Pada hari Minggu yang sedang hujan ini, terlihat seorang anak perempuan sedang membaca novel berjudul “Keluarga Bahagia”.
Anak itu bernama Yaya, siswi kelas 9 SMP. Ia tidak memiliki kakak maupun adik — ya, Yaya adalah anak tunggal.
Setiap kali membaca novel itu, perasaan hangat dan bahagia dari tokohnya justru membuat Yaya merasa sedih.
Padahal isi novel itu menggambarkan keluarga yang rukun, penuh kasih sayang, dan selalu bersama. Tapi Yaya tidak merasakan hal yang sama dalam hidupnya. Ia ingin seperti tokoh dalam buku itu — bisa makan malam bersama, bercanda, atau sekadar menonton film di ruang keluarga tanpa harus menunggu siapa pun pulang.
---
"Padahal sekarang hari minggu, seharusnya mama libur bekerja tetapi mama malah tetap pergi bekerja. Aku tau para pasien di rumah sakit pasti membutuhkan mama, tapi kan dokter di rumah sakit bukan mama saja!" Yaya sedikit merasa kesal kepada atasan Mamanya, karena ia merasa atasan Mamanya tidak memberi waktu libur untuk keluarganya.
"Apa pekerjaan lebih penting daripada anaknya sendiri? Huft sungguh menyedihkan..." lirih yaya sambil menatap jendela yang diguyur hujan. Seolah langit pun tahu bagaimana perasaan Yaya saat ini.
“Papa juga… kenapa nggak pulang-pulang? Aku kangen, Pa…” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan yang tertelan oleh suara hujan.
***
Mama Yaya adalah seorang dokter terkenal di rumah sakit besar. Ia sering mendapat panggilan darurat kapan pun pasien membutuhkan.
Sementara papanya, papa yaya itu seorang CEO di sebuah perusahaan besar. Ia sering bepergian ke luar kota, bahkan ke luar negeri, untuk urusan pekerjaan. Setiap hari, papa yaya selalu sibuk dengan rapat dan jadwal pertemuan penting. Itulah sebabnya papa yaya jarang pulang dan hanya bisa menemui Yaya setahun sekali.
***
Tak jarang Yaya merasa iri saat melihat teman-temannya dijemput orang tua sepulang sekolah, sementara dirinya hanya diantar sopir rumah. Rumahnya besar, tapi terasa kosong. Hanya suara detik jam dinding yang menemani malam-malamnya.
---
KEESOKAN HARINYA
Pagi itu, Yaya bangun lebih awal dari biasanya. Aroma masakan tercium dari dapur. Saat melangkah pelan, matanya langsung berbinar — Mama sedang memasak!
“MAMAAAA!” teriak Yaya sambil berlari memeluknya.
“Pagi sayang Mama,” jawab Mama lembut, sambil tersenyum.
“Ih, akhirnya Mama pulang juga! Yaya kangen Mama, tahu nggak?!” Yaya mengembungkan pipinya kesal.
“Hahaha, sudah ya, nanti muka cantikmu hilang kalau cemberut begitu,” jawab Mama sambil mencubit gemas pipinya.
“Ish! Oh ya, Mama pulangnya kapan?”
“Tadi malam, agak larut. Maaf ya, sayang.”
“Iya, nggak apa-apa,” jawab Yaya singkat, meski dalam hati berkata, ‘Mama juga biasanya pulang larut...’
---
PANGGILAN MENDADAK
Setelah sarapan bersama, suasana terasa hangat. Yaya tersenyum bahagia karena akhirnya bisa makan bersama Mama lagi setelah sekian lama. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
Tiba-tiba, terdengar nada dering ponsel Mama di meja ruang makan.
Mama segera berdiri dan mengangkatnya. “Sebentar ya, Sayang, Mama angkat telepon dulu,” katanya sambil berjalan ke ruang tamu.
Tak lama kemudian, wajah Mama berubah cemas. Ia menatap Yaya dengan tergesa-gesa.
“Sayang, Mama harus segera berangkat ke luar kota. Ada panggilan mendadak dari atasan Mama — ada pasien yang harus dioperasi, segera. Mama nggak bisa menolak.”
Yaya terdiam. Wajahnya yang semula bahagia kini berubah sendu.
“Tapi… Mama baru pulang,” ucap Yaya pelan, menahan kecewa.
Mama mendekat dan memeluknya erat. “Maaf ya, Sayang. Mama janji akan pulang secepatnya.”
“Iya, Ma…” jawab Yaya lirih, menunduk.
Sambil mengecup kepala Yaya, Mama berkata lembut, “Bye, Sayang, Mama berangkat dulu.”
