Pertama kali aku melihatnya, suatu perasaan aneh ini muncul begitu saja. Perasaan aneh yang tidak bisa aku artikan. Lelaki bertubuh jangkung dengan rambut hitam legam yang selalu ia sisir kebelakang, membuat wajah yang terpahat sempurna itu terpampang dengan jelas.
Dia adalah Dharma, lelaki paling famous di sekolahku, saat itu dia duduk di kelas 3 SMP sedangkan aku berada di kelas 1 SMP. Aku bertemu dengannya ketika ujian semester pertama, aku satukelas dengannya dan duduk tepat di sampingnya, kami satu bangku saat itu.
Namun tidak pernah ada pembicaraan di antara kami di dua hari awal itu. Banyak wanita yang mengaguminya, termasuk aku.
Namaku dan namanya berdampingan pada kartu ujian yang di tempel di bangku. Dharma dan Defne. Mustahil untuk berbicara padanya hanya untuk berbasa-basi, karena aku terlalu malu untuk berbicara padanya.
Di hari ke empat ujian semester awal, aku datang ke sekolah dengan tubuh yang menggigil. Aku sakit, namun aku tidak bisa bolos di hari ujian. Ujian saat itu terasa begitu berat, mataku berkunang-kunang dan kepalaku sangat sakit.
Nafasku cepat tak seperti biasanya, akhirnya aku ambruk. Aku tidak begitu mengingatnya namun aku merasakan sebuah tangan yang memegang keningku, dan suaranya yang meminta tolong pada pengawas ujian.
Aku membuka mataku setelah mendengar suara bel istirahat berbunyi, mataku mendapatkan langit-langit putih dengan gordeng pembatas di samping kiriku, aku berada di uks sekolah, namun saat aku menoleh kearah kanan ku... aku melihatnya tengah duduk diranjang disampingku sambil menatapku. Sudah berapa lama dia disini? Apa dia yang membawaku kesini?, otakku penuh dengan tanda tanya saat aku menatapnya.
Dia beranjak dan menghampiriku, tanpa berkata-kata tangannya menempel pada keningku. Aku yang masih terbaring hanya terdiam "Demamnya belum turun."gumamnya, ia lalu kembali duduk sambil menatapku, aku menghindari kontak mata dengan. Tatapannya secara tidak langsung membuatku salah tingkah, aku tidak tau harus melakukan apa.
"Boleh aku pinjam ponselmu?" Tanyanya, aku seketika menatapnya. "Aku akan menelpon orang tuamu agar menjemputmu pulang." Lanjutnya. "aku rasa tidak perlu kak, aku bisa melanjutkan sekolah." Paparku.
Ia menundukan kepala, ujung binirnya naik, ia tersenyum lalu menyentuh hidungnya. "Sekolah sudah bubar satu jam yang lalu, semua orang sudah pulang."ujarnya
Darahku serasa berhenti mengalir. Sudah bubar? Sudah satu jam yang lalu?
Aku spontan melihat ke arah jendela UKS, dan benar saja—halaman sudah kosong. Sunyi.
“A-apa?” gumamku hampir tak terdengar.
Dharma berdiri, lalu menghampiri meja kecil tempat sebotol air minum dan obat penurun panas berada. Aku tidak tahu sejak kapan semua itu ada di sana. Ia menuang sedikit air ke gelas, lalu kembali ke sisiku.
“Bangun sebentar,” katanya pelan. Tatapannya lembut namun tegas.
Aku bangkit sambil menahan nyeri, dan ia menyodorkan gelas itu padaku. Tangan kami bersentuhan sesaat—singkat sekali—tapi cukup untuk membuat jantungku berdegup lebih keras dari biasanya.
“Minum ini dulu,” ujarnya.
Aku mengangguk patuh. Setelah menelan obat, aku kembali merebahkan kepala. Tak kusangka, ia kembali duduk di ranjang sebelahku, seperti tidak berniat pergi.
“Kak Dharma…” panggilku pelan, suara lemah.
“Hm?”
“Kenapa… kakak masih di sini? Semua murid kan sudah pulang.”
Ia tidak langsung menjawab. Ia menatap ke arah jendela sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat.
“Karena kamu pingsan di sebelahku.”
Suaranya menurun, lebih lembut.
“Dan karena… kamu terlihat benar-benar sakit.”
