Serial Horor – Koridor yang Tidak Pernah Berakhir
(Versi Sadis/Gore, Terinspirasi Corpse Party — Episode Tersadis Sejauh Ini)
Pintu aula menutup di belakang mereka dengan suara BLAM yang menggema. Ruangan itu gelap, hanya diterangi lilin-lilin kecil yang tersusun di sepanjang lantai, membentuk lingkaran besar menyerupai ritual pemanggilan.
Alya memegang lengan Raka yang masih berlumuran darah.
“Raka… kita harus hati-hati.”
Raka mengangguk walau wajahnya pucat dan penuh keringat. “Gue masih bisa… jangan khawatir.”
Namun Alya tahu ia berbohong. Patah tulangnya terlalu parah. Nafasnya berat. Setiap langkah seperti menyiksa.
Sampai tiba-tiba…
Semua lilin menyala bersamaan, seketika menerangi aula raksasa yang penuh tubuh murid tanpa kepala, berdiri rapi seperti pasukan upacara. Busana mereka compang-camping, beberapa jasadnya sudah kering seperti mumi, sebagian lagi masih berlumuran darah segar.
Dan di tengah barisan itu, sebuah mimbar kayu berdiri.
Di belakang mimbar, bocah perempuan itu muncul.
Wajahnya kini tidak lagi polos. Kulitnya mengelupas, memperlihatkan daging merah di beberapa bagian. Kedua matanya hitam total, tidak memiliki pupil.
Ia tersenyum lebar—senyum yang terbelah sampai pipinya hampir koyak.
“Selamat datang, murid baru…”
Suara anak kecil keluar dari seluruh jasad tanpa kepala di dalam aula, menggema seperti paduan suara kuburan.
Alya mundur dua langkah.
“Raka… kita gak boleh terpancing. Jangan dekat-dekat.”
Tapi Rakamelihat sesuatu.
Di depan mimbar, terdapat dua kursi kecil.
Masing-masing memiliki nama:
ALYA
RAKA
Seperti undangan upacara kelulusan… tapi versi neraka.
Bocah itu menepuk tangan.
Dan dari belakangnya, empat “panitia upacara” muncul—mayat siswa hancur, mulut disobek hingga telinga, membawa palu besi, gergaji tua, tali tambang, dan sebuah topeng kayu besar menyerupai wajah senyum.
Bocah itu berbicara lembut.
“Yang duduk duluan akan diselamatkan. Yang terakhir… akan dipotong menjadi bagian-bagian kecil.”
Alya menelan ludah, tubuhnya gemetar. “Kita… jangan percaya dia.”
Raka memegang bahu Alya.
“Alya… denger gue baik-baik…”
Napasnya terputus-putus.
“…lo yang duduk.”
“APA?!” Alya langsung menggeleng keras. “Gak! Raka gue gak mau ninggalin lo!”
Raka menatapnya dengan mata yang mulai kehilangan cahaya.
“Alya… gue udah setengah mati. Bahkan kalau kita bisa kabur… gue gak bisa lari jauh.”
“Lo masih bisa selamat. Lo harus duduk.”
Alya mulai menangis. “Raka, tolong jangan ngomong gitu… gue gak mau…”
Bocah itu mencondongkan kepala, menatap mereka.
“Kalo tidak ada yang duduk… kalian berdua akan kuhabisi pelan-pelan.”
Panitia upacara mendekat sambil menumbuk palu ke lantai, membuat suara DUK… DUK… DUK.
Alya menggenggam tangan Raka.
“Kita lawan. Kita kabur. Kita—”
Tiba-tiba jasad panitia pertama menarik Raka, menyeretnya mundur hingga ia jatuh. Raka menjerit saat tulang patahnya kembali bergerak.
Alya berusaha menariknya. “LEPASKAN! JANGAN AMBIL DIA!”
Bocah itu mendekat perlahan, melayang seperti tidak menyentuh tanah.
“Dia memilih… untuk jadi korban.”
Tiba-tiba Raka mendorong Alya dengan seluruh sisa tenaganya. Dorongan itu begitu kuat hingga Alya terhempas ke kursi bertuliskan namanya.
Klik.
Tali tak terlihat mengikat tangan dan kakinya pada kursi, membuatnya tak bisa bangun.
“Alya duduk…” bocah itu tersenyum puas.
“Berarti Raka…”
Alya berteriak, menjerit, memohon, meronta sekuat tenaga.
“JANGAN SENTUH DIA! AMBIL AKU AJA!! RAKA!!!”
Raka tersenyum lemah ke arahnya.
“Gue janji… lo bakal keluar… hidup…”
Panitia upacara mengangkat Raka ke tengah aula. Mengikat kedua tangannya. Menggantungnya.
Alya menangis hysteria.
“RAKA! LEPASKAN DIA!! JANGAN!! RAKA!!!”
Bocah itu memegang dagu Alya, memaksa kepalanya menghadap ke arah yang tidak ingin ia lihat.
“Kau harus menyaksikan upacara murid baru.”
Panitia pertama mengayunkan gergaji tua ke perut Raka.
CKRRRKKKRRRKKRKK—
Raka menjerit paling keras yang pernah Alya dengar.
Perutnya terbuka perlahan. Darah memancar ke lantai.
Ususnya mulai terlihat.
Alya memejamkan mata, tapi bocah itu mencengkeram kelopak matanya.
“Lihat.”
Gergaji itu bergerak semakin dalam.
Raka menggigit bibir sampai berdarah.
Sampai akhirnya… ia berhenti melawan.
Tubuhnya masih tergantung, setengah terbuka, darah menetes deras.
Alya menjerit sampai suaranya pecah.
Panitia kedua mengangkat palu besi.
Dan dengan satu hantaman…
KRAK!
Tulang rusuk Raka patah terbuka seperti pintu.
Alya hampir pingsan.
Bocah itu tepuk tangan kecil sambil tertawa.
“Upacara penerimaan selesai…”
Raka masih hidup—hanya tinggal sedikit kesadaran.
Ia melihat Alya untuk terakhir kalinya, bibirnya bergerak pelan.
“Alya… maaf… gue gak bisa nemenin lo…”
Alya menjerit sambil meronta begitu keras hingga tali kursinya robek sedikit.
“RAKA JANGAN TINGGALIN AKU! RAKA JANGAN—”
Dengan sisa napas terakhirnya, Raka berkata:
“…keluar… dari sini…”
Dan kepalanya terkulai.
Hening.
Alya terisak, seluruh tubuhnya gemetar.
Bocah itu mendekat ke telinganya dan berbisik dengan nada manis:
“Sekarang… kamu sendirian.”
Semua lilin padam.
Dan dari kegelapan, ratusan tangan merayap keluar…
Menyambut Alya sebagai satu-satunya murid tersisa.
---
BERLANJUT KE EPISODE 5