Bagi Rania, buku-buku itu bukan lagi tumpukan kertas berjilid, melainkan jantung pengganti yang memompa darah ke dalam kehidupannya yang kelabu. Setiap huruf adalah denyut nadi, setiap paragraf adalah nafas. Di ruang tamu yang sunyi, hanya dihadiri oleh bayangannya sendiri dan foto pernikahan, buku-bulah satu-satunya suara yang menentang kesunyian.
Saat Rafly, suaminya, masih ada, rumah ini penuh tawa. Kini, setelah pesawat yang ditumpanginya menghilang di atas lautan dan tak pernah ditemukan, statusnya tetap menggantung hilang. Bukan mati, bukan hidup. Sebuah limbo yang menyiksa. Rania terjebak dalam penantian tanpa akhir, di sebuah rumah yang menjadi museum bagi kenangan yang terlalu perih untuk diingat, namun terlalu berharga untuk dilupakan.
Hari ini, seperti kemarin dan esok yang akan datang, Rania membuka halaman pertama sebuah novel. “The Unbearable Lightness of Being”. Rafly yang merekomendasikannya. Dia mulai membaca, dan seketika dunia nyata memudar.
Kata-kata di halaman itu berubah menjadi jalanan di Praha. Dia bukan lagi Rania yang janda, tapi menjadi Tereza, merasakan beban cintanya pada Tomas. Dia merasakan getar kota asing, aroma kopi di kedai kecil, dan dahaga akan sebuah kepastian. Ketika Tomas tidak setia, hatinya sesak. Ketika Tereza menemukan kekuatan, dadanya pun membusung. Dalam beberapa jam itu, dia benar-benar "hidup". Dia merasakan spektrum emosi manusia yang lengkap, sakit, cinta, harapan, amarah.
Saat matahari tergelincir, matanya yang lelah berpindah ke buku hariannya sendiri. Sebuah catatan usang yang penuh dengan coretan dua warna. Tulisan hitam miliknya, biru milik Rafly. Mereka sering saling menuliskan kutipan buku favorit.
Di satu halaman, tulisannya hitam “Aku mencintaimu karena seluruh alam semesta telah bersekutu untuk membawaku kepadamu.” The Alchemist.
Di bawahnya, tulisan biru Rafly: “Dan aku akan terus mencarimu di setiap kehidupan, bahkan jika alam semesta mencoba memisahkan kita.”
Senja tiba, membawa serta keberanian. Dengan jari gemetar, Rania membuka kotak kayu di lemari. Isinya, karcis pesawat. Karcis untuk penerbangan yang sama yang ditumpangi Rafly. Kursi di sebelahnya. Awalnya, dia akan ikut dalam perjalanan dinas itu. Tapi pagi itu, badainya mengamuk, dan Rania merasa tak enak badan.
Rafly mencium keningnya. “Kamu istirahat saja, Ran. Aku akan cepat kembali.” Dia memaksanya untuk tetap di rumah.
Dia memegang karcis itu, kertas yang membuatnya tetap hidup, sekaligus menjadi bukti betapa dekatnya dia dengan kematian. Andai saja dia berkeras ikut, mungkin sekarang dia berada di samping Rafly, di mana pun itu. Atau, mungkin, mereka akan hilang bersama.
Air mata akhirnya menetes, membasahi karcis yang sudah lapuk. Rasa sakit itu nyata, menggigit, lebih nyata daripada apapun yang dia rasakan dalam setahun terakhir. Dalam pelariannya ke dunia kata-kata, dia melupakan betapa perihnya luka di dunia nyata.
Dia menutup kotak kayu itu, mengubur kembali hantu penyesalannya. Dengan napas terengah, dia kembali mengambil novel. Dia membuka halaman secara acak, matanya mencari pelipur lara. Dan di sanalah, sebuah kalimat yang seolah ditulis khusus untuknya "life after breakup yang sesungguhnya itu di saat lo nangis nangis, tapi ketika lo udah bisa berdamai dengan keadaan."
(hemachandra.)
Rania terhenyak.
Dia menyadari sesuatu yang pahit. Selama ini, dia membaca untuk melarikan diri, untuk merasa hidup dalam dunia fiksi karena kehidupannya sendiri mandek. Tapi buku-buku itu justru mengingatkannya pada kebenaran yang dia hindari bahwa untuk benar-benar hidup, dia harus berani memeriksa lukanya, menerima rasa sakitnya, dan mungkin, suatu hari nanti, belajar untuk berjalan lagi.
Dia menatap foto pernikahan mereka. Rafly tersenyum, matanya penuh cahaya. Apakah Rafly ingin dia terjebak dalam penantian abadi ini? Atau apakah dia ingin Rania menemukan alasan untuk hidup, bahkan tanpanya?
Malam semakin larut. Rania menutup novel itu. Untuk pertama kalinya, dia tidak langsung mencari buku baru. Dia hanya duduk dalam kesunyian, merasakan sepenuhnya kesedihan yang selama ini dia hindari. Rasanya menyiksa, tapi juga… membebaskan. Seperti menarik nafas dalam-dalam setelah sekian lama menahan nafas.
