Aku mati di usia tujuh belas tahun.
Bukan karena penyakit, bukan pula karena kecelakaan. Aku mati karena cinta.
Cinta yang kupikir suci, ternyata hanyalah permainan antara dua orang yang terlalu egois untuk saling mengerti.
Aku mencintainya dengan seluruh jiwaku, sementara dia… mencintaiku hanya separuh.
Separuh sisanya, ia berikan pada sahabatku sendiri.
Aku masih ingat hari itu—hujan turun tanpa henti, membasahi seragam sekolahku yang sudah penuh lumpur. Aku berdiri di depan taman sekolah sambil memandangi mereka berdua. Tertawa.
Tangan yang dulu menggenggamku, kini menggenggam tangan orang lain.
Namaku Raine, dan sebelum aku menutup mata untuk terakhir kalinya, aku berbisik pelan,
> “Kalau aku bisa hidup lagi… aku akan balas semuanya.”
Dan entah karena dunia ini terlalu kejam, atau Tuhan ingin memberiku kesempatan kedua—aku benar-benar hidup lagi.
Bukan sebagai Raine yang naif, tapi sebagai gadis lain di tahun berikutnya.
Tubuhku berbeda, wajahku juga bukan milikku, tapi ingatanku masih sama.
Aku mengingat semuanya—setiap senyum palsu, setiap kebohongan, setiap janji manis yang akhirnya menjadi racun.
Aku menatap cermin di kamar baruku. Gadis di depanku berambut hitam panjang, matanya tajam, auranya dingin.
Untuk pertama kalinya, aku tidak melihat korban. Aku melihat seseorang yang siap membalas luka yang pernah ia terima.
---
Sekolah masih sama.
Tapi aku bukan lagi Raine yang menangis di pojok kelas. Aku adalah Elara, gadis baru yang memindahkan diri dengan rahasia besar: aku tahu masa depan mereka semua.
Dia, lelaki yang dulu kucintai—Aiden—masih sama tampannya, masih suka mengusap rambut orang yang ia sayangi. Tapi aku tahu, di balik tatapannya yang lembut, ada kebohongan yang bersembunyi.
Dan dia… sahabatku dulu—Celia—masih tersenyum manis setiap kali berbicara. Tapi aku tahu, senyumnya itu beracun.
Hari-hariku dimulai dengan pengamatan.
Aku tak lagi menjadi Raine yang mudah luluh, aku menatap mereka dengan dingin.
Aku tahu mereka tidak mengenaliku, tapi mereka tahu... ada sesuatu tentangku yang membuat mereka gelisah.
Aku tidak lagi mencintai, tapi hatiku belum sepenuhnya bebas.
Karena di setiap detik, aku menunggu waktu yang tepat untuk membuat mereka merasakan rasa sakit yang sama.
Namun, yang tidak kukira—masa lalu tidak bisa diubah tanpa mengorbankan sesuatu.
Setiap langkah balas dendamku mulai membawa dampak aneh.
Waktu bergetar, jam berhenti berdetak beberapa detik setiap kali aku mengingat bagaimana aku mati.
---
Suatu hari, aku menemukan buku tua di perpustakaan sekolah.
Buku itu berjudul “The Law of Second Lives”.
Di dalamnya tertulis kalimat yang membuatku menggigil:
> “Siapa pun yang diberi kesempatan hidup kedua, akan kehilangan sesuatu yang paling ia cintai setiap kali ia memilih membalas dendam.”
Aku tidak percaya awalnya.
Sampai aku kehilangan hal pertama—adikku.
Aku berusaha menelponnya, tapi nomornya tidak pernah aktif lagi. Saat aku pulang ke rumah lama, tak ada siapa pun yang mengenal nama “Raine.”
Seolah aku, dan kehidupanku dulu, benar-benar terhapus dari dunia.
Itu harga yang harus kubayar.
---
Namun rasa sakit tidak menghentikanku.
Aku terus melangkah, terus bermain dalam bayangan masa lalu yang kuubah sendiri.
Aku mendekati Aiden lagi—kali ini bukan untuk mencintai, tapi untuk menghancurkan dari dalam.
Aku tersenyum padanya di koridor, berbicara lembut, seolah aku hanyalah gadis baru yang polos.
Dan seperti dulu, dia jatuh dalam permainan yang sama.
Dia menatapku dengan tatapan yang dulu membuatku lemah.
> “Kau mengingatkanku pada seseorang,” katanya.
“Seseorang yang sudah lama pergi.”
Aku hanya tersenyum samar.
“Dia pasti sangat beruntung pernah dicintai olehmu.”
Padahal aku tahu, aku bukan gadis beruntung itu—aku gadis yang dulu ia hancurkan.
---
Namun, semakin lama aku dekat dengannya, semakin aku sadar… balas dendam tidak membuatku bahagia.
Aku hanya menggali luka lama yang tidak pernah sembuh.
Setiap kali aku menatap Aiden, aku melihat dua sisi: pria yang dulu kucintai dan pria yang menghancurkanku.
Dan setiap kali aku menatap Celia, aku melihat refleksi dari diriku sendiri — gadis yang dulu terlalu takut kehilangan, hingga rela mengkhianati orang lain.
Suatu malam, di bawah cahaya bulan, aku duduk di taman sekolah yang dulu menjadi tempat segalanya dimulai.
Aku berbisik pelan, “Apakah ini adil? Aku diberi kesempatan kedua hanya untuk mengulang rasa sakit yang sama?”
Tiba-tiba, suara seorang guru tua di belakangku berkata,
> “Keadilan tidak datang dari membalas luka, tapi dari belajar menutupnya tanpa dendam.”
Aku menoleh, tapi pria itu sudah menghilang.
Di bangku taman, hanya tersisa selembar kertas dengan tulisan tangan:
> ‘Hidup keduamu akan berakhir ketika kau memaafkan. Maka pilihlah: menutup luka, atau terus hidup dalam masa lalu.’
---
Hari itu aku menangis untuk pertama kalinya sejak hidup kembali.
Tangisku bukan karena kehilangan, tapi karena aku akhirnya paham:
Aku tidak bisa terus menolak masa lalu.
Aku pergi menemui Aiden dan Celia.
Mereka berdua menatapku bingung ketika aku mengucapkan, “Aku memaafkan kalian.”
Air mata menetes tanpa kusadari.
Bukan air mata Raine yang hancur, tapi air mata Elara yang akhirnya bebas.
Langit berubah warna keemasan, tubuhku perlahan memudar.
Aku tahu, waktuku telah habis. Tapi kali ini aku tidak takut.
Sebelum semuanya gelap, aku tersenyum dan berbisik,
> “Terima kasih… karena sudah mengajariku bagaimana cara mencintai tanpa kehilangan diriku sendiri.”
---
Ketika aku membuka mata, aku berada di tempat yang berbeda.
Matahari bersinar lembut, dan di depan mataku, seorang gadis kecil tersenyum.
Ia memegang bunga mawar dan berkata,
> “Kak Raine, ayo main.”
Aku tersenyum—untuk pertama kalinya tanpa beban masa lalu.
Mungkin, kali ini aku hidup bukan untuk membalas,
tapi untuk memperbaiki cinta yang dulu salah arah.
✨ Pesan Reflektif:
Kadang Tuhan memberimu hidup kedua bukan untuk membalas,
tetapi untuk memahami—bahwa cinta yang tidak disertai maaf akan terus menghantui,
dan kekuatan sejati seorang wanita bukan pada balas dendam,
melainkan pada keberaniannya untuk memaafkan dan mulai lagi dari awal.