Ada masa dalam hidupku ketika aku percaya bahwa cinta adalah hal paling indah yang bisa dimiliki manusia.
Aku tumbuh dengan keyakinan bahwa cinta mampu menyembuhkan luka, menenangkan jiwa, dan memberikan arah di tengah kebingungan.
Tapi semakin aku beranjak dewasa, aku menyadari bahwa cinta tidak selalu seindah itu. Cinta juga bisa menjadi alasan seseorang kehilangan dirinya sendiri.
Aku pernah mencintai seseorang dengan begitu tulus, begitu dalam, sampai aku lupa bagaimana rasanya menjadi diriku sendiri.
Aku berusaha keras menjadi versi terbaik dari diriku hanya agar dia mau menoleh sejenak.
Aku tersenyum ketika dia tertawa, aku diam ketika dia sedang sibuk, dan aku menangis diam-diam ketika tahu hatinya sudah dimiliki orang lain.
Saat itu, aku merasa hancur.
Aku mulai meragukan diriku sendiri — apakah aku tidak cukup baik? tidak cukup cantik? atau mungkin… aku memang tidak pantas dicintai?
Namun pada suatu malam yang sunyi, aku membaca kutipan dari Marilyn Monroe:
> "I'm selfish, impatient, and a little insecure... But if you can't handle me at my worst, then you sure as hell don't deserve me at my best."
Dan entah mengapa, kata-kata itu menamparku dengan lembut.
Aku menyadari, selama ini aku berusaha menjadi seseorang yang bukan diriku. Aku menekan sisi burukku, rasa marah, kecewa, dan cemburu — hanya karena takut dia akan menjauh.
Padahal cinta yang sejati tidak akan pergi hanya karena seseorang menunjukkan sisi rapuhnya.
Jika seseorang tak bisa menerimaku di saat terburukku, dia juga tak pantas melihatku di saat terbaik.
Hari-hari setelah kepergiannya terasa panjang dan sepi.
Pagi datang tanpa semangat, malam hadir dengan pikiran yang tak kunjung berhenti berputar.
Aku mencoba melupakan, tapi bayangan dirinya selalu muncul di sela-sela waktu.
Aku menulis namanya di buku catatan, lalu menghapusnya lagi seolah itu bisa menghapus perasaan.
Dan aku kembali teringat pada kata-kata Pablo Neruda:
> "Love is so short, forgetting is so long."
Cinta memang singkat, tapi melupakannya begitu panjang.
Rasa yang dulu membuatku bahagia, kini menjadi luka yang tak kunjung sembuh.
Aku tidak membencinya, tapi aku juga tidak bisa mencintainya lagi.
Yang tersisa hanyalah kenangan — seperti lagu yang pernah kuputar berulang kali, hingga akhirnya hanya tersisa gema.
Dalam waktu yang berjalan pelan, aku mulai memahami bahwa cinta datang dalam berbagai bentuk.
Ada cinta yang hangat dan membahagiakan, ada cinta yang tenang dan sederhana, dan ada pula cinta yang membakar lalu meninggalkan abu.
Dan seperti kata F. Scott Fitzgerald:
> "There are all kinds of love in this world, but never the same love twice."
Aku akhirnya mengerti — tak ada cinta yang sama.
Setiap perasaan memiliki kisah dan caranya sendiri untuk mengajarkan kita sesuatu.
Cinta yang pernah kupunya bukanlah kesalahan.
Ia datang untuk mengajariku arti ketulusan, dan pergi untuk mengajarkanku arti kehilangan.
Ia tidak menetap, tapi meninggalkan bekas — bukan luka yang menyakitkan, melainkan jejak yang membuatku lebih kuat.
Namun, di titik terendah itu juga aku mengingat peringatan dari Ernest Hemingway:
> "The most painful thing is losing yourself in the process of loving someone too much."
Aku kehilangan diriku sendiri karena terlalu sibuk mencintainya.
Aku lupa bagaimana rasanya mencintai diriku sendiri.
Aku mengukur kebahagiaan dari senyumnya, padahal seharusnya kebahagiaan itu datang dari dalam hatiku sendiri.
Suatu hari, ketika aku menatap langit sore, aku berkata dalam hati:
"Aku lelah mencintai seseorang yang bahkan tidak tahu aku sedang berjuang untuknya."
Dan hari itu, aku memilih berhenti.
Bukan karena aku sudah tidak mencintainya, tapi karena aku mulai mencintai diriku lebih dulu.
Aku belajar bahwa melepaskan bukan berarti kalah — kadang itu cara paling tulus untuk mencintai.
Kini, setelah waktu berlalu, aku bisa tersenyum tanpa beban.
Aku bisa mendengar namanya tanpa rasa sesak.
Dan aku tahu, cinta itu tidak pernah salah. Yang salah hanya ekspektasi kita terhadapnya.
Cinta bukan tentang memiliki.
Cinta adalah tentang menghargai, memahami, dan melepaskan ketika waktunya tiba.
Dulu, aku pikir kehilangan dia adalah akhir segalanya.
Ternyata, kehilangan dia adalah awal aku menemukan diriku sendiri.
Cinta memang bisa berakhir,
tapi pelajaran darinya akan tinggal selamanya.
🩵 Pesan Reflektif:
Cinta tidak selalu datang untuk dimiliki.
Kadang, ia hadir hanya untuk membuat kita belajar — bahwa kebahagiaan sejati dimulai ketika kita berdamai dengan hati sendiri.