Konon katanya, jangan menyimpan seseorang dalam lagu. Sama halnya dengan hujan yang menyimpan banyak kenangan dengan seseorang.
Langit mulai gelap dan meneteskan air seolah menggambarkan kerinduan terhadap sesuatu yang mustahil untuk dilihat lagi. Hembusan angin memasuki jendela kelas dan terdapat sepasang mata teduh yang menikmati keindahan hujan, tatapan yang tenang namun menyimpan banyak luka di dalamnya.
Hari itu semesta seolah mengingatkannya pada kejadian satu tahun lalu. Entah disebut akhir atau awal dengan cerita yang berbeda? kehilangan seseorang untuk selamanya adalah luka yang tak akan pernah sembuh, satu-satunya hal yang bisa dilakukan hanya ikhlas dan menerimanya. Kata sabar dan ikhlas tak lagi asing di telinga. Tapi mengapa tak ada yang berkata, "kamu kuat ya, jangan merasa sendiri karena ada aku disini".
Rumah itu ibarat tempat pulang yang seharusnya nyaman untuk semua orang. Tapi sebagian orang memilih untuk tetap di sekolah daripada kembali ke tempat yang hanya sekedar bangunan, sunyi sepi dan berwarna kelabu. Sore itu di lorong menuju gerbang keluar, penuh obrolan dan tawa yang terdengar tulus dari seorang perempuan bernama Raisha Elara Pramesti, bersama temannya Mira yang juga menyukai kucing. Selama ada Mira, kucing dan musik, aku pun masih memiliki alasan untuk terus hidup. Begitulah kata perempuan yang menutupi lukanya dengan senyuman tulus.
Pulang ke rumah, satu hal yang membuat lega sekaligus luka bagi Raisha. Setiap kata yang keluar dari mulut kedua orang tuanya selalu saja sama saat ia pulang terlalu malam.
"Aku bisa jaga diri yah, mah" ucap Raisha dengan suara yang sedikit lantang dan segera berlari menuju kamarnya. Lelah rasanya jika dibandingkan dengan orang itu lagi. Perlahan air mata menetes dari sepasang mata indah itu, memandangi sebuah foto seseorang yang seharusnya berada disini untuk menemaninya. Bersama air mata yang jatuh, hujan pun ikut turun, seolah membawa pulang kenangan yang enggan pergi dari ingatan.
Mira Adeline Sagara, nama yang indah sama seperti hatinya yang juga tulus berteman dengan Raisha disaat susah maupun senang. Mereka juga teman dari kecil dan sekarang berada di satu kelas yang sama, di kelas XI-7 SMA Derasa. Kalau Bandung diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum, Semarang diciptakan saat Tuhan sedang apa ya? karena bagi Raisha, di sini kalau panas ya panas banget, sekali hujan ya banjir. Tidak ada kisah romantisnya seperti di Bandung, karena semua dianggap teman.
Hari-hari berlalu, Raisha dan Mira menghabiskan akhir tahunnya dengan bermain musik. Suara indah nan lembut khas Mira, ketukan keyboard Raisha, serta suara gitar, bassist, dan drum milik anggota lain memenuhi ruang band. Ketua band itu adalah Ares, sang gitarist yang dikagumi banyak perempuan, lalu Kaysar sebagai bassist dan Ziko dengan ketukan drumnya. Sebagai anggota band 2nd Light, tentu mereka sering mengikuti berbagai event di sekolah terutama saat Diesnatalis.
Bersama teman band nya lah Raisha merasa lebih hidup. Pulang latihan yang seharusnya melelahkan justru seperti mengisi energi baru ketika mengobrol dan bermain musik bersama, karena sekolah terasa seperti rumah daripada rumahnya sendiri. Namun kesedihan mendadak muncul ketika ada satu hal yang membuat Ares tidak dapat mengikuti event akhir tahun itu. Maka ia meminta sepupunya yang kebetulan senior band untuk menggantikannya mulai minggu depan.