Aku terdiam. Pipi panas, entah karena demam atau karena malu.
“Pengawas membantuku mengangkatmu ke sini,” lanjutnya. “Aku… cuma memastikan kamu bangun sebelum pulang.”
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya menatap selimut tipis yang menutupi tubuhku.
Beberapa menit berlalu dalam hening. Namun hening itu tidak canggung—anehnya, justru menenangkan.
“Kak…” gumamku, ragu-ragu.“Terima kasih.”
Ia menoleh. Untuk pertama kalinya aku menatapnya tanpa menghindar.
Ia tersenyum. Senyum yang—tanpa aku sadari—akan terus tinggal bertahun-tahun dalam ingatanku.
♡
Hari-hari setelah kejadian itu berubah.
Dharma mulai sering menyapaku di koridor. Sesekali menanyakan kabarku. Sesekali tersenyum hanya karena kami berpapasan. Dan setiap kali itu terjadi, rasanya dunia berhenti sesaat.
Tapi kami tidak pernah benar-benar dekat. Tidak pernah benar-benar berbicara panjang. Dia tetap lelaki terkenal, disukai semua orang. Aku tetap siswi biasa yang hanya bisa mengaguminya diam-diam.
Waktu berlalu. Aku naik kelas. Ia lulus SMP.
Hari perpisahan, aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan saat ia berfoto bersama teman-temannya. Ada satu momen di mana ia menoleh ke arahku—hanya sepersekian detik—dan tersenyum kecil. Seperti sebuah salam perpisahan yang tidak diucapkan.
Setelah itu, ia pergi. Melanjutkan sekolah di luar kota.
Nama dan wajahnya perlahan memudar dari keseharian, tapi tidak pernah hilang dari ingatanku.
Tahun demi tahun berlalu.
Aku tumbuh. Dia pun tumbuh.
Hanya saja… kami tumbuh di dunia yang berbeda.
♡
Hingga tujuh tahun kemudian.
Saat aku berusia 26, tanpa pernah terbayang sebelumnya, aku didudukkan di ruang tamu untuk dikenalkan pada seorang “calon” hasil perjodohan keluarga.
Ketika pintu dibuka dan dia masuk—dengan tubuh yang lebih tegap, sorot mata lebih dewasa—dunia seakan berhenti berputar.
Dia. Dharma. Cinta pertama yang pernah kutinggalkan di halaman masa SMP.
Ia menatapku lama, wajahnya berubah lembut.“Defne…?”
Suara itu—yang dulu memanggil pengawas saat aku jatuh, yang dulu mengucapkan selamat pagi dengan ragu—kembali menyentuh memoriku.
Aku terpaku.Tidak percaya.Tidak siap.
Dia tersenyum.
Senyum itu masih sama.
Hanya saja kini terasa lebih hangat… dan jauh lebih dekat.
“Sepertinya,” katanya pelan, “takdir memang suka bercanda.”
Dan sore itu, di ruang tamu sederhana yang menjadi saksi, aku menyadari satu hal.Perasaan aneh yang pertama kali muncul saat aku melihatnya di bangku ujian… ternyata tidak pernah benar-benar hilang.
♡
Pertemuan pertama setelah tujuh tahun itu hanya berlangsung singkat. Setelah keluarga kami selesai berbincang, kami diberi waktu berdua di teras rumah. Semua terasa canggung di awal—dan bagaimana tidak? Kami hanyalah dua orang yang dulu nyaris tidak pernah benar-benar bicara, lalu tiba-tiba dijodohkan sebagai calon pasangan hidup.
“Aku… tidak menyangka kamu masih mengingatku,” kataku pelan, mencoba memecah kebekuan.
Dharma tersenyum kecil. “Defne, kamu pikir aku bisa lupa orang yang pernah pingsan tepat di bahuku di ruang ujian?”
Aku terperangah, sementara ia terkekeh melihat ekspresi terkejutku.
“Aku ingat banyak hal,” lanjutnya. Tatapannya turun ke tangan yang kuletakkan di pangkuanku. “Aku ingat kamu yang selalu mengetuk-ngetuk pensil kalau gugup. Aku ingat kamu pernah panik karena kertas ujiannya tertukar. Dan… aku ingat betapa takutnya aku waktu kamu ambruk.”
Pipiku memanas.Selama ini aku pikir aku hanyalah siswi biasa yang tak pernah benar-benar terlihat olehnya. Tapi ternyata—dia memperhatikan.
