---
“Suara di Balik Meja Belakang”
Aku selalu duduk di bangku paling belakang.
Bukan karena aku suka, tapi karena itu tempat yang paling aman — atau setidaknya, aku mencoba percaya begitu.
Dari sana, aku bisa melihat semuanya tanpa harus menjadi bagian dari apa pun.
Setiap pagi, aku datang lebih awal.
Bukan karena rajin, tapi agar aku tidak perlu melewati mereka — orang-orang yang setiap hari membuatku merasa seperti bukan manusia.
Tawa mereka, bisikan mereka, tatapan mereka yang menelanjangiku tanpa perlu kata.
Itu semua sudah cukup untuk membuatku ingin menghilang.
“Eh, si aneh datang lagi.”
Kalimat itu seperti alarm yang tak pernah padam.
Mereka tertawa, menyebut nama-nama yang bukan milikku.
Kadang mereka menyembunyikan bukuku, menulis kata-kata di mejaku.
Dan setiap kali aku ingin marah, suaraku tenggelam di tenggorokan.
Aku mencoba bilang ke guru, tapi yang kudapat cuma tatapan kasihan — bukan tindakan.
Katanya, “Sabar, ya. Anak-anak seumuran kalian memang suka bercanda.”
Padahal, tidak ada yang lucu dari membuat seseorang takut datang ke sekolah.
Hari-hari berlalu seperti itu.
Aku mulai berhenti membawa bekal, berhenti bicara, bahkan berhenti berharap.
Sampai suatu siang, saat hujan turun deras, aku bersembunyi di ruang musik.
Aku pikir aku sendirian, tapi ternyata ada seseorang di sana.
Namanya Arka.
Dia duduk di depan piano, memejamkan mata, membiarkan tangannya menari di atas tuts.
Nadanya lembut, seolah menenangkan luka yang tidak kelihatan.
Waktu dia sadar aku memperhatikan, dia hanya tersenyum.
“Kamu sering di sini?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Aku cuma... butuh tempat yang nggak bising.”
Dia mengangguk. “Tempat sunyi itu bukan berarti kamu sendirian, tahu?”
Kalimat itu terdengar sederhana, tapi untuk pertama kalinya, aku merasa dilihat.
Bukan sebagai bahan olokan, tapi sebagai seseorang yang benar-benar ada.
Sejak hari itu, kami sering bertemu di ruang musik.
Dia jarang bicara, tapi selalu mendengarkan.
Kadang aku cerita tentang mereka — orang-orang yang membuatku takut jadi diri sendiri.
Dan Arka cuma bilang, “Kalau mereka bisa membuat kamu merasa sekecil itu, berarti mereka yang sebenarnya takut.”
Lalu suatu hari, aku datang ke sekolah dengan wajah penuh lebam.
Bukan karena aku berkelahi, tapi karena salah satu dari mereka mendorongku di tangga.
Guru memanggil orang tuaku, tapi seperti biasa — semua hanya lewat.
Mereka bilang itu kecelakaan.
Dan aku tidak sanggup membantah.
Tapi Arka tidak percaya.
Dia berdiri di depan kelas, dengan suara tegas, menatap semua orang.
“Kalian pikir mainan seperti ini nggak ninggalin bekas? Kalian cuma nggak lihat aja di mana bekasnya.”
Kelas mendadak diam.
Untuk pertama kalinya, bukan aku yang merasa kecil — tapi mereka.
Setelah hari itu, mereka mulai menjauh.
Mungkin karena malu, mungkin karena takut.
Aku tidak tahu. Aku juga tidak peduli.
Yang kupedulikan cuma satu hal: ternyata, bahkan di tempat paling gelap pun, ada seseorang yang berani menyalakan lilin.
---
🌙 Pesan / Moral Cerita:
> Luka karena kata dan perlakuan orang lain tidak selalu terlihat di kulit — tapi tetap nyata di hati.
Kadang, satu keberanian kecil bisa mengubah hidup seseorang.
Jangan diam saat melihat orang disakiti.
Karena diam juga bisa melukai.
---