Sore itu, langit warnanya jingga samar.
Angin bertiup pelan, membawa aroma hujan yang baru saja reda.
Ryan duduk di taman kecil dekat sungai tempat yang dulu sering mereka datangi berdua.
Tangannya menggenggam secangkir kopi, tapi rasanya hambar.
Bukan karena dingin, tapi karena hatinya lagi kosong.
Sudah tiga minggu Nayla nggak muncul.
Nggak ada kabar, nggak ada pesan, Cuma hilang begitu aja.
Sampai hari itu, satu pesan singkat muncul di layar ponselnya:
Nayla: “Ry, bisa ketemu bentar? Aku di taman biasa.”
Jantung Ryan langsung berdegup kencang.
Dia buru-buru pergi tanpa mikir, tanpa siapin hati.
Nayla sudah duduk di bangku kayu waktu dia datang.
Dia terlihat cantik seperti biasa, tapi kali ini ada sesuatu yang beda:
Tatapannya nggak lagi sama.
“Kamu kelihatan kurusan,” kata Nayla pelan.
Ryan senyum kecil. “Ya, soalnya kamu ngilang tiba-tiba. Aku pikir kamu marah.”
Nayla tersenyum tipis. “Aku nggak marah, Ry. Cuma… bingung.”
“Bingung?”
Nayla menatap ke arah sungai. “Iya. Aku lagi nyoba ngerti perasaan aku.”
Ryan diam. Di dadanya mulai ada rasa nggak enak.
“Terus gimana?” tanyanya akhirnya.
Nayla menarik napas dalam. “Aku udah nemuin jawabannya.”
Ryan mencoba tersenyum. “Dan?”
Nayla menunduk. “Aku milih orang lain, Ry.”
Dunia Ryan mendadak berhenti.
Suara hujan, langkah orang, semua seolah lenyap.
Hanya kata itu yang terus bergema di kepalanya aku milih orang lain.
“Kamu serius?” suaranya hampir nggak keluar.
Nayla menatapnya dengan mata berkaca. “Iya. Aku nggak mau bohong lagi.”
“Kenapa dia, Nay? Apa aku salah?”
Nayla menggeleng. “Nggak. Kamu nggak salah, Ry. Cuma… dia lebih berani. Dia dateng, dia mastiin. Sementara kamu kamu terlalu sering bilang ‘nanti’.”
Ryan terdiam. Kata itu nusuk banget.
Dia sadar, selama ini dia memang terlalu yakin waktu bakal nungguin.
Padahal waktu nggak pernah sabar.
“Aku pikir kamu tau, Nay. Aku berjuang buat kita.”
Nayla menatapnya. “Aku tau. Tapi kadang cinta yang datang tepat waktu lebih kuat dari cinta yang masih nyari cara.”
“Jadi gitu aja?” Ryan berusaha menahan air mata.
Nayla menelan ludah. “Aku minta maaf, Ry. Aku bener-bener minta maaf.”
Mereka berdua diam.
Hanya suara daun yang bergesekan dan hembusan angin sore.
Ryan akhirnya berkata pelan,
“Kamu tau nggak, Nay... rasanya nyesek banget tau kamu bahagia, tapi bukan sama aku.”
Nayla menunduk, matanya mulai basah. “Aku juga nggak nyangka bakal kayak gini.”
“Terus kenapa nggak balik?”
Nayla menggigit bibirnya. “Karena kadang kita harus milih yang bikin hidup tenang, bukan yang bikin deg-degan setiap hari.”
Ryan tertawa kecil tapi tawa yang pahit.
“Berarti aku Cuma salah waktu ya? Salah tempat?”
Nayla tersenyum sedih. “Kamu nggak salah. Cuma bukan takdirku.”
Matahari tenggelam perlahan.
Nayla berdiri, menatap Ryan untuk terakhir kalinya.
“Makasih ya, Ry. Kamu pernah jadi rumah paling hangat buat aku.”
Ryan menatap balik, suaranya bergetar,
“Dan kamu… akan tetap jadi alasan kenapa aku susah jatuh cinta lagi.”
Nayla tersenyum, senyum yang penuh air mata,
Lalu berbalik dan pergi, meninggalkan Ryan sendirian di bawah langit jingga yang makin gelap.
Malam itu, Ryan pulang dengan langkah berat.
Sesampainya di kamar, dia buka chat lama mereka, baca dari awal
Dari pesan pertama, candaan, sampai “hati-hati pulang ya” terakhir.
Semuanya masih di sana, tapi rasanya udah nggak sama.
Dia lalu buka catatan ponsel, ngetik satu kalimat yang akhirnya jadi pesan terakhir buat dirinya sendiri:
“Ternyata kehilangan paling berat bukan waktu seseorang pergi, tapi waktu kita sadar dia bahagia tanpa kita.”
Beberapa bulan kemudian, Ryan dengar kabar Nayla udah tunangan.
Dia lihat fotonya di media sosial: Nayla tersenyum, menggandeng lelaki lain.
Senyumnya tulus senyum yang dulu sering dia lihat, tapi sekarang bukan untuknya.
