---
Hujan petang turun tanpa henti. Jalanan sekolah mulai lengang, hanya tersisa beberapa pelajar yang menunggu jemputan. Di bawah bumbung koridor, seorang gadis bernama Liana berdiri sambil memeluk buku rapat-rapat. Dia benci hujan sejak kecil—hujan mengingatkannya pada hari ayahnya pergi untuk selamanya.
“Liana?”
Suara seorang lelaki membuatnya menoleh. Ardan, ketua kelas yang terkenal dingin, berdiri di hadapannya sambil membawa payung biru.
“Kamu tak pulang?”
Liana menggeleng. “Tunggu hujan reda.”
Ardan menatap langit gelap. “Sepertinya tak akan reda dalam waktu dekat.”
Liana mendengus kecil. “Ya sudah, aku tunggu saja.”
Ardan diam sejenak, lalu membuka payungnya. “Kalau begitu, pulang sama aku.”
Liana terkejut. Dia ingin menolak, tapi hujan makin lebat dan angin mulai menusuk. Akhirnya, dia mengangguk perlahan.
Di bawah payung biru yang sama, mereka berjalan berdampingan. Bahu mereka bersentuhan sedikit, dan entah kenapa jantung Liana berdegup lebih kencang dari biasanya.
“Kamu selalu benci hujan, ya?” tanya Ardan tiba-tiba.
Liana menunduk. “Iya… hujan membawa pergi seseorang yang penting.”
Ardan tidak bertanya lagi. Dia hanya menggeser payung sedikit, memastikan sisi Liana tetap kering meski dirinya sedikit basah.
Setelah beberapa menit, mereka sampai di depan rumah Liana. Gadis itu menatap Ardan, ragu-ragu.
“Ardan… kenapa kamu ajak aku pulang?”
Ardan tersenyum tipis—senyum yang jarang sekali terlihat. “Karena aku tahu kamu takut hujan. Dan… aku tidak suka melihat kamu sendiri menghadapi sesuatu yang kamu benci.”
Liana terdiam. Hatinya seperti dirangkul hangat, meski hujan masih turun deras.
Ardan kemudian menyerahkan payung biru itu padanya.
“Pakai ini. Untuk besok, atau hari-hari yang hujannya tidak kamu suka.”
Liana menggeleng buru-buru. “Tapi ini payung kamu—”
“Anggap saja… alasan untuk aku bisa bicara dengan kamu lagi,” Ardan memotong dengan malu-malu.
Pipi Liana memerah.
Hujan masih menari di atas atap, tetapi untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, bunyinya tidak lagi menakutkan.
Liana tersenyum kecil.
“Terima kasih, Ardan.”
Dan di bawah hujan petang itu, sebuah rasa yang baru mulai tumbuh—perlahan, tetapi nyata.
---