Bab 6 – Luka yang Belum Sembuh
Setelah badai sihir mereda, Lucius dibawa masuk ke ruang pemulihan Kuil Bulan. Aurelia duduk di sampingnya, tidak ingin menjauh satu langkah pun. Penjaga-penjaga menatap keduanya dengan campuran terkejut dan bingung.
“Aneh,” gumam salah satu penjaga.
“Energi bulan bisa dipadamkan oleh anak siren?”
Aurelia menggenggam tangan Lucius lebih erat, menatap penjaga itu dengan kesal.
“Lucius bukan monster. Kekuatan itu hanya terluka… sama seperti dia.”
Lucius menoleh perlahan, terkejut oleh ucapan itu.
Tapi sebelum ia sempat berkata apa pun, gurunya, Master Aldren, masuk.
“Lucius,” katanya lembut, “kau membutuhkan istirahat. Emosimu menarik energi bulan terlalu dalam. Jika itu terjadi lagi… bisa membahayakanmu.”
Aurelia langsung berdiri.
“Kalau begitu aku yang akan menjaganya!”
Semua mata tertuju padanya.
Bahkan Lucius tersedak kecil.
Aldren tersenyum tipis.
“Kalau begitu, temani dia. Mungkin itu obat yang dia perlukan.”
Aurelia duduk kembali, berkacak pinggang seolah menjadi penjaga pribadi.
Lucius hanya bisa memalingkan wajah yang memerah.
Untuk pertama kalinya sejak kesalahpahaman itu…
mereka tertawa kecil.
Namun luka di hati mereka belum sembuh sepenuhnya.
---
Bab 7 – Tatapan yang Tak Bisa Disembunyikan
Beberapa hari berlalu. Lucius mulai pulih, tapi aura bulan di tubuhnya masih tidak stabil. Ia sering pusing, kadang sulit bernapas, dan setiap kali emosinya berubah, cahaya bulan di sekelilingnya bergetar.
Aurelia tetap berada di sisinya.
Jika Lucius terbangun karena mimpi buruk, Aurelia akan mengusap rambutnya.
Jika Lucius mulai marah pada dirinya sendiri, Aurelia duduk lebih dekat hingga wajah mereka hampir bersentuhan.
“Lucius, lihat aku.”
Ia menatap mata merah itu tanpa takut.
Dan setiap kali, sihir bulan mereda.
Namun suatu malam, saat bulan penuh, energi bulan kembali mengamuk. Lucius menggigil, tubuhnya memanas, dan cahaya bulan memancar liar dari kulitnya.
Aurelia panik, mengambil tangan Lucius.
“Lihat aku! Lihat, aku di sini!”
Lucius meraih wajah Aurelia dengan kedua tangan, napasnya berat.
“Jangan tinggalkan aku… apakah kau akan meninggalkanku lagi…?” suaranya retak, ketakutan lama muncul.
Aurelia membalas genggamannya.
“Kau bodoh kalau berpikir begitu. Aku tidak pergi ke mana-mana.”
Cahaya bulan mereda lagi.
Dan di sana, dalam jarak yang begitu dekat, mereka saling menatap tanpa suara.
Pertama kali, Lucius mulai menyadari sesuatu yang tidak ia pahami.
Aurelia pun merasakannya—
perasaan kecil yang hangat, yang tidak seharusnya dimiliki anak siren maupun demon.
---
Bab 8 – Bisikan Air Laut
Aurelia tidak kembali ke laut selama berhari-hari. Ratu Siren akhirnya mengirim utusan untuk menjemputnya.
Ketika Siren dewasa itu tiba di gerbang kuil, ia menatap Lucius dengan tatapan dingin yang membuat bocah demon itu menegang.
“Aurelia, waktumu di sini sudah cukup.”
Aurelia memeluk Lucius cepat-cepat.
“Tunggu aku besok! Aku balik lagi!”
Lucius menahan lengan bajunya. “Jangan pergi…”
“Tapi aku harus pamit dulu ke Mama. Setelah itu aku kembali padamu.”
Lucius mengangguk kecil, meski cemas.
Namun saat Aurelia tiba kembali di kerajaan bawah laut, Ratu Siren sudah menunggunya dengan tatapan kecewa.
“Aurelia, kau sudah terlalu dekat dengan anak itu.”
“Mama… Lucius bukan bahaya.”
“Demon Bulan tidak pernah aman,” jawab sang Ratu dingin.
“Jika emosinya pecah lagi, sihir bulan bisa membunuhmu.”
Aurelia mengepalkan tangan.
“Apa Mama ingin aku membiarkan dia sendirian?”
Sang Ratu terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.
“Hati-hati. Hubungan kalian tidak akan mudah. Dunia kita berbeda.”
Aurelia menatap laut gelap di luar istana.
“Aku tahu… tapi aku tetap ingin berada di dekatnya.”
