---
Alya duduk di tepi tempat tidur, menatap mukena putih milik ibunya. Kainnya sudah agak kusam, benangnya sedikit terlepas di beberapa sisi, tetapi bagi Alya, mukena itu adalah harta paling berharga yang tersisa.
Sudah seminggu ibunya pergi menghadap Allah.
Rumah yang dulu penuh zikir dan suara lembut ibu kini terasa kosong. Tidak ada lagi panggilan halus yang membangunkannya setiap Subuh, tidak ada lagi tangan hangat yang menepuk bahunya sambil tersenyum.
Pagi itu, Alya membawa mukena itu ke musala kecil di rumah. Ia membentangkan sajadah, lalu mengenakan mukena lusuh itu meskipun ukurannya sedikit sempit.
Saat ia mengangkat takbir, dadanya tiba-tiba bergetar. Air mata turun tanpa bisa ditahan.
“Ya Allah… aku rindu,” bisiknya.
Ia sendiri tidak tahu apa yang paling dirindukannya—suara ibu, pelukan ibu, atau cara ibunya menuntun Alya agar selalu kembali kepada Allah di saat sedih?
Setelah salam terakhir, Alya tidak langsung bangun. Ia tetap dalam sujud, lama sekali, seolah-olah di situlah satu-satunya tempat ia merasa aman.
“Ya Allah… bagaimana aku menjalani hari-hari tanpa Ibu?”
Di tengah kesunyian itu, hatinya terasa disentuh oleh ketenangan yang sulit dijelaskan.
“Aku selalu bersamamu…”
Bukan suara manusia. Bukan bisikan. Hanya rasa damai yang tiba-tiba hadir, seolah-olah Allah sedang mengusap hatinya yang pecah.
Ketika Alya melepas mukena itu untuk dilipat, sehelai kertas kecil jatuh dari saku sampingnya.
Alya terpaku. Ia membuka lipatan kertas itu dengan tangan gemetar.
> “Alya sayang,
Jika suatu hari Ibu tiada, pakailah mukena ini saat kamu sedih.
Biar kamu tahu, doa Ibu tidak pernah berhenti naik ke langit.
Jadilah wanita yang dekat dengan Allah…
Itu sudah cukup membahagiakan Ibu.”
Air mata Alya mengalir deras—bukan hanya karena rindu, tetapi karena ia merasa disentuh oleh kasih sayang yang tidak pernah hilang meski tubuh sudah tidak ada.
Hari itu, untuk pertama kalinya sejak kepergian ibunya, Alya tersenyum kecil di antara tangisnya.
Mukena itu ia peluk erat, seperti memeluk doa yang masih hidup.
Dan dalam hatinya, ia berjanji:
“Ibu… aku akan menjadi wanita yang kamu doakan.”
---