Dia membaca untuk merasa hidup. Tapi mungkin, perlahan-lahan, dia harus belajar untuk hidup lagi, bukan hanya sekadar merasa. Dan itu dimulai dengan memberanikan diri untuk merasakan pedihnya kehilangan, sepedih-pedihnya, sebelum akhirnya bisa melepaskannya. Di luar jendela, bulan bersinar lembut, menyinari halaman baru yang masih kosong, menunggu untuk ditulis.
Dan Tujuh tahun telah berlalu sejak pesawat itu hilang. Dan hari ini, sebuah panggilan telepon yang lama ditunggu-tunggu sekaligus ditakuti akhirnya tiba. Petugas dari Basarnas menyampaikan berita yang sekaligus menjadi penutup serpihan pesawat telah ditemukan di dasar laut, bersama dengan kotak hitam yang rusak parah. Analisis terbaru memastikan tidak ada korban selamat. Rafly dinyatakan meninggal dunia.
Deklarasi resmi itu seperti kunci yang mengunci peti mati yang selama ini terbuka. Rania menerima surat kematian itu dengan tangan dingin. Tidak ada lagi ruang untuk "mungkin", tidak ada lagi harapan palsu yang menyiksa. Kenyataan itu telanjang, keras, dan akhirnya.
Dia tidak menangis histeris. Tangisnya sudah habis dalam tujuh tahun penantian. Yang tersisa adalah kehampaan yang lebih dalam, lebih sunyi dari sebelumnya. Dia berjalan ke rak buku, meraba jilid-jilid buku yang selama ini menjadi pelabuhannya. "Anna Karenina, Laskar Pelangi, The Little Prince, The Book Thief." Setiap buku menyimpan sebuah bab dalam penantiannya. Kini, penantian itu usai.
Dengan gerakan lambat, hampir ritualistik, Rania mengambil sebuah buku baru dari laci. Buku itu masih terbungkus plastik. Sebuah novel yang dia beli setahun setelah Rafly hilang, tapi tak pernah punya keberanian untuk membacanya. Judulnya "The Year of Magical Thinking" karya Joan Didion, sebuah memoar tentang kehilangan mendadak.
Dia membukanya. Kali ini, membacanya terasa berbeda. Ini bukan lagi pelarian. Ini adalah konfrontasi. Setiap kata seperti cermin yang memantulkan lukanya sendiri. Saat Didion menulis tentang ketidakmampuan menerima kenyataan, Rania mengangguk pelan. Saat Didion menggambarkan ilusi bahwa orang yang dicintai akan kembali, Rania tersedu. Itu dia. Selama tujuh tahun, dia membaca buku-buku lain untuk membangun dunia alternatif di mana Rafly masih ada di suatu tempat. Kini, buku ini meruntuhkan ilusi itu dengan kejam sekaligus lembut.
Dia membaca sepanjang malam, dalam kesunyian rumah yang kini resmi menjadi miliknya seorang diri. Buku itu menjadi sahabat sekaligus algojo. Dia tidak lagi merasa hidup melalui karakter fiksi. Justru sebaliknya, dia merasakan kematian, kematian harapan, kematian ilusi, dengan begitu hidup dan menyakit-nyakinkan.
Saat fajar menyingsing, Rania sampai pada halaman terakhir. Didion menulis tentang bagaimana dia akhirnya harus belajar hidup di dunia yang telah berubah selamanya. Tentang bagaimana cinta tidak mati, tapi harus berubah bentuk menjadi kenangan.
Rania menutup buku itu. Matanya merah dan berat, tapi jernih. Dia berjalan ke meja tulisnya dan mengambil buku hariannya, buku yang sama yang penuh dengan coretan tinta hitam dan biru.
Dia membuka halaman terakhir yang ditulis Rafly. Kutipan terakhir darinya, dalam tinta biru yang sudah memudar: "Jika ini adalah halaman terakhir kita, ketahuilah bahwa cintaku padamu adalah kalimat pertama dari setiap cerita yang belum tertulis."
Dengan tangan yang sedikit bergetar, Rania mengambil pulpennya. Di bawah tulisan Rafly, dengan tinta hitam pekat, dia menulis:
"Dan ini adalah halaman pertamaku tanpamu. Aku tak tahu ceritanya akan seperti apa. Aku hanya tahu, aku harus belajar membacanya sendiri."
Dia meletakkan pulpen, memandangi foto Rafly di atas meja. Senyumnya masih sama, membeku dalam waktu.
"Aku mencintaimu, Rafly," bisiknya ke ruang yang sunyi. "Selamanya. Tapi penantianku untukmu sudah berakhir."
Dia tidak membakar surat kematian itu, juga tidak menyimpannya. Dia melipatnya dan menyelipkannya di antara halaman-halaman buku "The Year of Magical Thinking". Sebuah penanda, sebuah akhir.
Rania berdiri dan membuka jendela. Udara pagi yang dingin menerpa wajahnya. Dunia di luar masih berputar. Burung-burung berkicau, langit mulai berwarna jingga.
Dia membaca untuk merasa hidup, dan melalui bacaan terberat dalam hidupnya, dia akhirnya memahami bahwa untuk benar-benar hidup, dia harus berani membalik halaman, meskipun halaman berikutnya kosong dan menakutkan. Kesedihan itu tidak lagi menjadi penjara, tetapi menjadi halaman pertama dari sebuah bab baru yang pahit, sunyi, dan sendirian.
Akhir.