Suara yasin menggema di rumahku, tetangga dan para saudaraku hadir dalam pengajian ke satu harian meninggalnya ibukku.
Aku, bapakku dan kedua kakakku yang lain juga ikut meramaikan pengajian ini, hatiku masih pedih ditinggal oleh sosok ibu yang telah mengurusku sejak kecil.
Lama kami mengaji tiba-tiba kakak tertuaku mulai menangis merana, awalnya aku biasa saja, tidak berfikir yang aneh-aneh karena wajar bila saat ini kami semua menangis.
Tetapi setelah ku perhatikan wajahnya, kakakku ini menyeringai ke arahku, seringainya begitu menyeramkan sampai aku menjauhkan tubuhku darinya.
"Hana kamu kenapa?" tanya mas Bagas yang duduk tak jauh dariku.
"I-itu mas." aku menunjuk kearah mbak Dina "Mbak Dina sepertinya kerasukan."
Semua warga yang mendengar ucapanku langsung menoleh ke arahku, begitupun dengan bapakku yang duduk di samping mas Bagas.
"Jangan bercanda kamu Hana." ujar bapakku.
Tiba-tiba mbak Dina mengeluarkan suara tertawa cekikikan seperti kuntilanak, membuat bulu kudukku bangun semuanya.
"Astaghfirullahalazim." ucap bapakku.
"Astaghfirullahalazim." ujar semua orang yang ada di situ termasuk pak ustadz.
Aku segera menjauh dari mbak Dina, begitupun ibu-ibu yang duduk di dekat kami.
Tidak ada yang berani menatap wajah mbak Dina yang udah menyeringai menyeramkan, bahkan matanya saja sudah berwarna putih semua.
"Hana ambil air di dapur." titah bapakku.
Aku yang penakut meminta sepupuku untuk menemaniku, setelah air sudah di ambil, aku menyerahkan gelas berisi air putih kepada bapakku.
"Ini pak ustadz." bapakku mengoper air itu kepada pak ustadz.
Lalu ku lihat pak ustadz pun membaca doa tepat ke arah gelas tersebut, selang dua menit, pak ustadz melangkah menuju mbak Dina yang masih tertawa cekikikan.
"Bissmillah."
Pas ustadz langsung menyipratkan air di gelas kearah mbak Dina, dan dengan ajaibnya mbak Dina teriak-teriak seperti orang kepanasan.
"Keluar kau setan, jangan ganggu anak ini." kata pak ustadz.
"Dia adalah anakku."
Aku syok saat mendengar suara yang keluar dari mulut mbak Dina, pasalnya yang terdengar adalah suara nenek-nenek yang sudah sangat tua.
Ku lihat pak ustadz kembali menyipratkan air ke tubuh mbak Dina "Bukan, dia bukan anakmu."
Mbak Dina yang tadinya terduduk langsung berdiri, dengan gerakan cepat dia menendang tangan pak ustadz yang memegang gelas air doa.
Semua warga yang menyaksikan pada berteriak heboh, bahkan anak kecil yang menonton pun langsung menangis kejer.
Tak sedikit ibu-ibu yang langsung menjauh dari rumahku, dan bapak-bapak berusaha mendekat ke Mbak Dina untuk memegang tangan dan kakinya.
"HAHAHAHAHAHAHA.....Dasar ustadz goblok."
Teriak mbak Dina, aku yang di samping mas Bagas sudah ketakutan hebat, wajah mbak Dina itu sudah samar-samar seperti nenek-nenek.
"Tolong ambilkan garam yang banyak." kata pak ustadz.
"Hana ambil garam di dapur." bapakku malah menatapku, aku yang takut setengah mati sontak langsung menolak.
"Mas Bagas aja, mas kan lebih tua dariku." kataku, tetapi mas Bagas malah menggelengkan kepalanya.
"Gak, aku juga gak berani." kata mas Bagas.
"Dasar, punya anak dua di rumah sendiri aja pake takut." Bapakku mengomel, bahkan matanya terlihat jengkel menatap kami berdua.
Dia lalu bangun dari duduknya dan pergi kearah dapur, balik-balik sudah membawa garam kasar sepelastik keresek penuh.
"Ini garamnya pak ustadz."
Pak ustadz segara komat-kamit di garam, matanya tertutup tetapi bibirnya terus begerak-gerak.
Sedangkan mbak Dina terus mengamuk sambil dipegangi oleh 6 orang bapak-bapak.
"Itu si Dina kok jadi kaya gitu."
"Jangan-jangan dia kesurupan emaknya"
"Eh iya itu bisa jadi."
"Eh ibu-ibu sudah jangan bergosip, gak tau situasi banget sih."
"Ibuk takut huaaaaa."
