🌙 Puisi: Dari Balkon Lantai Atas
Aku melihatmu lagi, di antara cahaya dan tepuk tangan, suaramu menggema,
tapi namaku tenggelam di antara sorak penonton.
Aku berdiri di balkon lantai atas,
dengan jarak yang lebih jauh dari kata “kita.”
Kau tersenyum untuk dunia,
bukan untukku.
Angin malam menampar lembut pipiku,
menghapus air mata yang nyaris jatuh.
Aku bertanya pada langit,
apakah cinta dari kejauhan masih bisa disebut cinta?
Kau pernah berjanji akan menoleh ke arahku,
tapi yang kulihat hanya punggungmu yang terus melangkah.
Dan aku masih di sini,
menatap masa lalu dari lantai yang sama,
dengan hati yang tak lagi sama.
Quotes
1. > “Aku berdiri di balkon lantai atas, dengan jarak yang lebih jauh dari kata ‘kita’.”
💬 Kadang yang terjauh bukan jarak di antara dua tempat, tapi jarak antara perasaan yang tak terucap.
2. > “Kau tersenyum untuk dunia, bukan untukku.”
💬 Ada senyum yang indah tapi menyakitkan, karena kita tahu itu bukan untuk kita.
3. > “Apakah cinta dari kejauhan masih bisa disebut cinta?”
💬 Mungkin iya, karena cinta tak selalu butuh genggaman—kadang cukup keberanian untuk tetap merasa.
4. > “Aku menatap masa lalu dari lantai yang sama, dengan hati yang tak lagi sama.”
💬 Waktu mengubah segalanya, kecuali ingatan yang terus menolak pergi.
5. > “Kau pernah berjanji akan menoleh ke arahku, tapi yang kulihat hanya punggungmu yang terus melangkah.”
💬 Beberapa janji tidak untuk diingat, tapi untuk diajarkan—agar kita tahu kapan harus berhenti berharap.