Sudah seminggu aku bersekolah di sini, dan selama itu aku belum pernah mendengar guru menyebutkan nama gadis berambut pirang pendek di belakangku. Itu sangat aneh bukan?
Dan setiap kali aku ingin berkomentar tapi gadis itu selalu menghentikanku. Aku tidak mengerti bagaimana ia bisa tahu kalau aku ingin menanyakan namanya di buku kehadiran. Ia selalu cepat menangkap mulutku agar tetap diam.
Seperti saat itu, aku berusaha melepaskan tangan kecilnya yang menutupi mulutku, tangannya kecil namun tenaganya sangat kuat, aku kesulitan melepaskannya.
Sudahlah, aku lelah bermain-main dengan tangannya. Aku menghela napas, merasa kesal di dalam hati. Tanpa diminta gadis itu melepaskan tangannya seolah ia tahu kalau aku tidak ingin bersuara lagi.
Dan seterusnya, aku tidak lagi peduli apakah namanya ada atau tidak di buku absensi. Ia saja tidak peduli, bagaimana denganku?
Kelas berakhir selesai ketika guru perempuan meninggalkan kelas. Teman-teman sekelasku semua bergegas mengemasi buku-buku dan alat tulis mereka, buru-buru melarikan diri dari tempat yang mereka pikir sebagai penjara bagi hewan peliharaan, pikiran yang bodoh. Tapi tidak dengan gadis di belakangku, ia tampak tertidur sambil meletakkan kepalanya di antara kedua tangannya, di atas meja.
Ah, dia terlihat cantik dan manis jika diperhatikan dengan jelas. Rambut yang menjuntai di wajahnya membuat tanganku gatal untuk segera merapikannya.
Sedikit bersalah, ternyata sentuhan jariku mengganggu tidurnya, ia pun terbangun. Matanya yang bulat menatapku tidak suka.
Dua sekon kemudian, kepalanya tegak dengan mata bulatnya menatap tajam ke manikku. Kupikir ia akan marah, tapi nyatanya ia kembali menenggelamkan kepalanya dan tertidur.
"Hey!" Aku sedikit menggoyang kepalanya. "Kau kembali tidur?"
"Kelas sudah berakhir, apakah kau tidak ingin pulang?"
Mendengar kata 'kelas sudah berakhir' dan 'pulang' gadis yang belum kuketahui namanya itu menegakkan kepalanya kembali, kali ini lebih hidup. Tanpa ada kata yang keluar dari mulutnya, ia keluar dari kelas terlebih dahulu tanpa sadar aku masih di sana menunggunya.
Begitulah aku mengenalnya selama dua minggu terakhir, aku masih belum tahu namanya, bertanya pada teman sekelasku mereka tidak tahu, mereka bilang tidak ada gadis yang duduk di belakangku. Aku pikir mereka punya mata yang bermasalah.
Aku akui ia sangat misterius. Di kelas, aku tidak pernah melihatnya berinteraksi dengan teman sekelas kami, ia suka menyendiri, meninggalkan kelas saat tidak ada guru yang mengajar. Sangat mungkin menurutku dia tidak dikenal ataupun dilirik sedikitpun, mengingat ia duduk paling pojok di belakang, namanya pun tidak ada di buku absensi.
"Kau!" panggilku yang kurasa kurang sopan, memanggil gadis misterius itu di belakang sekolah, aku mengikutinya.
Saat aku memanggilnya untuk yang kedua kalinya dia akhirnya berhenti berjalan, dia berbalik menghadapku, tidak berbicara, ia hanya menatap datar sejenak lalu ia ingin pergi menjauh dariku lagi. Namun, sebelum ia benar-benar melangkah lebih jauh, aku berjalan lebih cepat dan meraih tangannya.
"Kau menghindariku," kataku terengah-engah karena lelah, setelah berlari mengejarnya. Tanganku masih setia menggenggam tangannya, takut ia pergi.
"Kenapa kau terus mengikutiku?"
Wah, baru kali ini telingaku mendengarnya berbicara. Awalnya aku mengira dia tunawicara karena tidak pernah mendengarnya mengucapkan satu kalimat pun.
"Dan kenapa kau selalu menghindari kami?" Bukannya menjawab justru aku kembali melontarkan pertanyaan kepadanya.
"Siapa 'kami'?" Aku tertawa dalam hati. Rupanya selain teman-teman sekelasnya yang tidak pernah menganggapnya ada, dia juga seperti itu.
