I. Konser Cahaya dan Keheningan
Cahaya putih panggung menyilaukan mata, namun Arseno, sang mega bintang pop, tidak pernah membiarkan kelopak matanya berkedip. Di hadapannya, lautan manusia berteriak, memanggil namanya, melambaikan light stick yang berkilauan. Ini adalah dunianya—dunia yang bising, gemerlap, dan jujur di setiap nada.
"Aku mencintaimu!" teriak seorang penggemar di barisan depan. Seno, dengan senyum khasnya yang membuat majalah laku keras, membalas, "Aku juga mencintai kalian semua!"
Kalimat itu, seperti banyak hal lain dalam hidupnya, adalah sebuah naskah. Sebuah janji yang ia ucapkan pada puluhan ribu orang, sambil menahan janji yang hanya ingin ia ucapkan pada satu orang.
Di balik panggung, dua langkah dari tirai hitam, Risa berdiri tegak. Matanya tertuju pada layar monitor, mengawasi pergerakan Seno, memastikan mikrofonnya berfungsi, dan kostumnya aman. Di tangannya, ia memegang sebotol air mineral dingin, siap disodorkan pada detik Seno turun dari panggung.
Risa adalah antitesis sempurna dari Seno. Seno adalah api; Risa adalah es. Seno adalah kekacauan kreatif; Risa adalah ketertiban yang tak tergoyahkan. Ia adalah manajer terbaik di industri ini, tak hanya karena kecerdasannya bernegosiasi, tetapi karena ia benar-benar tahu bagaimana melindungi permata mahkotanya.
Tinggal dua lagu lagi. Jantung Risa selalu berdebar, bukan karena kegembiraan, melainkan karena tanggung jawab. Ia harus memastikan Seno menyelesaikan pertunjukan ini tanpa insiden, tanpa kesalahan, dan tanpa... melihat terlalu dalam ke matanya saat melewati Risa.
Lagu terakhir, balada akustik yang menyayat hati—“Jarak Dua Langkah”.
Seno duduk di kursi tinggi di tengah panggung. Matanya yang selalu mencari kamera, malam ini, secara samar-samar mencari sosok di balik tirai.
"Lagu ini," bisik Seno ke mikrofon, suaranya dipenuhi kehangatan yang langka, "untuk seseorang yang selalu ada di sana, di belakangku. Seseorang yang memastikan aku tidak pernah jatuh. Orang yang... aku cintai."
Para penggemar histeris, menduga-duga siapakah muse baru sang bintang. Mereka tak tahu bahwa objek cinta itu kini sedang menahan napas, urat lehernya menegang, di balik panggung yang gelap.
Saat lagu berakhir, Seno membungkuk dalam-dalam. Gemuruh sorakan memenuhi arena. Begitu Seno melangkah turun, aura bintangnya langsung padam, digantikan kelelahan yang nyata.
Risa menyambutnya. Tanpa kata, ia menyodorkan botol air, dan mengalungkan handuk kecil di leher Seno.
"Ganti baju. Lima belas menit lagi kita ada wawancara eksklusif," kata Risa, suaranya kembali profesional, seolah kalimat 'Aku mencintaimu' barusan adalah ilusi semata.
Seno menahan pergelangan tangan Risa, menghentikan langkah wanita itu. "Kau tahu, lagu itu... untukmu."
Risa tidak menoleh. "Aku tahu, Seno. Dan liriknya indah. Sekarang, ayo."
"Risa," Seno berbisik, nadanya frustrasi. "Tidakkah kau lelah berpura-pura?"
"Pekerjaanku adalah tidak lelah, Seno," jawab Risa, menarik tangannya dengan halus namun tegas. "Dan sekarang, pekerjaanku menunggumu di ruang ganti."
Seno hanya bisa menghela napas. Jarak dua langkah itu terasa seperti jurang tak teratasi.
II. Di Balik Pintu Tertutup
Di ruang ganti yang mewah, keheningan menyelimuti mereka. Seno duduk di depan cermin, membiarkan stylist-nya membersihkan sisa riasan. Risa duduk di sofa sudut, mengetuk-ngetukkan pulpen pada tablet, membaca ulang poin-poin penting untuk wawancara.