Pandangan mata kedua orang asing itu bertemu. Jantung Raisha berdegup kencang seolah memberi pertanda bahwa pemiliknya sangat mengenali sorot mata itu, tatapan yang sama dan masih indah seperti dua tahun lalu. Seorang pria duduk bermain gitar, dengan mengenakan jaket yang sama seperti dulu dan ditemani oleh seekor kucing putih. Di hari itu, Mira tidak berangkat karena sakit, sedangkan Kaysar dan Ziko juga punya seribu alasan untuk tidak berangkat latihan band. Kini hanya Raisha yang harus berkenalan dengan sepupu Ares, langkahnya terhenti tepat di depan pintu ketika ia melihat seorang lelaki asing yang anehnya sangat Raisha kenali, Derian Arvenza.
Ternyata semesta suka bercanda ya. Kenapa di satu sekolah pun, jika merestui untuk tidak bertemu, maka selamanya tidak akan bertemu, dan jika ditakdirkan untuk bertemu, kenapa harus seperti ini Tuhan? begitulah isi hati Raisha saat melihat lelaki yang pernah berada di hatinya, kini berada tepat di depannya. Bagaimana bisa dua tahun sekolah disini, tapi dua tahun juga tidak tahu dan tidak pernah melihat Derian di sekolah ini.
"Iya sih dia terlihat berbeda, tapi harusnya aku mengenalinya kan, kenapa aku juga gatau info sekolah dia sama sekali" batin Raisha.
Tiba tiba lamunannya tersadar ketika suara seorang lelaki memanggil namanya,
"Raisha? dulu temen smpnya Ares juga kan, mulai langsung latihannya ya" tanya Derian dengan singkat.
"I-iya kak" Raisha gugup, baru pertama kali ia bisa mengobrol dengan cinta lamanya. Rasa yang seharusnya tidak boleh ada kini harus ia tahan agar tidak kembali lagi.
"Tapi maaf kak, ini teman-teman pada ga berangkat, terus gimana dong latihannya?" tanya Raisha kebingungan.
"Yaudah kan tinggal nyanyi aja kita" jawab Derian, singkat, padat, tak jelas. Raisha hanya membalas dengan anggukan dan senyum yang sedikit terpaksa. Walaupun dia bingung dengan perkataan Derian yang cuek itu, tapi ia baru mengetahui sisi Derian yang sangat perhatian dan sabar ketika mengajarinya.
Tak terasa waktu berjalan satu jam, langit mulai gelap dan angin berhembus sangat kencang menandakan hujan yang akan segera turun. Derian khawatir jika Raisha tidak bisa pulang karena kehujanan, maka ia memutuskan untuk segera pulang. Tiba tiba lampu redup dan terlihat cahaya yang sangat terang dari pintu membuat mereka menutup mata secara bersamaan. Saat mereka membuka mata, terlihat lampu kelap kelip di luar dan suara penonton bersamaan dengan suara musik yang keras. Kucing putih bernama Lumos yang sedari tadi berada di ruang band itu seakan menuntun mereka untuk keluar melihat sumber suara, benar saja di hadapan mereka terdapat panggung acara yang bertuliskan "Festival 2022 SMP Lenfera", tahun di mana seharusnya Raisha berada di barisan penonton untuk melihat Derian tampil bersama bandnya. Sekarang ia justru menjadi salah satu anggota band itu.
Mira memanggil mereka dan berkata bahwa malam nanti mereka harus tampil di puncak acara. Sontak hal tersebut membuat Raisha dan Derian terkejut.
"Loh mir, ini bukannya tahun 2025? tadi aku masih berada di ruang band SMA Derasa kok sama kak Rian" tanya Raisha dan kembali menuju ke pintu ruang band.
"Kamu ngantuk kah sha? jelas jelas ini ruang band SMP, terus kamu bilang 2025 sama SMA apa tadi? orang kita masih kelas 8 gini" Mira dan Derian menyusul Raisha untuk masuk ke ruang band. Benar saja ruang itu berubah menjadi ruang band di SMP.
"Kak Rian jangan diem aja dong, kita tadi lagi latihan tiba tiba ada cahaya sama suara dari luar" ucap Raisha seakan berkata bahwa ia tidak berbohong.
"Iya, tadi ruang bandnya ga kayak gini" balas Derian singkat.
