Desa kami dikutuk oleh kabut. Ia datang tanpa diundang dan selalu membawa cerita duka. Setiap kali kabut turun dari bukit Loktuan, orang-orang akan menutup jendela rapat-rapat dan menyalakan dupa di sudut rumah. Mereka percaya, kabut itu bukan sekadar udara lembap dari laut, melainkan napas dari arwah yang tersesat—jiwa-jiwa nelayan yang tak pernah kembali dari laut.
Setiap keluarga di Loktuan punya kisahnya sendiri tentang kabut itu. Ada yang kehilangan anak, ada yang kehilangan ternak, bahkan ada yang kehilangan seluruh keluarganya dalam semalam. Hanya tersisa rumah kosong dan bau dupa yang belum padam. Seolah kabut datang untuk memungut nyawa, lalu pergi begitu saja meninggalkan sunyi.
Aku masih ingat malam pertama ketika kabut itu datang. Langit pekat tanpa bintang. Suara anjing melolong bersahutan dari ujung kampung. Lampu-lampu jalan berkelap-kelip seperti menahan napas ketakutan. Dari jauh terdengar bunyi ombak menghantam batu, disusul desir angin yang membawa aroma asin dan amis.
Pagi harinya, agra ditemukan pingsan di ladang tepi hutan. Matanya terbuka tapi kosong—seolah menatap sesuatu yang tak bisa dilihat oleh manusia biasa. Sejak saat itu, ia tak pernah berbicara lagi. Hanya duduk di beranda rumahnya setiap sore, menatap bukit yang diselimuti kabut. Kadang ia berbisik pelan, “Mereka datang lagi…”
Sejak hari itu pula, kabut menjadi tanda. Jika ia turun terlalu tebal, seseorang pasti akan hilang. Entah ternak, anak kecil, atau bahkan seluruh keluarga. Orang-orang menyebutnya “Malam Penjemputan.”
ilona tak pernah percaya pada takhayul—setidaknya dulu. Bagiku kabut hanyalah bagian dari cuaca, dari alam. Tapi semuanya berubah pada malam ketika Ayah belum juga pulang dari dermaga. Angin laut membawa kabut lebih cepat dari biasanya, menelan jalan, rumah, dan suara jangkrik. Dari balik jendela, ilona melihat bayangan samar berjalan di antara putih yang menggulung seperti kain kafan.
ilona berlari keluar sambil berteriak, “Ayah! Ayah, tunggu!” Tapi suara tenggelam oleh senyap yang mencekam. Udara terasa berat, dan setiap langkah seperti terhisap ke dalam tanah. ilona hampir tak bisa bernapas.
Ketika kabut perlahan menipis, Ayah tak pernah kembali. Pagi harinya, perahunya ditemukan terikat di tiang kayu, kosong. Hanya topinya yang tertinggal, basah oleh embun dan air laut.
Sejak itu, ilona mulai menulis setiap kali kabut datang—tentang siapa yang hilang, tentang suara-suara yang terdengar di sela desis angin, dan tentang aroma garam yang makin tajam. Kadang aku mendengar bisikan lirih dari luar jendela, menyebut namaku dengan suara yang mirip Ayah: “Nak… bukalah pintu…”
Orang-orang mungkin mengira kabut hanyalah bagian dari alam, tapi aku tahu kebenarannya: “Ia hidup, ia mendengar, dan ia menunggu.”
Beberapa malam lalu, ilona bermimpi berjalan di dalam kabut. Di sana, ilona melihat siluet-siluet orang yang hilang: agra , anna dari rumah tepi laut, bahkan Ayah. Mereka berdiri diam, menatapku, seolah ingin berbicara tapi tak mampu. Saat ilona mencoba mendekat, kabut itu menggulung tubuh mereka, menelan semua cahaya.
Kini setiap kali kabut turun ke Loktuan, aku berdiri di tepi dermaga. Angin laut membelai wajahku, dan debur ombak terdengar seperti panggilan jauh dari masa lalu. Barangkali, suatu hari nanti, kabut itu datang bukan untuk menjemput—tapi untuk mengembalikan semua yang pernah ia ambil.
Dan jika hari itu tiba, aku akan menunggunya di sini… di antara kabut yang membawa kenangan, kutukan, dan harapan yang belum mati.