"Mereka akan bertanya tentang kolaborasi dengan band rock itu," kata Risa tanpa memandang. "Jawab saja bahwa kau selalu terbuka pada eksperimen musikal baru, tapi fokus utamamu saat ini adalah album solo yang akan datang."
"Mereka akan bertanya tentang pacarku," timpal Seno, menyindir.
Risa mengangkat kepala. "Aku sudah menyiapkan jawaban standar: 'Aku sedang fokus pada karier, dan cinta sejati akan datang pada waktunya.' Jaga agar jawabanmu konsisten, Seno."
"Bagaimana jika aku mengatakan yang sebenarnya?"
Seno menatap pantulan Risa di cermin. Tatapan Risa di tablet mengeras.
"Kau tidak akan melakukannya," Risa menegaskan, suaranya rendah dan penuh peringatan. "Ingat, Seno. Kontrak. Branding. Kau adalah fantasi bagi jutaan orang. Fantasi itu tidak boleh punya pasangan yang... nyata. Apalagi manajernya sendiri."
"Jadi, aku harus memilih antara fantasi mereka dan kenyataan kita?" Seno bangkit, melangkah mendekati Risa. Stylist dan asisten yang lain tiba-tiba menemukan hal menarik di sudut lain ruangan, memberikan mereka privasi yang sunyi.
"Kita tidak punya 'kenyataan', Seno," Risa balas berbisik, memegang teguh profesionalismenya. "Kita punya perjanjian kerja yang sangat menguntungkan. Kita tidak bisa menghancurkan segalanya hanya karena... kita lelah berjarak."
"Kita sudah berpacaran selama setahun! Kita tidur di apartemen yang sama! Kita sarapan bersama setiap pagi setelah aku diam-diam menyelinap keluar dari kamar tamu! Itu namanya kenyataan, Risa. Kenapa kau begitu takut mengakuinya?"
Air muka Risa berubah. Matanya menyiratkan kelelahan yang lebih dalam daripada yang Seno rasakan di panggung.
"Aku tidak takut pada kenyataan," Risa membalas, suaranya hampir tak terdengar. "Aku takut pada konsekuensinya. Kau tahu betapa kejamnya industri ini. Jika hubungan ini bocor, kau akan dituduh menggunakan manajermu untuk popularitas. Aku akan dituduh memanfaatkanmu. Kita akan kehilangan kontrol atas narasi kita, Seno. Dan kau akan kehilangan separuh penggemarmu."
Seno menarik napas, tangannya mengepal. Ia tahu Risa benar. Risa selalu benar. Itu yang membuatnya frustrasi.
"Baiklah. Wawancara. Fantasi. Aku mengerti," ujar Seno pahit. Ia berbalik, menuju pintu. "Sampai ketemu di sana, Manajer Risa."
III. Pengakuan di Atas Kertas
Wawancara berjalan sesuai naskah Risa. Seno menjawab dengan santai, menawan, dan profesional. Ia menyajikan dirinya sebagai artis berdedikasi yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk musik.
"Jadi, tidak ada pacar rahasia di balik layar?" tanya sang pembawa acara, tersenyum jahil.
Seno tertawa. "Saya berharap bisa. Tapi untuk saat ini, pacar saya adalah musik. Dan manajer saya, Nona Risa, memastikan saya tetap setia pada pacar pertama saya." Seno melirik Risa, yang berdiri di sudut ruangan, tersenyum tipis—senyum yang benar-benar profesional.
Setelah wawancara selesai dan semua kru pergi, Seno kembali ke Risa.
"Kerja bagus," kata Risa. "Persis seperti yang kita bahas."
"Aku lelah bekerja bagus," gumam Seno. "Aku ingin hidup buruk, setidaknya sekali, bersamamu."
Risa mengabaikannya, menyerahkan selembar kertas tebal. "Ini kontrak untuk tur Eropa. Perhatikan klausul moralitas di halaman lima belas. Mereka memperketatnya setelah skandal artis lain."