"Terserah kalian lah salah siapa daftar, aku juga kaget kalian kenal dari mana, yang penting siap siap dulu sana" Mira pergi dengan rasa kesal karena mengira Raisha dan Derian berbohong sebagai alasan untuk tidak tampil.
Di sisi lain, Derian memperhatikan muka Raisha yang kebingungan. Entah mengapa Raisha jadi menarik dan lucu ketika berbicara seperti tadi, "marahnya Raisha kayak tikus yang gak mau di makan kucing", batin Derian sambil tersenyum.
"Mau gamau ya kita tampil, pake lagu yang kamu tulis aja ini" ucap Derian sambil memegang kertas yang bertuliskan sebuah lagu di meja ruang band. Raisha yang melihat itu spontan mengambil kertas dan membacanya.
"Kok kak Rian tau ini tulisanku? sejak kapan ini disini, dulu kayaknya hilang deh" tanya Raisha menahan malu.
"Ya kamu inget inget aja, dulu bandku bawain lagu apa kalau bukan ini, aku yang ambil" Balas Derian.
Memang dulu Raisha mengagumi Derian diam diam. Tanpa komunikasi dan tanpa banyak yang tahu, hanya karya yang menjadi saksi rasa itu. Karena dari awal Raisha tidak mau Derian risih jika tau bahwa dirinya mengabadikan lelaki itu dalam tulisan, "setidaknya jika ia tak pernah jadi milikku, maka biarkanlah dia abadi dalam karyaku" begitulah cara penulis ketika jatuh cinta.
Tiga tahun lalu, tepat ketika festival 2022 ini berlangsung, Raisha bersama kakaknya Rendra Alfarez Pramesti menonton festival tersebut. Ia merasa senang karena ditemani sang kakak hingga malam penutup acara ini. karena biasanya orang tua mereka tidak mengijinkan Raisha untuk pulang larut malam. Sorot mata Raisha sibuk mencari lelaki yang ia kagumi yaitu Derian, lelaki manis berkulit sawo matang, hobi bermain gitar dan sangat menyukai kucing, dengan tinggi 175 dan sikap cueknya membuat Raisha kagum sejak awal melihatnya di penampilan ekstra dulu, Raisha mengira hanya perasaan sesaat yang akan hilang seiring berjalannya waktu. oleh karena itu ia tak mau mendekati Derian karena enggan bersaing dengan para fans Derian.
"Terkadang kenangan terindah justru menciptakan luka yang paling dalam saat berpisah" karena itu Raisha tidak mau terlalu dekat. Derian juga akan segera lulus dan bisa saja mereka takkan bertemu lagi.
Hujan perlahan turun, Raisha tetap ingin menonton acara sampai puncaknya yaitu penutupan band Derian. Namun sang kakak meminta Raisha untuk segera pulang sebelum hujan semakin deras karena mereka tidak membawa jas hujan, ia pun kembali pulang dengan perasaan sedih dan kecewa, berharap di lain hari ia bisa melihat Derian tampil, namun sayangnya ini adalah penampilan terakhir karena setelah ini Derian akan lulus.
Sekarang keinginan Raisha terkabul, entah bermimpi atau tidak, dulu ia hanya bisa melihatnya bermain gitar dari jauh, mengabadikannya dalam gambar, dan sekarang ia bisa melihatnya tampil bahkan bermain bersama.
"Jam berapa kak?" tanya Raisha memecah keheningan
"Masih jam 8" jawab Derian.
Sunyi, tidak ada obrolan lagi, mereka berlatih sampai siang dan Derian merasa lapar dan haus.
"El, keliling sekolah yuk cari jajan" ajak Derian, sontak membuat Raisha terkejut dan bingung.
"Hah? siapa el kak"
"Elara, aku lebih suka manggil kamu elara"
Raisha terdiam karena kini ia menahan untuk tidak menyukai lelaki di hadapannya, Derian yang melihat itu pun segera berdiri lalu bertanya sekali lagi dan langsung keluar, ternyata di belakang ada Raisha yang mengikuti langkah kakinya. Tanpa disadari ternyata Derian tersenyum saat mengetahui Raisha berada di belakangnya, "Elara, artinya cahaya, yang berarti kamu sinar di gelapnya hidupku" ucap Derian dalam hati.
