> “Aku tahu kamu menulis tentang aku.
Aku juga… menulis tentang kamu.
Besok, jam 4 sore. Temui aku di bawah pohon mangga.
—A”
Hari berikutnya, Rania tiba lebih awal. Angin sore berhembus lembut, daun-daun pohon bergoyang seperti menari. Dan di sana, berdiri Aldo, tersenyum hangat.
“Rania… kamu datang,” ucapnya, suaranya serak tapi lembut.
Rania menelan ludah. “Aku… iya.”
Mereka duduk di bangku kayu yang sama, membiarkan waktu melambat. Tidak ada kata-kata panjang, hanya senyum dan pandangan yang mengerti satu sama lain.
Aldo akhirnya membuka mulut. “Aku selalu memperhatikanmu… tapi aku takut kamu tidak merasakan hal yang sama.”
Rania menatap matanya. “Aku juga… selalu memperhatikanmu, tapi tidak berani bilang.”
Mereka tertawa kecil, malu-malu, saling menatap. Daun-daun mangga jatuh satu per satu di sekitar mereka, seperti hujan kecil yang menyelimuti awal perasaan itu.
Sejak hari itu, setiap sore menjadi waktu yang ditunggu. Mereka tidak butuh kata-kata banyak—hanya ada senyum, tawa, dan secarik kertas yang menyatukan dua hati yang akhirnya berani jujur.
Dan pohon mangga itu… menjadi saksi bisu cinta pertama yang manis, hangat, dan tak terlupakan.
---