---
“Yang Tidak Pernah Pulang”
Malam itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya.
Angin hanya berbisik di celah jendela, membawa bau lembap yang entah dari mana datangnya.
Aku baru saja pulang dari sekolah — lembur menyiapkan acara akhir tahun. Semua teman sudah pulang, dan aku berjalan sendirian melewati lorong sekolah yang lampunya mulai redup.
Waktu itu aku sempat melihat bayangan seseorang di ujung koridor.
Bukan hal aneh, kukira satpam atau guru piket. Tapi ketika aku menatap lagi, bayangan itu hilang.
Yang tersisa hanya pantulan lampu neon di lantai basah — dan suara langkah kaki yang bukan milikku.
Aku tidak berani menoleh.
Hanya menunduk, mempercepat langkah, pura-pura tidak mendengar bisikan samar di belakangku.
Suara itu seperti memanggil, pelan tapi jelas.
Namaku.
Ayaa… pulang, yuk… udah malam…
Kupikir aku salah dengar. Tapi saat aku menoleh, kulihat sosok di ujung lorong —
bajunya seragam sekolah, persis seperti punyaku.
Tapi wajahnya… tidak punya mata.
Aku lari.
Lari secepat mungkin sampai ke luar gerbang, napas tercekat, jantung berdebar.
Begitu sampai rumah, aku langsung mengunci pintu.
Tapi anehnya, aroma lembap dari sekolah tadi ikut masuk bersamaku.
Malam itu aku tidak bisa tidur.
Lampu kamar menyala redup, tapi aku merasa seperti tidak sendirian.
Ada suara langkah dari ruang tamu, meski aku tahu semua pintu sudah terkunci.
Aku dengar suara meja diseret pelan. Lalu suara tawa kecil — seperti tawa gadis remaja.
Aku menatap cermin di seberang tempat tidur.
Dan di sana, di balik pantulan, aku melihat seseorang berdiri di pojok kamar.
Seragam sekolah. Rambut panjang.
Kakinya meneteskan air.
Aku tidak bisa bergerak.
Dia menatapku dengan mata kosong — mata yang tadi kulihat di sekolah.
Lalu, pelan-pelan, dia bicara dengan suara yang sama:
"Aya, aku udah pulang duluan… tapi kamu belum datang waktu itu."
Kepalaku berdenyut. Ingatan samar menyeruak — kecelakaan bus sekolah setahun lalu, acara akhir tahun, nama-nama yang dibacakan di upacara mengenang.
Dan di antaranya… ada satu nama yang tak pernah kusebut lagi.
Namanya Aya.
Aku terdiam.
Tangan gemetar.
Di pantulan cermin itu, hanya satu dari kami yang masih punya bayangan.
---
---
Bagian 2 — Bayangan yang Tertinggal
Sejak malam itu, aku tidak lagi bisa membedakan antara mimpi dan nyata.
Kadang aku merasa sudah tidur, tapi tubuhku tetap terjaga.
Kadang aku merasa sendirian, tapi suara langkah itu tetap terdengar, berputar pelan di sekitar rumah.
Di kaca jendela, setiap pagi, ada bekas telapak tangan kecil.
Selalu basah, selalu baru.
Padahal aku tinggal sendiri.
Suatu hari, aku memutuskan untuk kembali ke sekolah.
Entah kenapa, ada dorongan aneh di dalam dada, seolah sesuatu di sana menunggu.
Lorongnya masih sama — panjang, dingin, dan berbau kapur.
Hanya saja, di papan mading dekat aula, ada satu hal yang membuatku berhenti langkah:
foto kelas kami tahun lalu.
Aku berdiri lama di depan foto itu.
Aku ingat semuanya — posisi duduk, senyum teman-temanku, bahkan cara guru wali kelas memegang pundakku.
Tapi ada sesuatu yang ganjil.
Di barisan tengah, tepat di tempat aku duduk… tidak ada aku.
Hanya kursi kosong.
“Lucu ya, kamu masih suka lihat foto itu.”
Sebuah suara muncul di belakangku.
Aku menoleh —
dia. Gadis yang semalam kulihat di rumah.
Seragamnya basah, senyumnya tenang.
Dan kali ini, matanya ada.
Tapi terlalu hitam, seperti tak ada cahaya di dalamnya.