"Apakah kau tidak melihat mereka?" Lagi, aku bertanya tanpa menjawab pertanyaan sebelumnya.
Aku bisa melihat dari rawut wajahnya yang tampak bosan terus ditanya,tangan kecilnya berusaha melepas tanganku yang menaut di pergelangan tangannya.
"Tentu, aku melihatmu dan mereka. Aku tidak buta," ucapnya dengan malas. Tangannya berhasil lepas dari tanganku.
"Kenapa kau menghindariku? Kenapa kau selalu pergi ketika guru tidak ada? Dan namamu … kenapa tidak ada—"
"Itu karena namaku tidak terdaftar!" Ia berkata cepat. Lagi, aku bisa melihat ketidaksukaan di matanya. Ia kembali ingin menjauhiku.
"Bagaimana bisa?"
"Aku—Kau jangan bertanya lagi." Dia berucap dengan wajah muram, membuatku tak berani lagi bertanya padahal aku sendiri masih bertanya-tanya dalam hati.
"Kau mau menjadi temanku?" kataku mengalihkan.
Ketika tungkainya sudah melangkah menjauh dariku. Ia terdiam saat mendengar kalimat yang kuucapkan barusan tanpa menatapku dan berkata, "Kenapa kau ingin berteman denganku?"
Aku dengan penuh semangat mendekatinya, berdiri di depannya. "Kenapa tidak? Apa kau tidak ingin berteman denganku?"
Ah, ia tersenyum dan kuperhatikan ada lesung pipit di kedua pipinya yang bulat, manis sekali. Ada juga anggukan kecil menyertai, artinya ia bersedia menjadi temanku!
"Kau ingin berteman denganku?" tanyaku memastikan. Dia kembali mengangguk, kali ini anggukan lebih mantap dan kokoh.
Entah perasaan apa yang sedang menghampiriku saat itu. Intinya aku sangat senang ketika ia mau menerima ajakanku menjadi temanku.
"Siapa namamu? Ah," Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal. "Maksudku, kita sudah dua minggu menjadi teman sekelas, tapi aku tidak tahu siapa namamu."
"Lavanya. Ibu dan ayahku suka memanggilku Lava, nama yang sangat aneh dan terdengar menakutkan, orang-orang akan menjauh jika mendengarnya dari mulut yang keras." Ia tertawa menceritakan namanya yang aneh.
"Itu ketika mereka berkata di atas gunung yang aktif," lanjutku terkekeh, dia mengangguk menyetujui.
Sejak hari itu kami akhirnya menjadi teman. Setiap kali guru keluar dari kelas, ia mengajakku keluar dan pergi ke taman belakang sekolah, kami tidak melakukan hal besar di sana, kami hanya duduk, tidur di bawah pohon, dan sesekali ia mengajakku belajar bersama, ia ternyata sangat pintar.
Selama aku berteman dengannya, ia tidak pernah menyinggung apapun tentang hidupnya. Mau aku mengenalnya atau tidak, sama saja, aku tidak akan tahu sedikitpun tentang dia, dia sangat tertutup.
Dua hal yang aku suka dari Lava. Dia gadis yang ceria, pandai menyembunyikan lukanya di balik senyuman manisnya, ah, menurutku itu benar. Dia selalu bercanda, menceritakan berbagai lelucon konyol yang mampu membuatku tertawa terbahak-bahak.
Sungguh bahagia bisa berteman dengannya.
"Liam sangat aneh." Aku sering mendengar kalimat itu dari teman-teman sekelasku. Sejujurnya aku tidak mengerti apa yang sedang mereka katakan, aku terlalu malas untuk bertanya.
"Lihatlah, dia selalu berbicara dan bermain sendiri. Aku rasa dia sudah gila."
Sudahlah, melihat wajah mereka yang mengejekku membuatku tak betah berada di sana terlalu lama. Lava yang berada di dekatku, mengaitkan tangannya dengan tanganku. Baru kemudian, dia menarik tanganku keluar dari ruangan berisik itu.
Hingga langkah terakhir membawa kami ke perpustakaan, dia memintaku membaca buku pelajaran dan mempelajarinya. Katanya, daripada menanggapi celotehan mereka yang hanya membuat tandukku muncul, lebih baik aku menutup telingaku dan memperkaya otakku dengan hal-hal yang tidak kumengerti.
"Kau sangat bodoh," Lava berkata mengejek seraya memainkan rambutku.
"Kelak …, kalau aku tidak bersamamu, kuharap kau akan lebih giat belajar."