Ryan menatap lama foto itu, lalu berkata pelan,
“Aku janji nggak akan nyalahin kamu. Kamu berhak bahagia. Cuma izinkan aku butuh waktu sedikit lebih lama buat lupa.”
Dia menutup ponsel, lalu menatap langit malam dari jendela kamarnya.
Hujan turun pelan, persis seperti malam pertama kali dia sadar kalau cinta kadang nggak harus dimenangkan cukup dikenang.
“Beberapa orang datang untuk kita cintai, bukan untuk kita miliki.”
“Dan kamu, Nayla… adalah salah satu yang akan selalu aku doakan,
Bahkan setelah namamu hilang dari hidupku.”
“Setidaknya aku pernah bertemu denganmu didunia yang luas ini, aku beruntung pernah bersamamu, walaupun pada akhirnya kita nggak bisa bareng”
Baik, aku lanjutkan ceritanya dari bagian terakhir yang kamu tulis, tetap dengan gaya bahasa yang sama: emosional, lembut, dan menyayat — tapi tetap realistis.
Sejak malam itu, Ryan mulai membiasakan diri hidup tanpa kabar dari Nayla.
Bukan karena dia mau, tapi karena dunia memaksanya belajar menerima.
Namun ada hal yang tidak pernah ia sangka:
Setiap tempat yang ia datangi, setiap hal kecil yang ia lihat, selalu mengingatkannya pada satu nama.
Nama yang sedang ia coba lupakan pelan-pelan.
Suatu sore, Ryan berjalan pulang dari kantor melewati taman yang sama tempat Nayla mengakhiri semuanya. Taman itu sepi, hanya ada daun-daun kering berserakan dan bangku kayu yang sudah mulai kusam.
Ryan berhenti.
Bukan karena ingin mengenang—dia hanya merasa dadanya tiba-tiba berat.
Dia duduk di bangku itu.
Bangku yang dulu jadi tempat mereka saling meyakinkan satu sama lain bahwa “kita pasti bisa”.
Lucu, pikir Ryan.
Waktu itu dia percaya semua hubungan cukup dengan cinta.
Sekarang dia tau… cinta kadang kalah dari kesempatan.
Angin sore berhembus, membuat dedaunan jatuh tepat di samping kakinya.
Ryan menatapnya pelan lalu tersenyum kecil.
“Kayak gini ya rasanya ditinggal… pelan, tapi tetap jatuh.”
Dia mengusap wajahnya.
“Hari ini aku nggak nangis, Nay,” gumam Ryan.
“Tapi bukan karena aku udah kuat.
Aku Cuma… capek.”
Beberapa hari berlalu.
Hidup Ryan berjalan seperti biasanya—kerja, pulang, tidur.
Sampai suatu malam, ponselnya bergetar. Satu pesan masuk.
Bukan dari Nayla.
Dari temannya, Fadil.
“Ry, aku ketemu Nayla tadi. Dia nanya kabar kamu.”
Ryan terpaku.
Jantungnya berdebar dengan cara yang sama seperti dulu.
“Dia bilang apa?”
Tanya Ryan cepat.
Fadil membalas beberapa menit kemudian.
“Dia Cuma bilang… semoga kamu sudah baik-baik aja.”
Ryan menutup mata.
Ternyata doa orang yang sudah pergi tetap bisa bikin hati bergetar.
Tapi anehnya, untuk pertama kalinya Ryan tidak merasa ingin kembali.
Tidak ingin mengejar.
Tidak ingin membuka luka baru yang baru saja mulai mengering.
Dia hanya membalas:
“Bilang ke dia… aku sedang berusaha.”
Beberapa bulan kemudian, hidup Ryan benar-benar mulai berubah.
Dia belajar menerima hari tanpa menunggu kabar siapa pun.
Belajar tidur tanpa harus baca chat lama.
Belajar bahwa cinta yang gagal bukan akhir dari hidup—itu hanya tanda kalau hatinya pernah bekerja keras.
Pada suatu malam sunyi, Ryan kembali membuka ponselnya.
Ia membuka folder yang ia beri nama “Nay”, berisi kenangan yang dulu tak bisa ia hapus.
Tapi kali ini, ia tidak merasakan sakit seperti sebelumnya.
Ada sedih, iya.
Ada rindu yang samar, iya.
Tapi luka yang dulu terasa seperti jurang, kini terasa seperti guratan kecil saja.
Ryan tersenyum pelan.
“Kayaknya aku beneran mulai lupa, Nay…”
Lalu ia menambahkan:
“…tapi nggak akan pernah nyesel pernah sayang.”
Ia menutup folder itu—dan untuk pertama kalinya sejak perpisahan itu, Ryan tidak membukanya lagi.
Pada akhirnya, Ryan sadar satu hal:
Melupakan bukan berarti namanya benar-benar hilang.
Melupakan adalah saat kita nggak lagi berharap dia kembali.
Dan malam itu, sambil menatap lampu kota dari jendela, Ryan berbisik pelan:
“Terima kasih, Nay.
Kamu pernah jadi bagian yang indah—
Dan sekarang aku siap berjalan tanpa bayanganmu.”
Langit malam tetap gelap, tapi Ryan tahu:
Pagi akan tetap datang.
Dan di pagi itu, untuk pertama kalinya… dia merasa hatinya ringan