Malam itu turun seperti tirai beludru, menutup semua suara kecuali detak jam yang makin lama terdengar seperti napas seseorang. Di kamar sempit itu, Cyrien Seraphyne Maevara, duduk bersila di lantai, cahaya lampu kuning pucat merayap di kulitnya yang kebiru-biruan seolah sudah lama tak disentuh matahari.
Ada foto sobek di depannya. Separuh wajah seorang gadis. Separuh yang lain sudah ia bakar.
Cyrien menyukai ketenangan bentuk-bentuk yang hilang. Karena sejak kecil, hilang adalah satu-satunya hal yang selalu kembali padanya.
“Kalau kau masih di sini, aku pasti tidak akan seperti ini,” gumamnya pada foto yang sudah tidak mampu menjawab. “Tapi kau memilih kabur. Jadi… biar aku yang mencari.”
Dari sudut ruangan, suara berdesis lembut muncul. Bukan ular. Bukan angin. Sesuatu yang lebih sabar dari keduanya.
Cahaya di kamar bergoyang pelan, lalu bayangan di dinding memanjang seperti tangan yang ingin menyentuh tengkuk Cyrien. Ia tidak terkejut. Ia malah tersenyum kecil, senyum putus asa yang cantik dan berbahaya di saat bersamaan.
“Kau datang lagi,” katanya. “Sudah dapat jejaknya?”
Bayangan itu tidak berbicara, tapi ruangan tiba-tiba menghangat, seperti tubuh besar yang berdiri terlalu dekat dari belakang. Hawa yang membawa bau tanah basah dan besi.
Cyrien menutup matanya. “Aku tak peduli soal moral manusia. Aku hanya ingin dia kembali. Kalau dia harus diseret pulang setengah hidup, tak apa.”
Bayangan itu bergetar, lalu membentuk siluet tipis seorang perempuan. Rambut panjang jatuh seperti aliran tinta. Mata tak terlihat, tapi Cyrien merasakan tatapannya seperti paku yang dipanaskan.
“Temukan dia,” bisik Cyrien. “Jangan bunuh. Kecuali… dia menolak aku.”
Siluet itu condong, menyentuh pipinya tanpa benar-benar menyentuh. Ada dingin yang seindah hukuman.
Cyrien membuka mata, menatap wajah samar itu, suaranya setenang orang yang sudah lama berdamai dengan gelap.
“Kalau dia menolak aku… habisi saja hatinya. Sisanya biar aku yang rawat.”
Dan bayangan itu tersenyum. Senyum yang tidak manusiawi, tapi mengerti cinta yang tumbuh dari luka.
Malam kembali diam.
Tapi kali ini, diamnya terasa seperti janji: seseorang akan hilang sebelum fajar.
*
Bayangan itu menghilang secepat ia muncul, menyisakan dingin yang menempel di tengkuk Cyrien seperti sisa ciuman yang tidak semestinya. Cyrien berdiri perlahan, meraih jaket tipisnya. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena takut… tapi karena antisipasi yang manis dan merusak.
Sudah setahun ia mencari gadis di foto sobek itu. Namanya, Nerisea Elionne Rauviella. Nama yang lembut dan tidak cocok dengan cara ia pergi.
Setiap malam, Cyrien menunggu laporan dari makhluk itu. Dan setiap pagi, ia bangun dengan gigi gemeretak, merasa fajar adalah penghinaan untuk orang yang ditinggalkan.
Malam ini berbeda.
Malam ini ada ketegangan seperti udara sebelum badai.
Cyrien keluar rumah, melintasi jalan sempit yang dipenuhi suara anjing liar. Tapi langkahnya ringan, seolah ada tangan tak terlihat yang menuntunnya menuju sesuatu yang sudah lama ia harapkan.
Di ujung gang, bayangan itu menunggu. Kali ini bentuknya lebih padat, wajahnya lebih jelas: perempuan berwajah cantik tapi terlalu simetris untuk disebut manusia. Mata hitam seperti sumur. Bibir dingin tanpa warna.
Di lengannya, seseorang diseret.
Nerisea.
Tubuhnya lemah, rambutnya kusut, mata lebam. Tapi ia hidup… dan memandang Cyrien seperti melihat hantu masa lalu yang seharusnya sudah dikubur.
Cyrien berlutut di depannya, menyentuh pipi Nerisea dengan lembut, kontras dengan horor yang mengelilingi mereka.
“Kau pulang,” bisiknya.
Nerisea menggeleng. “Aku lari karena kau membuatku takut, Cyrien… kamu berubah. Kamu—”
“Diam.” Suara Cyrien tidak keras, tapi cukup untuk merobek sisa keteguhan di mata Nerisea. “Sea, aku tidak berubah. Aku hanya berhenti berpura-pura.”
Bayangan di belakang mereka bergerak pelan. Menunggu. Menghitung detik menuju keputusan Cyrien.
“Satu hal saja,” kata Cyrien, suaranya nyaris puitis dalam kebengisannya. “Kau pulang bersamaku, atau hatimu tinggal di sini. Tubuhmu terserah.”
Nerisea menangis, suara yang pecah seperti kaca jatuh. “Cyrien… tolong. Aku cuma ingin hidup tenang.”
Cyrien tersenyum tipis. Senyum yang sudah lama hancur dari dalam.
“Hidup tenang itu setelah mati, Sayang.”
Ia memberi isyarat pada bayangan itu.
Makhluk itu mencondongkan tubuhnya ke arah Cyrien, wajahnya terbelah menjadi senyum yang terlalu lebar.
Nerisea berteriak, mundur, memohon, tapi tangannya terikat oleh ketakutan yang ia buat sendiri setahun lalu ketika ia kabur.
“Cyrien… maaf… tolong… aku ikut. Aku ikut pulang.” Suaranya patah, tapi nyata.
Cyrien menghentikan bayangan itu dengan satu gerakan tangan. Dunia seolah mengembuskan napas lega yang tidak pantas.
Ia menyentuh rambut Nerisea, menyingkirkan helai yang menempel di pipinya.
“Kau terlambat. Tapi… tidak separah itu.”
Nerisea menutup mata, pasrah.
Cyrien berdiri, memberi perintah terakhir:
“Biar dia hidup. Tapi patahkan ingatan yang membuatnya ingin pergi lagi.”
Bayangan itu menyeringai dan menyentuh dahi Nerisea. Satu sentuhan seperti es yang mematikan. Nerisea jatuh, tubuhnya terkulai, napas masih ada, tapi matanya kosong… seperti halaman yang belum ditulis.
Cyrien menatapnya lama. “Sekarang… kau sempurna, Nerisea Elionne Rauviella,” gumamnya, suaranya lembut seperti lullaby untuk jiwa yang sudah retak.
Ia mengangkat tubuh Nerisea, membawanya pulang.
Malam menutup kisah itu dengan sunyi yang manis. Hanya satu hal yang berubah:
Cyrien tidak sendiri lagi.
Dan Nerisea… tidak akan pernah bisa pergi lagi.