“Kamu… siapa?” tanyaku gemetar.
Dia menatapku lama, seolah sedang memilih cara menjawab yang paling tidak menyakitkan.
Lalu bibirnya bergerak pelan,
"Aku Aya."
Aku mundur satu langkah.
“Bohong. Aku Aya.”
Dia tersenyum — senyum yang persis seperti yang pernah kulihat di cermin setiap pagi.
"Kamu bukan Aya. Kamu... yang nggak pernah pulang."
Kepalaku tiba-tiba berputar.
Gambar-gambar pecah dalam ingatan:
sinar lampu bus malam itu, teriakan teman-teman, kaca pecah, tubuh-tubuh yang tergeletak di jalan.
Dan satu tangan yang menggenggam tanganku erat sebelum semuanya gelap.
Aku menatapnya.
Dia menatap balik.
Satu dari kami bernafas terlalu berat.
Satu lagi terlalu tenang.
Lalu aku sadar —
di pantulan kaca aula sekolah, hanya dia yang terlihat.
Aku jatuh berlutut, suaraku parau, nyaris tak keluar.
“Jadi aku…?”
Dia mendekat, menepuk bahuku dengan lembut, dingin seperti kabut.
"Iya. Kamu Aya yang belum pulang. Aku cuma datang buat nganterin kamu pulang beneran."
Dan sebelum aku sempat menangis,
dunia di sekitarku mulai kabur.
Suara anak-anak sekolah terdengar jauh, seperti gema dari masa lalu.
Lalu semuanya gelap.
Di koridor sekolah yang kini kosong, satpam berjaga melihat sesuatu aneh di papan mading.
Foto kelas lama — dan kini, kursi kosong itu tak lagi kosong.
Ada seseorang yang duduk di sana.
Tersenyum.
---
---
Bagian 3 — Pulang yang Terlambat
Subuh turun perlahan di atas sekolah itu.
Kabut masih menggantung, seakan enggan pergi.
Di halaman belakang, angin berembus pelan melewati ayunan yang sudah berkarat — berderit, seperti memanggil sesuatu yang tak lagi ada.
Aku membuka mata.
Dunia sepi, tapi hangat.
Cahaya samar menyentuh kulitku, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama… aku tidak merasa takut.
Di depanku, gadis itu — yang juga Aya — tersenyum lembut.
Kini wajahnya tidak lagi pucat. Matanya memantulkan langit pagi, bukan kegelapan.
“Aku udah nganter kamu,” katanya.
“Nggak semua orang bisa pulang dengan tenang, tapi kamu berani mencoba.”
Aku memandang sekeliling.
Sekolah itu samar-samar memudar, seperti cat air yang dicuci hujan.
Semuanya perlahan hilang — suara, bau, bahkan rasa berat di dada.
Aku hanya mendengar satu hal:
denyut pelan di dalam diriku, yang terasa seperti kata maaf.
“Aku… takut,” bisikku.
“Kalau aku pergi, apa aku akan dilupakan?”
Dia mendekat, memegang tanganku — kali ini hangat, bukan dingin.
“Tidak ada yang benar-benar hilang, Aya.
Yang pergi akan tinggal di ingatan, dan yang tinggal akan belajar melepas.”
Angin meniup rambutku lembut.
Aku menutup mata.
Dan di detik itu, aku merasa seperti debu yang pulang pada cahaya.
---
Pagi berikutnya, sekolah itu terlihat seperti biasa.
Anak-anak bercanda di lapangan, guru menyapa dengan senyum.
Tapi di papan mading yang sudah tua, satu foto lama tiba-tiba jatuh ke lantai.
Di baliknya, ada tulisan samar:
> “Jangan takut pulang. Kadang, yang paling kita takuti bukan kegelapan — tapi melepaskan masa lalu yang kita cintai.”
---
🌙 Pesan / Moral Cerita:
Hidup sering kali meninggalkan kita dalam penyesalan — tentang hal-hal yang tak sempat kita selesaikan, kata yang tak sempat kita ucapkan, atau orang yang tak sempat kita peluk untuk terakhir kalinya.
Tapi melepaskan bukan berarti melupakan.
Itu tentang mengikhlaskan luka tanpa menghapus kenangan.
Sebab, bahkan arwah yang tersesat pun akhirnya hanya ingin satu hal: pulang dengan tenang.
---