Cahaya lilin menari di lorong gelap, bagai kunang-kunang tersesat. Bisikan lirih arwah penasaran memperingatkan bahaya, namun hasratku mengalahkan takut. Aku, Dr.Aini, menantang kegelapan demi mengungkap tabir kota seribu Lilin.
kota itu,Fatamorgana di gurun sejarah, Menghantuiku. Legenda peradaban hilang,artefak dahsyat. merajut mimpi dan obsesiku. Banyak mencibir, namun hatiku berbisik, kota itu nyata, aku di takdirkan menemukannya.
Dekade penelitian menuntunku ke gua di balik air terjun. Lorong gelap ini gerbang masa lalu terlupakan. Napas gua dingin, dindingnya kanvas purba berkisah. Lilin di tanganku setitik harapan di samudra kegelapan.
Semakin dalam, bisikan mencengkeram benakku. Mata tak kasat mengawasi, namun semangatku tak surut. Aku harus mencapai ujung lorong.
Di depan, monolit menjulang, lubang kunci menantang membuka rahasia. "Inilah dia," bisikku, "Pintu Kota Seribu Lilin." Kunci perunggu dari kuil kuno kuraih, jantung berdebar kuputar.
Klik.
Monolit bergeser, celah terbuka. Aroma tanah dan lumut kuhirup, lalu kulangkahkan kaki ke dunia terlupakan.
Di balik monolit, ruangan maha luas diterangi ribuan lilin. Artefak kuno bertebaran: patung emas, perhiasan berlian, senjata perunggu. Semuanya tertata rapi, seolah baru ditinggalkan.
"Kota Seribu Lilin," gumamku, "Kau benar-benar ada."
Namun, derap langkah kaki memecah sunyi. Sosok berjubah hitam muncul dari balik pilar, mata mereka memancarkan kebencian.
"Siapakah kalian?" tanyaku.
"Kami penjaga Kota Seribu Lilin," jawabnya serak. "Kau melanggar wilayah kami. Pergi!"
"Aku mencari artefak pusaka," jawabku menantang.
Penjaga itu tertawa sinis. "Bukan untukmu, orang luar. Hanya untuk yang berdarah murni, setia pada leluhur."
"Aku keturunan pembangun kota ini," bantahku. "Aku berhak mendapatkannya."
Penjaga itu meremehkan. "Kau dibutakan keserakahan. Tak mengerti kekuatan artefak itu. Kekuatan penghancur dunia."
"Apa maksudmu?"
"Artefak itu kunci membuka gerbang dunia lain," jelasnya. "Dunia kegelapan dan kehancuran. Jika jatuh ke tangan salah, dunia musnah."
Penjaga itu memberi isyarat. Mereka mendekat, bersenjata tulang dan obsidian. Aku harus bertindak cepat. Mataku mencari celah.
Patung raksasa memegang tongkat kerajaan berkepala ular naga. Tanpa ragu, aku berlari merebut tongkat itu. Penjaga terkejut, namun kuhindari serangan mereka.
Dengan sekuat tenaga, kurenggut tongkat itu. Berat dan dingin terasa, menyimpan energi luar biasa.
Penjaga mengejarku beringas. Namun, saat mendekat, tongkat itu memancarkan cahaya keemasan menyilaukan. Mereka terhuyung mundur, meringis.
Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi tongkat ini senjataku. Kuangkat tinggi, cahaya keemasan semakin terang.
"Kalian tak bisa menghentikanku! Kuungkap semua rahasia kota ini!" seruku.
Tiba-tiba, seorang penjaga membuka topeng. Itu Profesor Bram, mentor dan sahabatku!
"Arini, hentikan! Kau tak mengerti!" serunya putus asa.
"Profesor? Mengapa kau di sini?"
"Aku penjaga Kota Seribu Lilin. Kami menjaga kota ini berabad-abad, melindungi dunia dari kekuatan jahat."
"Kekuatan jahat?"
"Tongkat itu kunci membuka gerbang dunia lain. Dunia kegelapan dan kehancuran. Jika terbuka, dunia musnah."
Aku terdiam, tak percaya. Apakah benar? Apakah aku salah?
"Tapi legenda mengatakan artefak ini membawa kemakmuran," bantahku.
