Karya: Nabila Syafira
“Tak perlu buru-buru, cukup langkah kecil untuk hasil yang nyata.”
Tak pernah ada yang tahu, desa yang berada di tepi gunung bagian timur memiliki penghuni yang selalu beraktivitas di sekitar gunung. Nala, seorang anak yang tinggal di tepi gunung, dengan perawakan badan kurus dan rambut ikal. Tetapi mata Nala selalu memancarkan semangat yang menyala. Ibu Nala seorang pedagang yang berjualan kayu bersama ayah Nala.
Nala dikenal sebagai anak yang riang dan suka membantu siapa saja. Satu impian Nala yang tidak banyak diketahui adalah Nala ingin membawa listrik di desanya, yang setiap malam gelap gulita. Sehingga banyak yang bersitirahat begitu desa ini memiliki penerangan. Suatu hari Nala diajak ayahnya untuk mengantarkan pesanan kayu ke desa Kemangsari, yaitu desa yang sangat dekat dengan kota yang pastinya lebih maju dibanding desa yang Nala tempati.
Desa Kemangsari berada sangat jauh dari desa Nala, sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk menempuhnya, apalagi jalur yang Nala lewati adalah jalur darat. Begitu sampai di desa Kemangsari, Nala berjalan di belakang ayahnya. Nala dibuat takjub saat melewati sebuah sungai, karena di tengah sungai itu terdapat benda berputar seperti kincir angin milik Nala. Dengan rasa penasarannya, Nala pun bertanya pada ayahnya.
“Ayah, benda apa itu yang berputar di tengah sungai?”
Ayah pun tersenyum dan menjawab,
“Itu namanya turbin, Nala. Fungsinya untuk menyalurkan listrik di desa ini dengan bantuan arus air sungai.”
Nala pun tersenyum dan menggeliat riang, tapi masih ada kerutan bingung pada wajahnya.
“Kenapa desa kita tak melakukan hal yang sama seperti mereka, membangun turbin agar desa kita tidak menjadi gelap saat malam?”
Ayah menjawab lagi dengan ekspresi sedih,
“Di desa kita tidak punya sungai dengan arus yang kuat, Nala. Maka dari itu kita tak pernah membangun turbin pembangkit listrik untuk desa.”
Akhirnya Nala terdiam. Tetapi dalam pikirannya Nala memiliki tekad yang kuat untuk membantu desanya.
Sepulangnya Nala dari desa Kemangsari, Nala langsung pergi keluar rumah untuk mencari sumber sungai dengan arus deras di desa mereka. Perjalanan ini tidaklah gampang, tetapi karena Nala memiliki tekad yang membara, ia tetap melanjutkan.
Dalam perjalanannya, Nala bertemu dengan temannya yang bernama Abim, seorang anak yang sering membantu ibu Nala mulung kayu di gunung bagian belakang.
“Abim, kamu mau kemana?” tanya Nala.
“Aku ingin mencari sungai dengan arus sangat deras agar dapat menghidupkan listrik di desa kita,” jawab Nala panjang lebar.
Lemon-teman Nala heran mendengar itu. Ibu Nala dan Abim bersuara lagi,
“Nala boleh tidak jika kita ikut membantumu mencari air sungai dengan arus deras?”
Nala mengangguk senang, karena sungai akan cepat ditemukan jika dicari bersama-sama.
Senja mulai datang, perjalanan yang mereka tempuh terasa tak mudah, mulai dari jalanan menanjak, licin, dan dipenuhi semak. Akhirnya setelah perjalanan yang cukup menguras tenaga, mereka menemukan sungai dengan arus air yang deras dan sangat jernih.
“Akhirnya kita menemukan sungai yang kita cari!” Nala dan temannya pun langsung beranjak pulang karena takut terlalu lama dan langit semakin gelap.
“Ayo pulang, aku takut nanti langit mulai gelap, orang tua kita pasti khawatir,” ucap Nala.
Saat mereka akan pulang, kabut tebal mulai muncul dari puncak gunung. Jalan yang tadinya jelas kini samar. Mereka tersesat. Angin berhembus dingin dan suara serangga malam mulai terdengar. Hujan pun mulai turun dari rintik kecil menjadi deras bersamaan dengan petir.
“Nala, gimana nih? Hujan makin deras!” ucap Abim.
“Tenang, jalan pelan-pelan aja, jalannya pasti masih bisa kita lihat,” ucap Nala.
Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan pelan.
Saat sedang berjalan, mereka melihat sebuah gubuk tua. Mereka memutuskan untuk berlindung sebentar di gubuk tua itu. Mereka yakin orang tua mereka pasti khawatir dan mencari mereka. Rasa takut menyelimuti mereka yang akhirnya tertidur dengan pulas.
Hujan sudah berhenti, hanya menyisakan hawa dingin yang menusuk kulit. Nala yang terbangun duluan pun akhirnya membangunkan yang lainnya. Segera mereka beranjak dan bergegas pulang.
Bulan sudah menunjukkan dirinya yang artinya hari sudah berganti menjadi pagi. Saat sampai di desa, orang tua Nala sudah sangat khawatir dan menunggu mereka di luar rumah. Bahkan ayah Nala sudah bersiap untuk mencari Nala namun belum sempat, Nala sudah datang.
Langsung saja Nala berlari dan mengatakan bahwa mereka sudah menemukan sumber air dengan arus deras yang bisa digunakan untuk membangun turbin. Orang tua mereka berterima kasih dengan Nala dan teman-temannya.
Keesokan harinya, Nala melihat warga desa beramai-ramai mulai membangun turbin untuk menyalurkan listrik ke rumah warga dan desa mereka. Warga merasa senang karena akhirnya desa mereka memiliki penerangan saat malam hari. Dan semua orang berucap syukur atas hal itu.
“Langkah kecil memang bisa membawa terang, bukan hanya untuk desa, tetapi untuk dunia juga.”