Sore itu hujan turun tanpa ampun. Langit gelap, angin berhembus dingin, dan jalanan kampung mulai tergenang air.
Di bawah atap warung kecil di pinggir jalan, seorang siswa bernama Rafi berdiri memeluk tasnya yang basah. Seragamnya menempel di tubuh, dan wajahnya terlihat gelisah.
“Payungmu mana, Nak?” tanya seorang nenek yang menjaga warung, suaranya lembut tapi tegas.
Rafi menggeleng pelan. “Ketinggalan di sekolah, Nek. Aku mau nunggu hujannya reda, tapi kok nggak berhenti-henti.”
Nenek itu tersenyum. Namanya Mak Inah, sudah lama tinggal sendirian di rumah kecil di belakang warung itu.
Ia mengambil sebuah payung lusuh yang tergantung di dinding. Gagangnya sudah berkarat, warnanya pudar, tapi masih kuat menahan hujan.
“Pakai ini saja. Nanti kamu bisa pulang,” kata Mak Inah sambil menyerahkannya.
“Tapi ini payung Nenek. Kalau nanti Nenek mau pulang gimana?”
Mak Inah tertawa kecil. “Nenek udah lama nggak kemana-mana. Payung itu sudah cukup lama nganggur, sekarang biar dia berguna lagi.”
Rafi menerima payung itu dengan ragu, tapi juga bersyukur. “Makasih, Nek. Nanti aku balikin, ya.”
“Iya, tapi jangan lupa bawa senyum waktu ngembaliinnya,” jawab Mak Inah sambil tersenyum.
Rafi pun berlari menembus hujan. Payung tua itu bergetar diterpa angin, tapi tetap kokoh melindunginya. Saat sampai di rumah, ibunya langsung menyambut dengan wajah cemas.
“Kamu kehujanan, Nak?”
“Nggak, Bu. Ada Nenek di warung kasih aku payung,” jawab Rafi.
Ibunya tersenyum hangat. “Masih banyak orang baik di dunia ini, ya. Jangan lupa balikin dan bilang terima kasih besok.”
Keesokan harinya, Rafi membawa payung itu kembali ke warung. Tapi saat tiba, warung itu tutup. Hanya ada kursi kosong dan secarik kertas tertempel di pintu kayu.
> “Warung ini tutup untuk sementara. Jangan lupa, Nak, kebaikan kecil bisa melindungi lebih dari sekadar tubuh—ia bisa melindungi hati.”