---
Hujan turun perlahan, membasahi kaca jendela rumah kecil di ujung desa. Di sanalah Aira selalu duduk setiap sore—di hadapan jendela yang sama—melukis sesuatu yang hanya dia mengerti.
Aira bukan lagi gadis ceria seperti dulu. Sejak abang kesayangannya, Arif, meninggal dua tahun lalu dalam sebuah kecelakaan, dunianya seakan ikut mati. Satu per satu kertas penuh dengan lukisan langit sore, ombak laut, dan matahari terbenam—semua tempat kenangan mereka.
Namun sore itu, sesuatu berbeda.
Terdengar ketukan lembut di pintu. Aira menoleh pelan. Seorang pemuda sebaya Arif berdiri di sana—tinggi, berwajah tenang, sambil memegang payung basah.
“Assalamualaikum… aku Izhar. Teman dekat Arif.”
Nama itu langsung membuat jantung Aira menegang. Ia pernah mendengarnya berkali-kali—kawan yang selalu Arif ceritakan.
Izhar melangkah masuk perlahan, seakan tak ingin mengusik ruang sunyi Aira.
“Aku datang karena… Arif menitipkan sesuatu. Katanya, berikan ini ketika kamu sudah siap.”
Aira menelan napas. Tangannya gemetar ketika Izhar menghulurkan sebuah buku sketsa kecil.
Aira membuka perlahan.
Setiap halaman berisi gambar dirinya—bukan pemandangan, bukan bangunan—tetapi Aira. Aira yang sedang tertawa, Aira yang sedang marah, Aira yang duduk termenung di jendela rumah.
Pada halaman terakhir, ada selembar catatan dengan tulisan tangan Arif.
> “Aira, kalau suatu hari dunia terasa terlalu berat, lihatlah lukisan ini. Aku tak akan kembali, tapi sayangku untukmu tidak akan hilang. Temukan cahaya baru, karena hidupmu masih panjang. Jangan berhenti melukis.” — Arif
Air mata yang selama ini Aira tahan akhirnya jatuh juga.
Izhar diam saja, membiarkan Aira menangis sepuasnya.
Setelah beberapa saat, Aira menutup buku itu dan menatap Izhar. Untuk pertama kalinya sejak dua tahun lalu, matanya tidak lagi sekosong biasanya.
“Terima kasih… sudah datang,” ucap Aira lirih.
Izhar tersenyum kecil. “Aku akan tetap ada… kalau kamu mengizinkan.”
Aira melirik jendela. Hujan sudah berhenti. Awan mulai pecah, memberikan ruang bagi cahaya jingga senja.
Untuk pertama kalinya, Aira mengangkat pensil dan mulai menggambar—bukan untuk mengenang masa lalu, tapi untuk menyambut harapan baru.
---