Dinding kafe "Paruh Waktu" yang kusam selalu memeluk Alika dengan kehangatan yang sunyi. Bau kopi hitam dan kelembapan buku-buku tua adalah napasnya. Di sudut favoritnya, dekat jendela yang berembun, ia duduk, bukan untuk bekerja, melainkan untuk merasa.
Hujan hari itu turun dengan intensitas yang melankolis. Setiap tetes yang menghantam kaca terasa seperti ketukan pelan di rongga dada Alika. Ia menyeruput Americano-nya yang sudah dingin, rasa pahit yang familier membasahi lidahnya, seolah mengonfirmasi kepahitan samar yang selalu bersemayam di hatinya.
Alika adalah seorang pelukis, tapi ia jarang melukis di sini. Ia datang untuk mengamati, untuk menyerap. Ia mengamati seorang ibu muda di seberang yang tertawa lebar, tawa itu terasa begitu murni, sampai-sampai menusuk hati Alika. Bukan karena iri, tapi karena ia tahu betapa kerasnya tawa itu harus diperjuangkan. Ia ingat tawa ibunya, yang kini hanya menjadi gema jauh di lorong memori.
Di sudut lain, seorang kakek tua sibuk membaca koran dengan kacamata bertengger di ujung hidung. Tiba-tiba, mata kakek itu terpejam sejenak, dan Alika bisa melihat garis-garis keriput di sekitar matanya yang berkedut halus. Dalam sepersekian detik itu, Alika yakin kakek itu tidak sedang membaca, melainkan sedang mengingat mungkin kehilangan, mungkin cinta lama.
Setiap orang yang berada di kafe itu adalah sebuah kanvas emosi. Alika tidak melihat mereka sebagai orang asing,melainkan sebagai wadah cerita yang bergerak. Dan di situlah letak beban sekaligus anugerahnya: ia merasakan segalanya dengan intensitas yang tak terhindarkan. Kesedihan kecil seorang pria yang gagal mendapatkan nomor telepon, kebahagiaan sunyi sepasang kekasih yang saling menyentuh lutut di bawah meja, bahkan kelelahan yang membebani bahu pelayan kafe. Semuanya meresap ke dalam dirinya.
Ia mengambil buku sketsanya, bukan untuk melukis wajah-wajah itu, melainkan untuk menggambar rasa. Ia menorehkan garis-garis tebal, gelap, bergelombang. Garis-garis yang mewakili kerinduan yang tak terucapkan, rasa takut akan waktu yang terus berjalan, dan kesepian yang tak pernah benar-benar pergi meskipun dikelilingi banyak orang.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Itu pesan dari adiknya, Lio, yang jauh di luar kota. Isinya hanya foto: Lio sedang berdiri di tepi laut, senja yang jingga menyiram wajahnya. Di bawah foto itu, ada tulisan singkat: “Kak, aku tahu hidup terasa berat, tapi lihatlah warna ini. Ada keindahan yang menunggu untuk kamu rasakan. Aku sayang kamu.”
Alika membacanya. Setetes air mata, hangat dan asin, meluncur perlahan menuruni pipinya, bercampur dengan dinginnya embun di jendela. Air mata itu bukan karena kesedihan yang gelap, melainkan karena keterhubungan. Rasanya seperti sebuah tali tak kasat mata baru saja ditarik, menghubungkannya kembali dengan dunia yang ia rasa telah ia lepaskan.
Ia memejamkan mata, membiarkan kehangatan pesan Lio meresap. Ia mendengarkan hujan, tapi kali ini, ia juga mendengar senandung pelan dari radio kafe, senandung yang damai. Ia merasakan rasa pahit kopi yang dingin, tapi di saat yang sama, ia juga merasakan manisnya harapan yang tipis, seperti embun yang perlahan menguap.
Alika membuka matanya. Ia menyambar kuas arang di tasnya, dan di halaman kosong buku sketsanya, ia tidak lagi menggambar garis-garis gelap. Ia mulai menggambar cahaya. Garis-garis halus, terang, yang menangkap pantulan senja di wajah adiknya, dan kehangatan samar yang ia rasakan saat ini.
Ia tidak melukis untuk menyelesaikan masalahnya, tapi untuk mengakui emosinya. Dan dalam pengakuan yang sunyi itu, di sudut kafenya yang kusam, Alika menemukan ketenangan, secercah kehidupan yang baru saja ia rasakan.
Akhir cerita.