Pulpen yang semula bergoyang di atas kertas berhenti, aku menatap Lava dengan mata yang menyorot tidak suka.
Apakah dia ingin meninggalkanku?
Kalau dia pergi dengan siapa aku berteman?
Setan? Itu menakutkan!
"Aku akan menjawab sesuatu yang kau tanyakan beberapa waktu lalu." Lava duduk di depanku, dia tampak serius.
Apa yang ingin dia jawab? Perasaanku mulai tidak enak.
"Kau pasti masih bertanya tentang bagaimana aku bisa ada di sini, sedangkan namaku tidak terdaftar sebagai siswi di sekolah ini,kan?" Tangan kecilnya itu menutup buku yang terbuka di depanku.
Aku akui, aku memang sering menanyakan hal itu di dalam kepalaku yang berisik. Lava, ya, aku tidak tahu siapa dia dan kenapa teman-teman tidak mengenalnya.
Apakah benar mereka tidak bisa melihatnya?
"Datang lagi besok ke sini. Kau pergi ke sana." Dia menunjuk satu rak paling ujung di perpustakaan.
Setelah mengatakan itu dia kemudian meninggalkanku. Aneh, hanya sesaat mataku teralihkan darinya, ia sudah menghilang dari penglihatanku.
Hari itu Lava tidak memberiku jawaban seperti yang ia katakan. Saat kakiku mulai berjalan menuju rak yang disebutkan Lava, bunyi bel dan peringatan dari penjaga perpustakaan membuatku segera pergi dari tempat itu.
Aku menghela napas sejenak, sebelum masuk ke dalam kelas. Masih ada waktu besok untuk mencari tahu.
Hari esok yang dimaksud Lava telah tiba. Pagi-pagi sekali aku menginjakkan kaki di sekolah. Baru beberapa siswa yang datang, dalam perjalanan menuju kelas ada beberapa siswi yang menyapaku, aku tidak tahu siapa mereka jadi aku tidak menyapa mereka balik. Itu sia-sia.
Sesampainya di kelas, aku hanya melihat seorang siswa laki-laki berkacamata yang sedang belajar. Dia mirip Lava kalau diperhatikan, wajah mereka mirip (?)
"Apa yang kau lihat?" tanyanya yang langsung membuatku buyar dari lamunanku.
"Kau mirip Lava," jawabku, berlalu menuju tempat dudukku.
Tubuh siswa itu terdiam, matanya berkaca-kaca menatapku di belakang. "Kau mengenalnya?"
Aku sedikit tertawa. Akhirnya ada yang mengenal Lava, kurasa Lava bukan hantu seperti apa yang mereka katakan. Lihatlah dia mengenal Lava.
"Ya," jawabku.
"Di mana kau mengenalnya?" Dia bertanya seperti itu, itu artinya … dia juga tidak mengenai Lava di kelas ini.
"Lava kakakku, dia berusia lebih tua lima tahun dariku. Dan … dia juga sudah mati. Mustahil kalian saling mengenal." Siswa itu tersenyum kecil setelah mengatakan itu.
Suasana menjadi dingin. Laki-laki itu melemparkan kertas polaroid kepadaku. Semakin menjadi, ingin menyangkal, tapi yang ditunjukkannya itu benar foto Lava.
Sepersekian sekon setelahnya, kakiku dengan cepat membawaku ke perpustakaan. Perasaanku kalut berantakan.
Manakala telah sampai di depan pintu perpustakaan segera aku kembali berlari menuju rak yang ditunjuk Lava kemarin.
Tanganku menjelajah mencari sesuatu di tumpukan buku sambil membaca beberapa buku tua di sana. Tempatnya kotor, jika diukur debu di sini mungkin bisa mencapai satu senti.
Sampai … tanganku terhenti pada sebuah surat kabar terbitan tahun 2016, itu juga sangat berdebu, perlu beberapa usapan baru aku bisa melihat tulisan dan gambar di kertas itu dengan jelas.
Atmosfer berubah nyenyat. Aku membuka lembaran kertas itu. Iris mataku dan hati nurani ku fokus pada beberapa kalimat pokok di surat kabar itu.
Saat itu, kakiku langsung terasa lemas, aku tidak mampu lagi berdiri—terduduk di atas lantai yang kotor itu. Temanku, Lavanya Anasera ternyata dia tidak nyata. Dia sudah mati. Dia ditemukan terbunuh setelah dinyatakan hilang selama dua minggu.