"Legenda itu bohong! Artefak ini kutukan, bukan berkat. Membangkitkan kekuatan jahat yang lama tertidur, menghancurkan semua yang kita cintai."
Aku menatap tongkat itu ragu. Apakah begitu berbahaya? Haruskah kupercaya Profesor Bram?
Tiba-tiba, penjaga lain menyerangku. Aku terkejut, kehilangan keseimbangan. Tongkat terlepas, jatuh ke lantai.
Penjaga merebut tongkat itu, membawanya ke tengah ruangan. Mereka merapal mantra kuno, ruangan bergetar.
"Tidak! Hentikan!" teriakku.
Namun, terlambat. Portal besar terbuka, memancarkan cahaya hitam mengerikan. Sosok mengerikan muncul dari dalamnya.
"Apa yang kalian lakukan?" teriakku putus asa.
"Kami membebaskan kekuatan sejati Kota Seribu Lilin," jawab Profesor Bram sinis. "Menghancurkan dunia korup ini, membangun dunia baru yang lebih baik."
Aku terdiam, tak tahu berbuat apa. Aku telah membebaskan kekuatan jahat.
Tiba-tiba, aku teringat prasasti kuno di balik air terjun. Mantra di sana bisa menutup portal, mengembalikan kekuatan jahat.
Aku harus menemukannya.
Aku berlari menuju air terjun. Penjaga menghalangi, namun aku lebih cepat.
Aku menemukan prasasti itu, mulai membaca mantra. Aneh dan asing terasa, namun terus kubaca sekuat tenaga.
Tubuhku memancarkan cahaya keemasan seperti tongkat kerajaan. Kekuatan luar biasa mengalir dalam diriku.
Kuangkat tanganku, arahkan cahaya itu ke portal. Portal bergetar dan mengecil. Sosok mengerikan berteriak kesakitan, menghilang.
Akhirnya, portal tertutup. Kekuatan jahat kembali ke asalnya.
Aku jatuh berlutut, kelelahan. Cahaya keemasan memudar, meninggalkan rasa hampa.
Profesor Bram mendekat, wajahnya menyesal. "Arini, maafkan aku. Aku dibutakan keyakinanku. Kupikir melakukan hal benar, tapi aku salah."
"Mengapa, Profesor?"
"Aku ingin menyelamatkan dunia dari kehancuran. Kupikir kekuatan Kota Seribu Lilin bisa menciptakan dunia lebih baik. Tapi, aku salah. Kekuatan itu terlalu berbahaya."
"Apa yang terjadi sekarang? Apakah kota ini terkutuk?"
"Tidak. Kau telah membuktikan kau keturunan sejati pendiri kota ini. Kau memiliki kekuatan mematahkan kutukan itu, membawa kedamaian."
"Bagaimana caranya?"
"Gabungkan kekuatanmu dengan tongkat kerajaan. Hanya dengan itu, kau bisa memurnikan energi kota ini, mengembalikan keseimbangan alam."
Aku menatap tongkat itu ragu. Takut kekuatannya merusakku.
"Percayalah padaku, Arini. Kau lebih kuat dari yang kau kira. Kendalikan kekuatan itu, gunakan untuk kebaikan."
Aku menarik napas, meraih tongkat kerajaan. Energi luar biasa mengalir ke dalam diriku. Hangat dan kuat, tapi juga menakutkan.
Kuangkat tongkat itu tinggi, memejamkan mata. Kufokuskan pikiran pada kedamaian dan keseimbangan. Kubayangkan kota ini dipenuhi cahaya dan kebahagiaan.
Ledakan energi dahsyat kurasakan. Cahaya keemasan memancar dari tubuhku dan tongkat kerajaan, menerangi seluruh ruangan. Kutukan kota ini menghilang, digantikan energi positif.
Saat kubuka mata, kota ini telah berubah. Reruntuhan dipugar, lilin menyala lebih terang. Penjaga berlutut di hadapanku, menunjukkan hormat.
"Kau telah menyelamatkan kami, Dr. Arini," kata Profesor Bram. "Kau penyelamat Kota Seribu Lilin."
Aku tersenyum. Kutukan patah, kedamaian datang. Tapi, ini awal tanggung jawabku. Aku harus menjaga kota ini aman, melindungi dunia dari kekuatan jahat.
Aku penjaga Kota Seribu Lilin sekarang. Kulakukan apa pun untuk melindunginya