Sebagai anak bungsu, Aji terlahir ketika ayahnya sudah berusia lima puluh Sembilan tahun, dan ibunya empat puluh lima. Masa kecilnya diwarnai oleh pertanyaan yang sama dari teman-teman sebayanya, "Itu kakekmu?" setiap ayahnya menjemput di sekolah. Aji hanya mengangguk malu, tak sanggup menjelaskan bahwa itu adalah ayah kandungnya sendiri.
Kini di usia dua puluh empat tahun, Aji duduk di ujung ranjang rumah sakit, memandangi sosok renta yang terbaring lemah. Ayahnya, sekarang delapan puluh dua tahun, bagai daun terakhir di pohon yang meranggas. Nafasnya tersengal, matanya sayu memandangnya.
"Aaji..." suara ayahnya parau.
"Ayah, Aji di sini," pegang Aji tangan keriput itu.
Dia teringat masa kecilnya. Saat teman-temannya diajak ayah mereka bermain bola, ayahnya hanya bisa duduk di bangku taman, mengawasinya dari kejauhan. Saat mereka diajak hiking naik gunung, ayahnya hanya bisa menunggu di bawah dengan obat jantung di saku.
Ibundanya telah pergi tiga tahun lalu. Kanker rahim. Aji waktu itu baru lulus SMA. Kini, dia harus menghadapi perpisahan lagi.
"Maafin Ayah, Aji" bisik sang ayah.
"Maaf"
Kalimat itu menghantam Aji seperti pukulan halus. "kenapa ia harus terlahir jadi bungsu, hidup di penghujung usia orang tuanya." pikir Aji
Teman-teman sebayanya masih bisa berdiskusi tentang rencana karir dengan orang tua mereka. Sedangkan Aji harus menjelaskan apa itu smartphone pada ayahnya berulang kali. Teman-temanya masih bisa meminta nasihat kehidupan, sementara Aji harus menjadi orang dewasa sebelum waktunya, merawat, menjelaskan, dan akhirnya melindungi.
Malam itu, ayahnya memanggilnya mendekat. "Aji... Ayah sayang kamu. Kamu adalah kejutan terindah di usia tua kami."
Tangannya yang keriput meraih sesuatu dari bawah bantal. Sebuah buku tabungan lama. "Untukmu... bekal terakhir."
Aji membuka buku itu. Saldo yang cukup untuk membayar uang kuliah S2-nya. Tabungan yang dikumpulkan sedikit demi sedikit oleh orang tuanya yang sudah pensiun, mungkin dengan menyisihkan dari uang belanja dan obat-obatan.
"Ayah..." tangis Aji akhirnya pecah. Dia memeluk tubuh renta itu, merasakan betapa ringannya, seperti burung yang sudah terlalu lelah terbang.
"Jangan menangis," usap ayahnya yang gemetar. "Kamu kuat. Kamu harus... melanjutkan."
Esok harinya, ayahnya meninggal dalam tidur. Wajahnya tenang, seperti akhirnya berhasil menyelesaikan tugas terberatnya.
Aji berdiri di pemakaman, memandangi dua nisan baru di samping pusara ibunya. Dia, di usia dua puluh empat tahun, sudah menjadi yatim piatu. Teman-temannya masih punya orang tua yang berusia lima puluhan, masih bisa pulang ke rumah dan disambut masakan ibu, masih bisa menelepon untuk minta pendapat.
Dia? Dia pulang ke rumah sepi yang di dalamnya tersimpan kenangan-kenangan usang. Album foto dengan gambarnya yang masih bayi, dikelilingi wajah-wajah yang sudah keriput. Hadiah-hadiah ulang tahun yang sederhana buku tulis, pensil warna, sepatu baru dengan model ketinggalan jaman yang dulu membuatnya malu, kini berarti segalanya.
Menjadi bungsu di ujung usia orang tua berarti belajar tentang kehilangan sejak dini. Berarti menyadari bahwa cinta terbesar yang kau terima datang dengan batas waktu yang singkat.
Dia membuka buku tabungan peninggalan ayahnya. Di sampul belakang, ada tulisan pena ayahnya yang sudah memudar.
"Untuk Aji, matahari terakhir dalam hidup kami. Teruslah bersinar, meski kami sudah pergi."
Dia menatap langit, sendirian. Menjadi bungsu berarti menjadi pewaris tunggal kenangan, penjaga api terakhir dari perapian yang sudah padam. Dan kini, di usia yang seharusnya masih muda, dia sudah harus belajar hidup tanpa akar.