---
Bab 9 – Rasa yang Tak Bisa Dijelaskan
Setiap hari Aurelia kembali ke Kuil Bulan. Setiap hari Lucius menunggu di gerbang. Mereka bermain, makan bersama, tertawa, dan kadang bertengkar kecil.
Lucius mulai pulih, tapi ada hal baru yang muncul—
ia cepat cemburu.
Ketika penjaga muda berbicara pada Aurelia terlalu lama, aura bulan Lucius bergetar.
Ketika Aurelia memuji burung sirius, Lucius mendadak diam.
“Ada apa, Lucius?” tanya Aurelia.
“Tidak apa-apa,” jawabnya pendek.
Namun wajahnya memerah.
Aurelia tertawa.
“Lucius cemburu ya?”
“TIDAK!” seru Lucius, terlalu cepat.
“Tapi wajahmu merah,” Aurelia menunjuk.
“Bukan merah! Ini… efek bulan!”
Aurelia mendekat, senyum nakal.
“Kalau begitu bulan suka menggoda Lucius?”
Lucius menoleh cepat, malu—dan Aurelia tertawa lebih keras.
Dari jauh, Aldren mengamati mereka dengan senyum lembut.
“Cinta kecil memang selalu dimulai dari pertengkaran… dan tatapan seperti itu.”
---
Bab 10 – Ketika Laut dan Bulan Menjadi Musuh
Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
Suatu hari, Ratu Siren mengirim pesan ke Kuil Bulan:
“Aurelia tidak boleh mengunjungi wilayah demon lagi.”
Lucius tertegun membaca surat itu.
Aurelia hanya menunduk, wajahnya muram.
“Mama bilang hubungan siren dan demon bisa memicu perang kecil…” bisiknya.
“Perang… hanya karena kita berteman?” Lucius hampir tidak percaya.
Aurelia menggigit bibir. “Kalau aku terus datang… aku bisa dihukum.”
Lucius merasa jantungnya seperti diremas.
“Kalau begitu jangan datang… aku tidak ingin kau disakiti,” katanya dengan suara kecil, namun hatinya hancur.
Aurelia menggeleng cepat, meneteskan air mata.
“Aku tidak ingin berhenti bertemu denganmu!”
Lucius menurunkan kepala.
Sakitnya jauh lebih besar daripada badai sihir mana pun.
---
Bab 11 – Keputusan yang Mengubah Segalanya
Malam itu, Lucius tidak bisa tidur. Ia duduk di balkon kuil, menatap laut jauh di bawah.
Cahaya bulan yang biasanya menenangkan, kini terasa dingin dan membakar dada.
“Aku tidak bisa kehilangan Aurelia lagi…”
“Tidak seperti waktu itu…”
Ia ingat wajah Aurelia saat diusirnya.
Ingat air mata gadis itu.
Ingat pelukannya saat menghentikan badai sihir.
Lucius mengepalkan tangan kecilnya.
“Jika takdir tidak mengizinkan kami… maka aku akan melawannya.”
Ia berdiri, aura bulan menyala halus.
Keesokan paginya, saat Aurelia datang diam-diam, Lucius menariknya ke sisi kuil yang tersembunyi.
“Aurelia…”
suara Lucius bergetar.
“Mulai sekarang… kalau dunia tidak membiarkan kita bertemu—”
mata merahnya menatap lurus,
“—maka kita akan bertemu diam-diam.”
Aurelia terkejut.
“Tapi itu—”
“Jika kau tak bisa datang ke bulan, maka aku yang akan datang ke laut.”
Aurelia menutup mulutnya dengan tangan kecil, air mata mulai mengalir.
“Lucius… kau serius…?”
Lucius mengangguk pelan. “Aku tidak ingin berpisah denganmu.”
Aurelia memeluknya erat.
Dan untuk pertama kalinya, Lucius membalas pelukan itu tanpa ragu.
---
Bab 12 – Janji di Bawah Dua Cahaya
Malam itu, di bawah cahaya bulan dan pantulan cahaya laut, mereka bertemu di tengah jembatan batu yang memisahkan dua wilayah.
Lucius membawa batu bulan kecil yang berpendar lembut.
Aurelia membawa mutiara laut yang bersinar biru.
Lucius mengulurkan batu bulan kepadanya.
“Aurelia… ini bagian dariku. Supaya kau tidak merasa sendirian.”
Aurelia memberikan mutiaranya.
“Dan ini bagian dariku. Supaya kau selalu ingat aku ada di sisimu.”
Mereka saling menatap, lalu menggenggam tangan.
Di antara jembatan dua dunia, dua anak kecil itu membuat janji:
“Walau bulan dan laut terpisah… kita tidak akan meninggalkan satu sama lain.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, cahaya bulan dan cahaya laut menyatu—membentuk garis terang yang seakan memberkati mereka.
Bersamaan dengan itu…
takdir mulai bergerak.
Bukan menuju akhir, tetapi menuju masa depan yang lebih besar—
di mana cinta kecil, kesalahpahaman, dan luka masa lalu akan menentukan nasib dua dunia.