Pak ustadz lalu melemparkan segenggam garam ke tubuh mbak Dina, dan sepertinya metode itu berhasil.
Mbak Dina seperti orang kepanasan dan meraung-raung sambil mengatakan 'Ini anakku, aku akan mengambilnya kembali, anakku anakku.....' begitu terus sampai mbak Dina tiba-tiba pingsan.
"Alhamdulillah." kata pak ustadz.
Warga yang memegang mbak Dina langsung menidurkan tubuhnya, sedangkan bapakku menetap aku dengan mata yang melotot.
"Ambil selimut di kamar." Kata bapakku.
Tapi aku tidak menjawab dan malah berbisik ke mas Bagas "Mas temenin yuk."
Tapi ternyata bapakku mendengarnya dan langsung mengomel "Cepat Hana, mbak mu itu loh lagi pingsan, kamarnya cuma lima langkah dari sini."
"Tapi aku takut, gimana kalau setannya pindah ke tubuhku?" jawabku.
"Sudah-sudah, biar bibik saja ambil."
Untungnya bibiku menawarkan dirinya, dia lalu langsung berjalan ke arah kamar mbak Dina dan tiba-tiba berteriak sangat kencang.
Pak ustadz, bapakku dan warga segera berlari ke arah teriakan itu, dalam hati aku berakata 'Tuhkan, untung aja aku gak mau, pasti bibi liat setan'.
Mereka lalu kembali ke ruang tamu, wajah bibiku sudah pucat pasi dengan tangan kosong, malah bapakku yang memegang selimut.
Setelah di dudukkan, bibi mulai cerita, jadi saat hendak mengambil selimut, bibi ini membuka pintu kamar mbak Dina dan malah melihat sosok wajah nenek yang sangat tua dan menyeramkan tepat di depan wajahnnya.
Bibi juga bercerita kalau sosok nenek-nenek itu berkata 'Kembalikan anakku'.
"Untung bukan kamu yang ambil selimut Han." kata Mas Bagas.
"Iya mas, sesekali nolak perintah bapak ada baiknya juga."
Setelah itu pengajian dibubarkan atas usul dari pak ustadz, pada jam 10 malam, saat ini di rumahku hanya ada para saudara dekat dari keluarga ibuk dan bapak dan ada juga pak ustadz beserta istrinya.
Kami semua berkumpul di ruang tamu, aku dan mas Bagas masih dalam posisi yang sama, sedangkan mbak Dina sudah di pindakan di kamarnya dan dijaga dengan kedua budeku sambil terus membacakan surah al-Qur'an.
Pak ustadz mulai membuka suaranya, kami semua tak ada yang berani berbicara hanya diam sambil memasang kuping.
"Pak Aryo, sebenarnya bagaimana kejadian awalnya nenek-nenek itu bisa datang dan merasuki Dina, saya tau pak Aryo menyembunyikan sesuatu, tetapi kalau saya yang berbicara, saya takut akan menjadi fitnah." kata pak ustadz.
Aku dan mas Bagas saling tatap, mata kami di penuhi dengan rasa penasaran yang dalam, rahasia apa yang selama ini disembunyikan rapat-rapat oleh bapak.
"Aryo rahasia apa yang lu sembunyiin sampai ada setan yang datang untuk ngambil Dina?" kata budeku (kaka dari bapak).
"Jangan-jangan lu persugih ya." Timpal pamanku (kakak laki-laki bapak).
Mendengar itu kami semua langsung beristighfar, kaget mendengar ucapan paman.
"Paman jangan asal bicara, bapak tidak mungkin melakukan itu." Aku berkata pada pamanku, tetapi dia malah mengomeliku.
"Anak kecil jangan ikut campur."
Mendengar itu, aku hanya diam sambil mencibir pamanku dan bergibah dengan mas Bagas.
"Padahal keluarga kita miskin ya, tapi paman malah menuduh bapak persugihan." Bisiku kepada Mas Bagas.
"Gak sampe kesana pikirannya." jawab Bagas. "Padahal kalau dipikir-pikir lagi harusnya kita yang curiga sama dia, soalnya dia doang yang kaya diantara saudara bapak yang lain."
Dengan semangat aku mengangguk "Betul banget, masa usaha sembako bisa beli mobil pajero sama rumah yang gede. Ya kan mas."
"Bener, nanti kita minta sama pak ustadz buat meruqyah paman Supri." jawab mas Bagas.
"Bukan seperti itu." akhirnya bapakku membuka mulutnya setelah lama hanya diam saja yang membuat semua keluarga besar pada suuzon
"Kalau gitu bilang, apa yang lu sembunyiin, biar kita bisa cari solusinya." Ujar bude dari pihak ibuk.
