Aku berdiri di dapur, menyiapkan makan malam seperti biasa, dengan hati yang gembira dan penuh harapan. Yichen akan segera pulang dari pekerjaannya, dan aku ingin membuatnya tersenyum dengan hidangan favoritnya. Tapi, saat Yichen tiba, aku melihat ke dalam matanya yang kosong, seperti lubang hitam yang menghisap semua cahaya.
Aku merasa seperti dihantam badai, seperti ombak yang menghantam karang. Aku mencoba untuk mengobrol, tapi Yichen hanya memberikan jawaban singkat dan tidak menarik. Aku merasa seperti aku sedang berbicara dengan dinding, tanpa harapan untuk mendapatkan jawaban yang berarti.
Setelah makan malam, Yichen memintaku untuk duduk bersamanya di sofa. Aku duduk di sebelahnya, merasa seperti aku sedang menunggu vonis mati. Yichen mengambil napas dalam-dalam, dan kemudian mengucapkan kalimat yang menghancurkan hatiku. "Mari kita akhiri semua ini," katanya, tanpa emosi, tanpa rasa sakit.
Aku menatapnya dengan mata yang masih penuh cinta, seperti bunga yang layu namun masih menyimpan keindahan. Wang Yichen, orang yang telah mencuri hatiku dengan senyum yang manis, seperti matahari yang bersinar di pagi hari.
Aku masih ingat saat pertama kali kami bertemu, saat itu aku tidak pernah membayangkan bahwa aku akan jatuh cinta begitu dalam. Cinta lelucon anak muda, membawa kami hingga ke titik ini, seperti permainan takdir yang tidak bisa diprediksi.
Kami berbicara tentang impian, tentang harapan, tentang cinta, seperti burung yang bernyanyi di pagi hari. Aku merasa seperti aku telah menemukan separuh jiwaku, seperti puzzle yang lengkap. Aku mencintainya dengan segenap hati, dan aku pikir dia juga merasakan hal yang sama.
Tapi rupanya, aku salah. Aku tahu tentang Lin Hanyan, seperti bayangan yang menghantui di balik tirai. Semua orang di sekitar kami tahu, tapi aku tidak ingin percaya. Aku ingin percaya bahwa Yichen masih mencintaiku, bahwa aku masih satu-satunya baginya.
Aku mencoba untuk tidak memikirkan hal itu, aku mencoba untuk tidak melihat tanda-tanda yang jelas. Tapi semakin hari, aku semakin merasa bahwa aku kehilangan dia, seperti pasir yang jatuh dari tangan. Aku merasa seperti aku berada di tepi jurang, dan aku tidak tahu bagaimana cara untuk kembali.
Hari ini, aku harus menghadapi kenyataan. Yichen memutuskan hubungan kami. Aku melihat tidak ada keraguan sedikit pun di wajahnya, seperti batu yang keras dan tidak bisa dipecahkan. Sorot matanya semakin menyakinkanku bahwa aku harus pergi.
Aku merasa seperti dihantam badai, seperti ombak yang menghantam karang. Aku tidak bisa bernapas, tidak bisa berpikir. Aku hanya bisa menatapnya, berharap bahwa ini semua hanya mimpi.
"Aku mencintaimu, Jianyu. Tapi aku tidak bisa melanjutkan ini lagi," kata Yichen, kata-katanya seperti pisau yang menusuk hatiku.
Tapi itu tidak cukup. Cinta tidak cukup. Aku melihat itu di matanya. Aku melihat bahwa dia sudah tidak mencintaiku lagi.
Malam ini kami tidur bersama, seperti malam-malam sebelumnya. Namun kali ini terasa jauh berbeda, aku memeluknya erat, seperti pelaut yang menggenggam jangkar di tengah badai. Cinta kami telah rapuh, seperti benang yang hampir putus, dan aku takut bahwa sedikit saja aku mengendurkan dekapan, Yichen akan menghilang dari hadapanku seperti asap yang terbawa angin.
Aku terus terjaga semalaman, mata yang tak pernah berkedip, jantung yang terus berdegup kencang. Aku takut bahwa jika aku terlelap, saat aku bangun nanti, Yichen sudah menghilang, meninggalkan aku sendirian di dalam kegelapan.
"Yichen, terimakasih sudah mencintaiku selama ini," aku berbisik dalam hati, suara yang hanya bisa didengar oleh jiwa. "Aku selalu melihatmu, tak pernah sedikitpun aku berpikir untuk mengalihkan pandanganku darimu. Namun, bayanganmu semakin menjauh, seperti matahari yang tenggelam di ufuk barat, meninggalkan aku dalam kegelapan abadi."
Aku merasakan sakit yang tak terperi, seperti pisau yang menusuk hati. "Yichen, jika ada kehidupan setelah kematian, aku masih akan mencintaimu," aku berjanji pada diri sendiri. "Mari bersama dan berbagi cinta yang indah bersama. Mari saling mengenal lagi, dan mengucapkan cinta pertama lagi. Yichen, aku mencintaimu."
Aku menutup mata, dan membiarkan air mata mengalir. Aku tahu bahwa aku tidak bisa menahannya lagi, bahwa cinta kami telah mencapai akhir yang pahit.
EPILOG
Aku berdiri di depan pintu, menatap ke belakang, ke apartemen yang pernah menjadi rumah kami. Aku merasa sedikit lega, sedikit sedih. Aku tahu bahwa aku telah membuat keputusan yang tepat, tapi aku juga tahu bahwa aku akan selalu mengingat Jianyu. "Jika kita terlahir kembali di kehidupan selanjutnya. Jangan mencintaiku lagi."
Rasa lega yang aku rasakan seperti ruang kosong yang menyisakan kesunyian, membuatku merasa hampa dan menyesakkan hati. Aku berjalan menjauh, meninggalkan kenangan-kenangan indah di belakang, dan melangkah ke hidup baru yang tidak lagi terikat dengan Jianyu, meninggalkan jejak cinta yang tak pernah bisa dihapus.