Keesokan harinya,ia mengirim pesan.
“Bolehkah aku menjemputmu sore ini? Kita bicara lebih nyaman, tanpa orang tua.”
Hatiku berdebar. Tapi aku mengiyakan.
♡
Sore itu, ia datang dengan pakaian kasual yang membuatnya tampak lebih muda. Ia membawaku ke sebuah kafe kecil yang tenang, tempat yang katanya sering ia datangi sepulang kerja. Dari awal, ia sudah terlihat berusaha membuatku nyaman.
“Defne,” katanya sambil menatapku lurus, “apa kamu keberatan dengan perjodohan ini?”
Pertanyaan itu menusuk langsung ke pusat keraguan yang sejak kemarin menggangguku.
“Aku… belum tahu,” jawabku jujur. “Ini terlalu tiba-tiba. Dan aku tidak mau memaksakan perasaan hanya karena tekanan keluarga.”
Dharma mengangguk pelan.“Aku juga tidak mau kamu merasa terpaksa.”
hening sejenak.
“Tapi,” lanjutnya. “Jika kamu setuju… aku ingin mencoba mengenalmu lebih dalam. Bukan sebagai teman sekelas yang dulu, tapi sebagai pria yang ingin melihat apakah kita bisa berjalan ke masa depan bersama.”
Ada sesuatu pada nadanya—ketulusan, keseriusan, sekaligus kerentanan.
Aku menatapnya.
Dan untuk pertama kalinya, aku melihat sisi Dharma yang tidak pernah kutahu saat SMP.
Dia bukan lagi lelaki famous yang digilai siswi-siswi.
Dia bukan lagi kakak kelas yang hanya bisa kutatap dari jauh.
Ia kini pria dewasa yang benar-benar ingin mengenalku.
“Aku… ingin mencoba juga,” gumamku.
Dharma tersenyum. Dan entah kenapa, senyuman itu membuat dadaku hangat.
♡
Hari-hari setelah itu berjalan perlahan tapi stabil. Kami tidak langsung menjadi pasangan sempurna.Kami penuh canggung, penuh diam, penuh hati-hati.
Tapi justru itulah yang membuat semuanya terasa nyata.
Ia mulai mengantarku pulang kerja. Kadang membawakan minuman favoritku tanpa kuminta. Kadang mendengarkan ceritaku tentang hal-hal sepele sambil tersenyum sabar. Aku pun mulai melihat sisi dirinya yang lembut—pria yang suka membaca sebelum tidur, yang diam-diam tidak tahan makanan pedas, yang selalu memijit pelipis jika sedang berpikir keras.
Kami tertawa.Kami bercerita.
Kami saling membuka diri sedikit demi sedikit.
Dan semakin lama… semakin sulit mengabaikan kenyataan bahwa sesuatu telah tumbuh di antara kami.
♡
Suatu malam, setelah makan malam bersama, Dharma menghentikan mobilnya tepat di depan rumahku. Ia tidak langsung mematikan mesin. Tatapannya mengarah padaku, seolah mencari keberanian.
“Defne,” katanya perlahan. “Kalau kamu merasa hubungan ini terlalu cepat, atau kamu tidak nyaman, kamu boleh bilang kapan saja.”
Aku menoleh padanya.“Aku nyaman.”
Ia tampak lega, tapi juga… gugup.
Kemudian ia bertanya dengan suara yang lebih pelan:
“Dan… kalau boleh tahu… apa aku boleh berharap sedikit lebih?”
Dadaku bergetar.Aku menarik napas.
“B-boleh,” jawabku jujur. “Karena aku pun… mulai berharap.” Batinku.
Dan malam itu, senyuman Dharma berubah—lebih hangat… lebih dalam. Seperti senyum seseorang yang akhirnya menemukan sesuatu yang lama ia cari.
Sesuatu yang hampir hilang tujuh tahun lalu.
Sesuatu yang kini perlahan tumbuh kembali.
♡
Hubungan kami berjalan perlahan, namun penuh ketulusan. Dalam beberapa bulan, kedekatan yang awalnya canggung berubah menjadi kebiasaan yang menenangkan. Aku mulai terbiasa dengan caranya memanggilku pelan saat menjemput, tatapan hangatnya ketika aku menceritakan hal-hal sepele, dan bagaimana ia selalu menghindari makanan pedas tapi tetap makan jika aku membelikannya.