"Sebenarnya 21tahun yang lalu....saya sama minah menemukan bayi di bawah pohon bambu saat pulang berkunjung dari rumah teman Minah...." ucap bapak yang mulai meneteskan air matanya.
"Astaghfirullah."
Lalu bapakku menlanjutkan "Saat itu kami sedang berada di fase terpuruk karena sudah 9thn menikah tetapi Minah belum juga hamil....Maka dari itu saya dan Minah memutuskan untuk merawat bayi tersebut yang sekarang di beri nama Dina."
Deg
Jantungku seakan copot dari tempatnya, bahkan mas Bagas sampai terbatuk-batuk karena terkejut.
"Astaghfirullah Aryo.....Jadi kamu bohong selama ini sama kita, kamu bilang kamu adopsi bayi dari temannya Minah, astaghfirullah Aryo...." Bude dari pihak bapak terliat sangat geram.
"Aku gak punya pilihan lain mbak, mbak gak ngerasain gimana perasan saya sama Minah waktu belum juga memiliki anak, tetangga bahkan teman saya pun pada meledek saya mbak." Kata bapak.
"Kalau saya bilang bayi itu hasil mungut pasti kalian tidak akan mengizinkan saya untuk merawatnya..... Kasian Minah, dia sangat ingin mengurus anak." Air mata bapak mulai jatuh, dia menangis tetapi tidak berisik.
"Mas, apa kita juga bukan.....anak bapak dan ibuk?" ujarku kepada mas Bagas, air mataku juga sudah bajir, hatiku merasa sedih melihat bapak yang menangis.
"Tidakpa2, kamu tetap adikku apapun kenyataannya. Jangan khawatir."
Mas Bagas memelukku, dia mengelus kepalaku berusaha menenangkan diriku, padahal aku tau kalau dia juga khawatir.
"Astaghfirullah Aryo Aryo, bisa-bisanya lu menyembunyikan kenyataan sebesar ini dalam waktu yang lama." Sekarang paman Supri yang bicara.
"Sudah tenang jangan menyudutkan, kita dengarkan penjelasan dari pak Aryo dulu." pak Ustadz menatap bapak lalu mengangguk, seakan-akan untuk menyakinkan bapak bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Dengan tarika nafas panjang bapakku mulai bercerita, waktu dia dan ibukku memungut mbak Dina yang masih bayi, bermacam-macam gangguan mulai muncul menghantui.
Nenek-nenek dengan wajah menyeramkan terus datang saat hari sudah malam, nenek-nenek itu kadang terlihat menggendong mbak Dina yang masih bayi sambil menyanyikan lagu jawa.
Awalnya bapakku ingin mengembalikan bayi itu ke tempak asalnya, karena dirinya terus dimimpikan oleh sosok nenek-nenek yang terus berteriak 'Kebalikkan anakku'.
Tetapi ibukku menolak keras, karena sudah terlanjur sayang dengan bayi itu dan mengancam akan bunuh diri bila bapakku masih bersih keras.
Akhirnya bapakku dan ibuk pergi ke orang pinter di suatu desa yang ada di jawa timur, sampai sana bayi itu dimandikan dengan kembang tujuh rupa dan tiga tetes darah ibuk dan bapakku diaduk dengan air mandi tersebut.
Setelah selesai ritual selesai, orang pinter itu berkata kalau setan nenek-nenek itu setuju kalau ibukku merawat bayinya tetapi ada dua syarat.
"Pada tiga malam jum'at kliwon setelah ritual ini, saya dan Minah disuruh untuk menyembelih ayam cemani satu di setiap malamnya pada jam 12 malam tepat." Kata bapakku, lalu dia melanjutkan lagi ceritanya.
"Dan setelah Minah meninggal....Setan nenek-nenek itu akan mengambil kembali anaknya,lalu setelah 4thn berlalu akhirnya Minah hamil dan lahirlah Bagas dan Hana."
Cerita bapakku ditutup dengan kalimat yang membuat semua orang syok termasuk aku.
Mereka semua berkali-kali berucap istighfar tidak menyangka kalau ceritanya akan jadi semistis ini.
Mulai dari hari itu, keluargaku terus di hatuin oleh sosok nenek-nenek seram, bahkan aku tidur sekamar dengan mas Bagas setiap malam, sudah tidak ada lagi kata malu atau jaim di situasi seperti ini.
Dan mbk Dina juga sering kerasukan, bahkan pernah sampai menyakiti dirinya sendiri, tetapi alhamdulillah nya pak ustadz mau membantu sampai mbak Dina sembuh total.
TAMAT.
Sekian cerita dari keluargaku, mohon maaf apabila ada salah kata atau terlalu baku, saat ini keluargaku alhamdulillah sudah pulih total dan mbak Dina juga sudah menikah dengan leleki impiannya.