---
Narasi Tentang Si Sulung
Ini adalah narasiku. Tentang menjadi anak pertama.
Yang katanya kuat, katanya panutan, katanya harus bisa.
Padahal aku juga manusia, yang kadang hanya ingin didengarkan tanpa harus terlihat tegar setiap waktu.
Menjadi anak pertama bukan tentang siapa yang lahir duluan, tapi siapa yang harus tumbuh lebih cepat dari yang seharusnya.
Aku belajar menahan tangis lebih awal, menekan amarah yang ingin pecah, dan menelan kecewa dengan kepala tegak.
Katanya, menjadi dewasa itu soal tanggung jawab. Tapi bagaimana kalau tanggung jawab itu datang terlalu dini, bahkan sebelum aku tahu cara memeluk diriku sendiri?
Ada hari-hari di mana aku iri pada adik-adikku yang bisa marah tanpa diminta maaf duluan, bisa lemah tanpa dituntut kuat, bisa menangis tanpa harus menjelaskan alasannya.
Sementara aku — bahkan saat hatiku remuk, aku tetap tersenyum agar mereka tak khawatir.
Katanya itu bukti kasih sayang, tapi rasanya seperti menghapus diri sedikit demi sedikit.
Aku sering merasa kehilangan sesuatu yang tak tahu namanya.
Mungkin itu masa kecilku yang tergadaikan oleh tanggung jawab.
Mungkin juga hatiku yang terbiasa mendahulukan orang lain hingga lupa bagaimana rasanya menjadi “aku” sepenuhnya.
Dan anehnya, semua orang menganggap aku baik-baik saja.
Karena memang begitulah caraku bertahan — dengan diam yang panjang dan tawa yang tak selalu jujur.
Tapi kadang, saat malam datang dan rumah mulai tenang, aku mendengar suaraku sendiri yang selama ini tenggelam di balik keharusan.
Ia lembut, tapi letih. Ia bilang,
“Kamu boleh berhenti sebentar. Kamu juga pantas ditenangkan.”
Mungkin, inilah bentuk dewasaku — bukan karena aku kuat, tapi karena aku tahu rasanya hancur dan tetap memilih berjalan.
Dan jika suatu hari aku terlihat terlalu tenang, percayalah, itu bukan karena aku tak merasa.
Hanya karena aku sudah terbiasa menyembunyikan badai dalam diam.
---
---
Narasi Tentang Si Sulung — Bab 2
(Kenangan yang Tidak Pernah Benar-Benar Pergi)
Aku masih ingat masa kecilku.
Saat aku belum tahu apa artinya menjadi “kakak”, aku hanya anak kecil yang suka bercerita sambil memeluk lutut, menunggu seseorang mendengarkan dengan penuh perhatian.
Tapi sejak adikku lahir, semua berubah pelan-pelan — tidak ada yang salah, hanya ada ruang yang harus aku sisihkan.
Sejak itu, aku belajar menunda keinginan.
Belajar menunggu giliran, bahkan ketika yang kuinginkan adalah pelukan yang dulu selalu jadi milikku.
Ayah dan Ibu tidak pernah bermaksud jahat, aku tahu itu.
Mereka hanya sibuk memastikan segalanya berjalan baik.
Tapi dalam setiap kalimat “kamu kan kakak, harus ngalah,” ada potongan kecil dari diriku yang perlahan memudar.
Aku tumbuh sambil meyakinkan diri bahwa cinta mereka masih sama, hanya caranya yang berbeda.
Namun, jauh di dalam hati, aku tetap merindukan versi mereka yang dulu — versi yang menatapku bukan karena tanggung jawab, tapi karena kasih.
Aku tumbuh cepat.
Lebih cepat dari yang seharusnya.
Belajar membantu, mengerti isyarat tanpa banyak bertanya, dan menutup luka dengan senyum agar rumah tetap tenang.
Kadang aku ingin marah, tapi suaraku selalu tertelan di tenggorokan.
Karena setiap kali aku mencoba bicara tentang lelah, selalu ada kalimat “kan kamu kuat” yang mematikan segalanya sebelum sempat kuungkapkan.
Aku kuat, iya. Tapi bukan tanpa harga.
Kuat, karena sudah lama tak punya pilihan untuk lemah.
Kuat, karena tak ada tempat untuk menaruh beban selain di dada sendiri.
Dan di antara semua tanggung jawab yang kupikul, aku sering lupa caranya meminta tolong.
Ada malam-malam di mana aku diam di pojok kamar, menatap langit-langit dan bertanya dalam hati:
apakah mereka tahu kalau anak pertama juga bisa merasa kesepian?
Bahwa di balik kedewasaan yang mereka banggakan, ada anak kecil yang masih menangis diam-diam, menunggu seseorang berkata, “Kamu nggak apa-apa, ya.”
Sekarang aku sudah besar.
Orang-orang bilang aku tangguh, bijak, bisa diandalkan.
Tapi tak banyak yang tahu, di balik itu semua, aku masih mencari versi kecil dari diriku — yang dulu bebas tertawa tanpa rasa bersalah.