Dan tanpa kusadari, aku mulai melihat masa depan bersamanya—bukan karena perjodohan, tapi karena aku benar-benar menginginkannya.
♡
Lamaran
Suatu sore, Dharma mengajakku ke taman kecil yang dulu sering dilewatinya saat ia masih SMP. Tempat itu tenang, dipenuhi bunga kertas yang bergoyang diterpa angin. Aku pikir kami hanya jalan-jalan, sampai ia menghentikan langkahnya.
“Defne,” katanya pelan, menatapku dengan mata yang begitu serius.
“Aku dulu hanya sakit hati saat kamu pingsan di sebelahku, takut kalau kamu kenapa-kenapa. Tapi setelah bertemu lagi… aku sadar rasa takut itu berubah menjadi sesuatu yang lain.”
Ia menarik napas dalam.
“Aku ingin menjaga kamu, bukan hanya sebagai teman masa lalu… tapi sebagai pasangan hidup.”Ia meraih kotak kecil dari sakunya.
“Will you marry me?”
Tubuhku gemetar. Bukan karena terkejut—tapi karena jawaban itu sudah lama ada dalam hatiku.
“Iya,” jawabku sambil tersenyum, “Aku mau.”
Mata Dharma melembut. Ia memasangkan cincin ke jariku, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa semua jalan yang pernah kulalui akhirnya menemukan tujuan.
♡
Persiapan pernikahan kami sederhana namun penuh kebahagiaan. Kedua keluarga ikut membantu, dan setiap kali melihat Dharma berbaur dengan keluargaku, aku merasa semakin yakin.
Ia tidak lagi menjadi kakak kelas famous yang pernah tak berani kusapa.
Ia kini menjadi pria yang membantuku memilih warna undangan, yang memeriksa daftar tamu, dan selalu memastikan aku tidak kelelahan.
Kadang aku berpikir… betapa lucunya takdir.
Dulu, aku hanya duduk di sebelahnya tanpa berani bicara.
Kini, aku akan duduk di sisinya sebagai istri.
♡
Hari itu datang juga, hari pernikahanku.
Aku berdiri di depan cermin dengan gaun putih sederhana. Jantungku berdebar bukan karena gugup—tapi karena bahagia. Ketika pintu ruang rias dibuka, ayah menggandengku dan membawaku ke pelaminan.
Dharma berdiri di sana, memakai jas hitam yang membuatnya tampak dewasa dan sangat tampan. Tatapannya lembut, teduh, dan penuh rasa yang tidak pernah bisa ia sembunyikan.
Saat aku berjalan mendekat, ia tersenyum—senyum yang dulu kulihat pertama kali saat SMP ketika aku memanggilnya pelan, senyum yang muncul ketika ia menungguiku bangun di UKS.
Namun kini, senyum itu bukan untuk siswi kelas satu yang sakit.
Bukan untuk kenalan lama yang dijodohkan. Senyum itu untuk perempuan yang akan menjadi istrinya.
Upacara berlangsung dengan khidmat.
Ketika aku menggenggam tangannya dan mengucapkan janji, aku tahu… hidupku tidak lagi sama.
Kami resmi menikah.
Dua jalan yang dulu berpisah belasan kilometer, kini bertemu tepat di pelaminan.
♡
Malam itu, setelah semua tamu pulang dan dunia menjadi lebih tenang, Dharma menggenggam tanganku di beranda hotel tempat resepsi diadakan.
“Kamu tahu,” katanya pelan, “Sejak hari aku menunggumu di UKS waktu itu… aku berharap bisa melihatmu lagi suatu hari.”
Aku menoleh, terkejut.“Kakak…?”
Ia tersenyum, menatapku dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang mencintai.
“Dan ternyata, harapan itu datang tujuh tahun kemudian… sebagai wanita yang sekarang resmi menjadi istriku.”
Aku tertawa kecil.“Takdir memang suka bercanda.”
“Ya,” Dharma mengangguk, mengusap rambutku perlahan.“Tapi kali ini… aku bersyukur pada candaan itu.”
Kami saling berpelukan. Angin malam membawa aroma bunga dari taman, sama seperti saat ia melamarku.
Itulah kisahku.
Kisah cinta pertama yang sempat hilang… namun akhirnya kembali pulang.
Tamat.