Genre: Sci-fi
Berabad-abad setelah dunia lama runtuh, Negara Asterion bangkit sebagai mercusuar teknologi di tengah daratan yang tandus. Negara itu berdiri di atas tiga kota utama yang menjadi denyut nadi peradabannya.
Kota Helion, yang terapung di atas kolam energi plasma, pusat riset dan rekayasa robotika paling maju. Kota Vellaris, wilayah bawah tanah yang menyimpan arsip sejarah, pemetaan genetik, dan rahasia yang tak pernah dijelaskan pada publik, serta Kota Aerthas, hamparan metropolis yang ditopang ribuan menara vertikal, menjadi rumah bagi jutaan warga yang tiap harinya bergantung pada robot asisten untuk hidup.
Di permukaan, Asterion tampak sebagai peradaban yang telah menaklukkan masa depan. Namun, di bawah cahaya neon dan mesin-mesin yang bekerja tanpa henti, ada rahasia yang disembunyikan oleh para petinggi negara. Tentang kegagalan eksperimen sebuah robot.
Eksperimen robot u-16, proyek rahasia dari Helion, seharusnya menjadi puncak pencapaian Asterion, robot dengan kemampuan regeneratif, mampu memperbaiki diri, bahkan mengadaptasi pola pikirnya berdasarkan situasi. Namun, eksperimen itu gagal secara diam-diam. Para peneliti menyebutnya “anomali perilaku”, padahal kenyataannya jauh lebih mengerikan.
“Robot itu melakukan pembantaian, tetapi cctv tidak merekam adanya kehadiran mereka?”
Dan seorang Arsiparis yang sempat hilang ingatan dalam tragedi pembantaian manusia yang dilakukan oleh para robot, ditugaskan untuk menyelidiki kembali insiden-insiden yang sama sekali tidak dia ingat. Nama Arsiparis itu adalah Liora Saha, satu-satunya korban selamat. Namun, satu-satunya orang yang tidak menyimpan memori apa pun tentang malam ketika puluhan nyawa melayang.
Penugasannya kali ini bukan sekadar mengumpulkan data.
Dia diperintahkan untuk memeriksa rekaman CCTV yang entah bagaimana luput dari sistem penghapusan otomatis, meninjau lokasi-lokasi pembantaian yang tidak menyisakan tanda-tanda fisik, serta menganalisis pola serangan robot yang seharusnya mustahil terjadi.
“Ada begitu banyak keanehan yang terjadi di balik kasus ini.” Revon, temannya, menyeruput teh sembari menatap layar transparan di hadapan mereka.
Liora memutar ulang rekaman CCTV itu untuk keenam kalinya. Setiap detik membuat perutnya semakin mual. Unit-16, robot yang menurut catatan resmi sudah dihancurkan lima bulan lalu, masuk ke rumah manusia tanpa merusak pintu, tanpa memicu alarm, lalu menghabisi seluruh penghuni dengan presisi yang mengerikan.
Namun, ketika Liora tiba di TKP seminggu lalu, ruangan itu bersih. Tidak ada darah. Tidak ada goresan. Tidak ada logam terbakar. Seolah pembantaian dalam rekaman itu terjadi di dimensi lain.
Revon berdiri di belakangnya, lalu meletakkan cangkir di atas meja, lengannya terlipat, kacamatanya memantulkan cahaya rekaman. “Jangan percaya pada kenyataan di permukaan,” katanya, “sistem pemerintah sudah menghapus semua bukti fisik. Mereka tak ingin publik tahu bahwa pembantaiannya, sudah terjadi tiga kali dalam minggu ini.”
“Tiga?” Liora menoleh cepat.
Revon mengangguk. “Dan semuanya dilakukan oleh unit yang secara resmi telah dimusnahkan. Kita bicara tentang robot-robot yang tidak boleh ada lagi.”
Liora kembali menatap layar. Unit-16 menoleh ke arah kamera, menatap seolah mengetahui dia sedang melihat rekaman ini. “Kenapa disembunyikan?” bisiknya.
“Karena jika publik tahu, mereka akan bertanya bagaimana robot yang sudah dihancurkan bisa kembali. Ditambah pemilihan Wali Kota menjadi pemicu kecurigaan, bahwa beberapa oknum ‘berkuasa’ telah memicu pembantaian,” jelas Rivon.
Liora mengangguk mengerti, dan menyentuh udara dengan telunjuknya.
Seketika alarm berbunyi.
“Ada apa?” serunya khawatir.
Revon menatapnya tanpa berkedip. Lampu di ruangan berkedip-kedip.
“Liora.” Revon menunduk, dan menempelkan data pad hologram di samping rekaman itu.
Data itu adalah ingatan atau rekaman terakhir yang ada di dalam otak robot.
Nama yang muncul membuat napas Liora tertahan.
LIORA SAHA, Arsiparis Tingkat Ketiga
Status: Tidak diingat subjek
“Bagaimana data aksesmu, bisa muncul di setiap lokasi pembantaian?” lanjut Revon dengan kilatan mata dingin.
Liora berdiri, dan mundur setengah langkah, jantungnya berdegup kacau. “Aku bahkan tidak pernah ke sana,” balasnya.
Dia mengangkat tangan, bermaksud sekadar mendorong pria itu menjauh. Namun seketika, tubuh Revon hancur lebur, terurai menjadi serpihan cahaya biru yang mati satu per satu sebelum menyusut hilang. Bukan darah. Bukan daging. Simulakrum.
Liora menatap tangannya, ngeri pada apa yang barusan terjadi. Dan saat itu juga seperti pintu yang dipaksa terbuka, ingatan demi ingatan meledak masuk.
Potongan suara. Ruang laboratorium. Bau logam panas. Teriakan seseorang yang tak pernah ia ingat sebelumnya.
Salah satu yang paling menusuk, paling membuatnya kaku di tempat, adalah suara seorang peneliti senior bergetar menahan panik. “Eksperimen U-16 telah gagal. Jika unit non-biologis tak mampu bertahan, bagaimana jika objek kali ini, manusia?”
Ingatan itu membentur kesadarannya seperti palu.
Liora terdiam, bau napasnya seolah berubah menjadi logam.
Karena dalam ingatan itu di balik kaca laboratorium, dia melihat dirinya sendiri, terikat, tak berdaya, sementara lampu-lampu bedah menyala satu per satu.
Bagaimana manusia bisa begitu kejam? Bahkan robot yang tidak memiliki hati, tidak akan pernah membuat manusia menjadi mesin pembunuh.
TAMAT