Seno menerima kertas itu, tapi tidak membacanya. Ia memandang Risa. Wajahnya yang tegar, bahunya yang lelah, mata yang selalu siaga. Jarak dua langkah itu, kini tak terhindarkan lagi.
Seno mengambil pulpen dari tangan Risa. Ia membalik kertas kontrak tur Eropa yang bernilai jutaan dolar itu ke halaman belakang yang kosong.
"Kau tahu, aku tidak bisa melakukannya lagi, Risa," kata Seno, pelan.
"Melakukan apa?" Risa bingung, menatap kontrak mahal yang dijadikan alas corat-coret.
Seno mulai menulis. Bukan tanda tangan, bukan jadwal. Ia menuliskan sebuah kalimat, menggunakan gaya tulisan tangannya yang terkenal, yang dicetak di setiap merchandise.
"Aku lelah mencintai Risa dari jarak dua langkah. Aku ingin mencintaimu dari jarak sedekat kita bernapas."
Di bawahnya, ia menulis: "Pernyataan Pembatalan Klausul Jarak."
"Apa yang kau lakukan?" Risa tersentak, mencoba meraih kertas itu.
Seno menahan tangannya. "Aku tidak membatalkan kontrak ini. Aku membatalkan jarak di antara kita."
Risa menatap kalimat itu. Kalimat itu bukan hanya pengakuan cinta; itu adalah deklarasi perang terhadap hidup mereka yang terstruktur.
"Kau tahu ini tidak masuk akal," kata Risa, suaranya parau.
"Tentu saja tidak masuk akal! Tapi cinta yang kupunya untukmu juga tidak masuk akal. Ini adalah dunia yang dibangun dari fantasi, Risa. Mari kita jadikan kisah kita satu-satunya fantasi yang nyata." Seno mengambil napas dalam-dalam. "Aku akan mengatakannya pada publik, besok. Aku akan mengatakan aku mencintaimu, aku akan mengakui hubungan kita. Aku siap menghadapi badai, asalkan aku bisa menghadapinya bersamamu, bukan denganmu yang berdiri di belakangku."
Risa menarik kertas itu dari tangan Seno. Ia meremasnya, lalu perlahan membukanya kembali. Jari-jarinya menyentuh tulisan tangan Seno.
"Kau bodoh," Risa tersenyum, kali ini senyum yang bukan untuk kamera, melainkan senyum yang rapuh dan dipenuhi air mata bahagia yang tertahan.
"Bodoh karena mencintaimu? Mungkin. Tapi aku tidak akan menyesalinya."
Risa memajukan satu langkah, menghapus jarak di antara mereka. Ia mendekat, menempelkan dahinya ke dahi Seno. Aroma keringat, parfum mahal, dan teh hangat berpadu.
"Baik. Besok kita hadapi pers bersama. Tapi ada satu hal yang harus kau ketahui sebelum itu," bisik Risa.
"Apa?" tanya Seno.
"Setelah ini, aku akan menjadi manajer terburuk yang pernah kau miliki. Aku tidak akan membiarkanmu bekerja lembur, aku akan memastikan kau makan teratur, dan yang paling penting," Risa mendongak, menatap mata Seno dengan intens, "Aku tidak akan membiarkanmu tidur di kamar tamu lagi."
Seno tertawa, tawa yang lepas dan tulus, tawa seorang pria yang akhirnya merasa bebas. Ia merangkul Risa erat-erat, tidak peduli pada kamera tersembunyi, atau klausul moralitas yang baru saja ia koyak dengan pengakuan.
"Aku tidak sabar menunggu kejatuhanku bersamamu, Risa," bisik Seno, mengecup lembut kening Risa.
Mereka tahu badai akan datang, tabloid akan merayakannya, dan mungkin ada harga yang harus dibayar mahal dalam karier Seno. Tetapi, di tengah ruang ganti yang sepi itu, diapit oleh sisa-sisa kemewahan panggung, untuk pertama kalinya mereka berdiri berdampingan. Tidak ada lagi bintang dan bayangan. Hanya ada Arseno dan Risa, dua manusia yang memilih cinta di atas gemerlap dunia.