Dan mungkin, suatu hari nanti, ketika aku cukup berani, aku akan memeluk anak kecil itu dalam diriku, dan berkata,
“Kamu nggak harus kuat setiap waktu. Aku di sini, untukmu.”
---
---
Epilog — Tentang Berdamai
Dulu, aku sering berpikir bahwa sembuh berarti melupakan.
Bahwa luka akan hilang kalau aku pura-pura tidak melihatnya.
Ternyata, aku salah.
Luka tidak hilang — ia hanya berubah bentuk.
Dulu ia tajam, kini ia lembut.
Dulu ia membunuhku perlahan, kini ia mengingatkanku untuk hidup lebih pelan.
Ada hari-hari di mana aku masih merasa sendirian.
Masih ingin kembali ke masa kecil, ketika tangis belum dianggap lemah, dan pelukan tidak perlu alasan.
Tapi kini aku tahu, aku tidak harus kembali ke sana untuk merasa utuh.
Aku bisa belajar memeluk diriku yang dulu, tanpa harus menghapus diriku yang sekarang.
Menjadi anak pertama tidak pernah mudah.
Selalu ada ekspektasi, ada beban yang tak terlihat tapi beratnya nyata.
Namun, perlahan aku mengerti — menjadi yang pertama bukan berarti harus selalu sempurna.
Kadang, cukup dengan tetap berusaha hidup dengan hati yang lembut di tengah segala tuntutan.
Itu pun sudah keberanian yang luar biasa.
Kini aku tak lagi ingin terlihat kuat.
Aku hanya ingin jujur.
Bahwa aku bisa rapuh, bisa lelah, bisa menangis tanpa alasan.
Dan aku tidak akan meminta maaf untuk itu.
Aku belajar bahwa dewasa bukan tentang menanggung segalanya sendirian,
tapi tentang tahu kapan harus berhenti, kapan harus minta tolong,
dan kapan harus bilang “aku nggak apa-apa” — bukan karena benar-benar baik-baik saja,
tapi karena aku sudah menerima bahwa luka juga bagian dari hidup.
Mungkin, inilah akhirnya.
Bukan akhir yang sempurna, tapi akhir yang cukup tenang.
Aku tidak lagi berusaha melupakan masa lalu,
aku hanya memilih menatapnya dengan senyum yang lebih damai.
Untuk pertama kalinya, aku tidak ingin menjadi siapa pun selain diriku sendiri.
Aku — anak pertama, yang pernah merasa kecil, yang pernah lelah, yang pernah hilang,
tapi kini belajar untuk pulang.
Pulang ke diri sendiri. 🌙
---
---
Surat dari Aku yang Kini, untuk Aku yang Kecil
Hai, kamu yang dulu pernah takut bicara.
Yang sering duduk diam di ujung kamar, menatap langit-langit, dan berharap seseorang mengerti tanpa harus kamu jelaskan.
Aku tahu, kamu lelah. Tapi terima kasih sudah tetap di sini — tetap hidup, tetap berusaha tersenyum meski dunia terasa terlalu berat untuk pundak sekecil itu.
Aku ingat betul bagaimana kamu sering merasa tidak cukup.
Kamu belajar terlalu cepat memahami hal-hal yang bahkan seharusnya bukan tanggung jawabmu.
Kamu menenangkan tangisan adikmu, membantu pekerjaan rumah, dan diam saja saat ingin menangis, karena kamu tahu — kalau kamu ikut menangis, tidak ada yang tersisa untuk menguatkan yang lain.
Kamu pikir dengan jadi “anak baik”, semuanya akan baik-baik saja.
Tapi sayangnya, dunia tidak selalu begitu ramah.
Kadang kamu disalahpahami, kadang perasaanmu dianggap remeh.
Dan meski kamu ingin marah, kamu memilih diam — karena kamu takut kehilangan cinta yang sedikit itu.
Aku ingin kamu tahu sesuatu:
kamu tidak salah jadi anak pertama.
Kamu tidak salah kalau kadang merasa iri, atau ingin diperhatikan juga.
Itu manusiawi, bukan dosa.
Kamu cuma ingin dicintai tanpa syarat, sama seperti dulu sebelum kamu tahu apa arti tanggung jawab.
Sekarang aku sudah dewasa, dan aku datang bukan untuk menuntut, tapi untuk memelukmu.
Aku ingin bilang: kamu sudah cukup.
Kamu sudah melakukan yang terbaik dengan segala yang kamu punya, bahkan saat kamu tak tahu harus bagaimana.
Aku tahu, kamu cuma ingin didengar — dan hari ini, aku mendengarmu.
Kamu boleh istirahat, ya.
Tak apa kalau sesekali kamu menangis, itu bukan kelemahan.
Itu bukti bahwa kamu masih punya hati yang hidup.
Dan mulai sekarang, biar aku yang jaga kamu.
Kamu nggak sendirian lagi.
Terima kasih sudah tumbuh, meski sering sendirian.
Terima kasih sudah bertahan, meski dunia terlalu ramai untukmu yang pendiam.
Aku sayang kamu, versi kecilku.
Kamu boleh tenang sekarang — aku sudah di sini, menggantikanmu jadi pelindung untuk kita berdua. 🌙
---