“Bye, Mama…” jawab Yaya pelan. Suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam oleh langkah kaki Mama yang menjauh.
PENGUMUMAN PENTING
Setelah itu, Yaya berangkat ke sekolah dengan lesu. Sesampainya di kelas, ia duduk di sebelah Alexa, sahabatnya saat masuk smp.
Tak lama kemudian, Ibu Guru datang dengan wajah ceria.
“Anak-anak, Ibu punya pengumuman penting!
Senin depan adalah hari kelulusan kalian! Ibu harap orang tua kalian bisa datang ya.”
Kelas pun riuh. Semua tampak gembira.
Namun, Yaya hanya tersenyum kecil. Di dalam hatinya, ia merasa sedih karena belum tentu Mama dan Papanya bisa hadir. Alexa yang duduk di sampingnya menyadari perubahan wajah Yaya.
Alexa lalu menggenggam tangan Yaya dan berkata, “Tenang saja yaya. Kalau pun orang tuamu sibuk, kamu nggak akan sendirian. Aku akan ada di sampingmu. Tapi kita juga bisa coba hubungi mereka, siapa tahu mereka bisa datang.”
Mendengar itu, Yaya mulai tersenyum. Ia tak lagi merasa sendirian karena Alexa selalu ada untuknya.
---
Telepon yang Menghangatkan Hati
Sepulang sekolah, mereka duduk di taman kecil dekat gerbang.
“Sekarang waktunya telepon Mama dan Papa kamu” kata Alexa.
“Tapi… aku takut mereka sibuk, dan nggak sempat angkat...” kata Yaya ragu.
“Kalau nggak dicoba, kamu nggak akan tahu, kan?” balas Alexa tersenyum.
Dengan hati berdebar, Yaya menekan nomor Mama. Tak disangka, Mama mengangkat.
“Ma, minggu depan ada acara kelulusan. Yaya ingin Mama datang, boleh ya?” ucap Yaya hati-hati.
Mama sempat diam sejenak, lalu menjawab lembut,
“Mama akan berusaha meminta izin pada atasan Mama, ya. Mama janji akan datang ke acara kelulusanmu, Sayang.”
Air mata Yaya menetes. “Terima kasih, Ma…”
Setelah menutup telepon, Yaya tersenyum lega. Alexa menepuk bahunya. “Lihat? Kamu udah berani. Sekarang kita coba telepon Papa kamu.”
Setelah itu, Yaya mencoba menelepon Papa. Awalnya tak diangkat, tapi setelah beberapa kali, suara Papa terdengar dari seberang.
“Papa akan cari cara biar bisa pulang dan menghadiri acara kelulusan yaya, papa juga nggak mau kalau sampai nggak hadir lagi di acara pentingmu, sayang.” Air mata Yaya hampir menetes. Ia sangat merindukan suara itu.
“Beneran, Pa?” tanya Yaya terisak.
“Iya, Papa janji.”
Yaya menutup telepon sambil tersenyum lebar.
Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa benar-benar diperhatikan.
***
Hari demi hari berlalu. Yaya semakin bersemangat menyiapkan kelulusannya. Alexa selalu menemani, membantunya memilih baju, menyiapkan tugas akhir, dan menyemangati setiap kali Yaya mulai ragu.
HARI KELULUSAN
Hari itu pun tiba. Aula sekolah penuh hiasan warna-warni, musik lembut mengalun, dan di penuhi senyum bahagia. Yaya duduk di barisan depan bersama Alexa.
Ketika namanya dipanggil, ia menatap ke arah deretan orang tua dan hatinya bergetar.
Mama dan Papa benar-benar datang.
Mereka tersenyum bangga sambil melambaikan tangan. Air mata bahagia mengalir di pipi Yaya.
Setelah menerima ijazah, ia berlari kecil memeluk mereka erat.
“Terima kasih sudah datang…” bisiknya lirih.
Mama mengusap rambutnya, “Mama janji, mulai sekarang Mama akan lebih sering bersama kamu.”
Papa menepuk bahunya, “Papa bangga padamu, Sayang.”
Alexa ikut mendekat sambil tersenyum, “Tuh kan, aku bilang kamu nggak sendiri.”
Yaya tertawa kecil di antara air matanya.
Hari itu, Yaya merasa menjadi anak paling bahagia di dunia.
Ia sadar, kasih sayang tak harus selalu hadir setiap hari, yang penting cinta itu tetap ada di hati.
Dan kini, ia tahu bahwa harta bisa membeli banyak hal, tapi tidak akan pernah menggantikan pelukan dan perhatian dari orang-orang yang benar-benar mencintainya.
TAMAT