---
Namanya Safiyya. Usianya baru 19 tahun, tetapi hatinya terasa lebih tua daripada umurnya. Dia pernah jatuh terlalu dalam pada seseorang yang akhirnya meninggalkannya tanpa alasan. Sejak hari itu, Safiyya kehilangan arah.
Solatnya tidak terurus. Qur’annya berdebu. Senyumnya hanya pura-pura.
Suatu sore, ketika hujan turun perlahan, Safiyya duduk di teras rumah sambil menatap langit yang kelabu. Hatinya berbisik lemah:
“Ya Allah… kenapa aku merasa kosong sekali?”
Di tengah renungan itu, datang suara lembut dari sebelah—suara neneknya.
“Fiyya, kamu tahu kenapa hati manusia sering sakit?”
Safiyya menggeleng tanpa menoleh.
“Karena kamu terlalu berharap pada manusia,” kata neneknya lagi. “Padahal, hati itu milik Allah. Kalau kamu tidak kembali pada-Nya, kamu tidak akan pernah sembuh.”
Kata-kata itu menusuk, tapi dengan cara yang menenangkan.
Malamnya, Safiyya masuk ke kamar. Dia menatap sajadah yang sudah lama tidak disentuh. Hatinya gemetar—takut, malu, tetapi rindu pada ketenangan yang dulu pernah dia rasakan.
Dengan nafas panjang, ia mengambil wudhu dan berdiri menghadap kiblat.
Allahu Akbar.
Ketika dahinya menyentuh sajadah, air mata jatuh begitu saja. Semua luka yang selama ini ia tahan pecah pada sujud pertama itu.
“Ya Allah… aku lelah. Tolong pulihkan hatiku.”
Tidak ada suara jawaban, tetapi ada kehangatan halus menyelimuti dadanya—seakan-akan Allah berkata, "Kembalilah, Aku selalu menunggumu."
Sejak hari itu, Safiyya mulai berubah. Pelan-pelan. Tidak drastis, tidak sempurna. Kadang dia kembali terjatuh, tapi dia bangkit lagi, karena doa-doanya mulai terasa didengar.
Dia mulai membaca Quran setiap malam, meski hanya satu halaman. Dia mulai menutup auratnya dengan lebih baik. Dia mulai menjaga hatinya dari cinta yang tidak halal.
Hingga suatu hari, ketika dia duduk di musala kampus, seorang temannya berkata:
“Fiyya, kamu kelihatan berbeda. Lebih tenang… lebih bahagia.”
Safiyya tersenyum kecil.
“Bukan karena hidupku mudah,” jawabnya. “Tapi karena sekarang… aku tidak lagi berjalan sendirian.”
Dia tahu hatinya belum sempurna. Dia tahu hijrahnya masih panjang. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia melangkah tanpa takut.
Karena langkah yang dulu tertunda—akhirnya ia sambung kembali.
Dengan Allah sebagai penuntunnya.
---