> “Aku tidak ingin kembali ke masa lalu. Aku hanya ingin berdamai dengannya.”
✨ Dalam Waktu yang Sama, Aku Pernah Mencintaimu.
Waktu tidak pernah benar-benar berhenti. Ia hanya melambat pada momen yang paling ingin kita lupakan.
Dan di situlah aku — Lyra — terjebak di antara masa lalu yang tak ingin pergi dan masa depan yang belum mau datang.
Aku mati pada usia tujuh belas tahun.
Bukan karena penyakit, bukan karena kecelakaan. Tapi karena patah hati yang membunuhku perlahan.
Aku mencintainya — Dean. Cowok yang membuat segalanya terasa hangat di musim hujan, dan mematikan di musim kemarau.
Aku percaya pada setiap janji yang ia ucapkan: tentang masa depan, mimpi, bahkan tentang kecilnya kemungkinan aku bisa hidup tanpanya.
Lucunya, ternyata dia bisa hidup tanpaku.
Dan lebih lucu lagi — dia bahagia, dengan sahabatku sendiri.
Malam itu aku berdiri di bawah hujan, menatap dua orang yang dulu kusebut “rumah”.
Aku tak sempat marah. Hanya hening, lalu langkahku mundur… dan gelap.
Semuanya berhenti di situ.
Atau, begitulah seharusnya.
Tapi ketika mataku terbuka lagi, aku mendengar alarm jam weker di meja belajar yang sudah kukenal — jam yang seharusnya sudah hancur lima tahun lalu.
Aku masih hidup.
Tepatnya, aku kembali ke masa sebelum semuanya hancur.
Waktu di mana Dean masih menjadi cowok yang menatapku penuh cinta, dan sahabatku — Nayla — masih menepuk bahuku sambil bilang, “kamu harus percaya sama dia, Ly.”
Tapi sekarang, aku tahu akhir cerita ini.
---
Hari-hari berikutnya terasa aneh.
Aku masih bisa merasakan sisa sakit dari masa laluku, tapi juga ada kesempatan kedua yang terasa menakutkan.
Kalau ini reinkarnasi, kenapa aku masih di tubuh yang sama?
Atau mungkin ini time loop yang Tuhan berikan — agar aku belajar memaafkan, bukan membalas?
Tapi aku bukan malaikat.
Dan aku tidak akan mengulang kesalahan yang sama.
---
Suatu sore, aku melihat Dean menatap layar ponselnya dengan senyum yang tak seharusnya ada.
Waktu itu, aku belum tahu siapa penerimanya. Tapi aku tahu arah ceritanya.
Dan kali ini, aku memilih diam. Bukan karena takut kehilangan, tapi karena aku ingin tahu seberapa jauh dia berani melangkah tanpa aku.
Aku menulis surat pada diriku sendiri:
> “Jika kamu mencintai seseorang yang membuatmu kehilangan dirimu, itu bukan cinta. Itu racun yang manis.”
--
Malam festival sekolah datang — malam yang dulu menjadi awal dari akhir hidupku.
Dulu aku mengenakan gaun biru muda, sekarang aku memilih hitam.
Dulu aku menunggunya datang, sekarang aku datang tanpa menunggu siapa pun.
Ketika Dean menghampiriku dengan senyum yang dulu membuat jantungku bergetar, aku hanya tersenyum datar.
“Lyra, kamu kelihatan beda,” katanya.
“Memang,” jawabku. “Aku bukan Lyra yang kamu hancurkan.”
Dia terdiam, seperti baru saja melihat hantu.
Mungkin memang begitu — aku adalah hantu dari masa lalu yang ia bunuh dengan kebohongannya sendiri.
Waktu berjalan, dan aku mulai menyadari bahwa balas dendam paling elegan adalah menjadi bahagia tanpa penjelasan.
Aku menolak kembali padanya, bahkan saat dia menangis dan bilang menyesal.
Aku tahu itu hanya rasa bersalah, bukan cinta.
Lalu datang seseorang yang baru — Adrian.
Cowok yang dulu hanya kuanggap teman kelas yang pendiam.
Dia tak pernah memaksaku untuk melupakan, hanya menemaniku belajar mengingat dengan cara yang lebih lembut.
“Kalau waktu bisa diulang,” katanya suatu malam, “aku harap aku bisa jadi alasan kamu bertahan.”
Aku tersenyum, bukan karena jatuh cinta, tapi karena untuk pertama kalinya, aku merasa bebas dari masa lalu.
Sampai pada hari ulang tahunku, aku bermimpi.
Di dalamnya, aku melihat versi diriku yang dulu — basah kuyup di bawah hujan, menatap Dean dan Nayla.
Tapi kali ini, dia tidak menangis. Dia hanya berkata:
> “Terima kasih sudah menyelamatkanku, versi masa depan.”
Aku terbangun dengan air mata yang jatuh tanpa suara.
Mungkin inilah arti reinkarnasi: bukan hidup di tubuh baru, tapi hidup dengan jiwa yang baru.
Tahun berganti.
Dean dan Nayla pindah ke luar kota. Aku dan Adrian melanjutkan hidup — bukan sebagai kisah sempurna, tapi sebagai dua orang yang tahu artinya bertumbuh.
Aku belajar bahwa cinta tidak selalu tentang memiliki. Kadang, cinta adalah keberanian untuk kehilangan.
Di buku harianku, aku menulis kalimat terakhir:
> “Aku pernah mencintaimu di masa lalu, membencimu di masa kini, dan memaafkanmu di masa depan.
Dan ketika aku menutup buku itu, aku tahu — siklusnya telah selesai.
---
💫 Epilog: Kadang, Tuhan tidak mengirimkan waktu kedua untuk memperbaiki masa lalu, tapi untuk memperbaiki diri kita sendiri.
Karena cinta sejati bukan tentang kembali pada orang yang sama, tapi menjadi orang yang baru — yang akhirnya bisa mencintai dirinya sendiri lebih dulu.