Tak ada yang tahu perasaan Derian pada Raisha selama ini. Mereka pertama kali bertemu bukan di sekolah, melainkan di sebuah toko alat musik. Saat itu, Derian sangat menyukai gitar, tapi ayahnya justru ingin menjual gitar tersebut karena sebuah alasan. Menurut sang ayah, musik membuat nilai Derian menurun.
Ibu Derian sebenarnya sangat mendukung bakat anaknya, bahkan ia yang pertama kali mengajarinya bermain gitar, namun ia tak bisa menentang keputusan suaminya.
Ketika kesal, Derian memilih menunggu di luar toko. Di saat itu, datanglah seorang gadis bersama kakaknya. Ia memperhatikan gadis itu, Raisha yang sedang bermain keyboard di dalam toko. Sejak hari itu, Raisha menjadi alasan Derian untuk terus bermain musik.
Setahun sebelum Raisha menyukai Derian, justru Derian lah yang lebih dulu menyimpan perasaan. Setelah berbulan-bulan membujuk ayahnya, akhirnya ia diperbolehkan bermain musik lagi. Ia sering bermain di dekat pohon yang biasa dilewati Raisha sepulang sekolah, berharap suatu hari Raisha akan menyadarinya.
Bodoh memang, karena ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Namun bagi Derian, meski orang bilang “perasaan yang tidak diungkapkan tidak akan jadi apa-apa,” baginya melihat Raisha dari jauh saja sudah cukup, ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk akhirnya berkata jujur.
Dua gelas Es teh di meja dan aroma bakso yang dibawa Raisha memenuhi kantin, mereka duduk saling berhadapan seakan siap untuk wawancara, Derian merasa inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan itu, tapi ia enggan mengungkapkan karena merasa bersalah kepada keluarga Raisha.
"Berarti nanti kakakmu ikut nonton ya?" tanya Derian pelan berusaha untuk tidak melukai hati Raisha.
"Iya harusnya gitu, karena ini tahun 2022 kak, ternyata masih bisa ketemu ya haha" jawab Raisha sambil tersenyum untuk menutupi kesedihannya.
"Maaf el, maaf udah bikin kamu sakit" ucap Derian tiba tiba yang membuat Raisha bingung.
"Sakit gimana kak maksudnya?"
"Maaf karena ayahku, kakakmu meninggal, waktu itu aku sama ayah lagi buru buru dan aku gatau kalo bakal kayak gitu, aku takut kamu benci aku dan keluargaku makanya aku ga berani bilang".
Raisha membeku. Dunia seolah berhenti di antara detik itu. Hanya suara hujan di luar yang terdengar samar.
Matanya menatap kosong ke arah Derian, seolah mencari alasan agar semua yang baru ia dengar hanyalah mimpi buruk.
“Jadi, kecelakaan itu..?” suaranya bergetar, hampir tak bisa keluar.
Derian menunduk. “Iya, El… aku baru tahu waktu itu, tapi”
Raisha menggeleng cepat, menutup telinganya dengan kedua tangan. “Cukup, Kak. Aku gak sanggup denger. Semua itu bukan salahmu jadi kamu gak perlu merasa bersalah, emang terkadang hidup hanya memberi satu pilihan yaitu untuk ikhlas.”
Hening. Air matanya jatuh tanpa izin. “Tapi kenapa harus keluargamu kak?” Raisha merasakan sakit yang tak pernah ia bayangkan, luka itu datang dari keluarga lelaki yang ia anggap sebagai warna dalam hidupnya.
Raisha menatapnya sekali lagi. Tatapan penuh luka, antara ingin marah dan ingin mengerti.
“Aku butuh waktu sendiri,” ucapnya lirih, suaranya hampir tenggelam dalam deras hujan di luar.
“Aku gak tahu bisa tampil malam ini atau enggak, Kak. Aku gak yakin bakal sanggup lihat kak Rendra lagi.”
Langkahnya mundur perlahan, menjauh.
“Maaf.”
Dan sebelum Derian sempat bicara, Raisha sudah berbalik, meninggalkan ruangan itu bersama tangis yang disamarkan oleh suara hujan. Ia hanya mengangguk pelan, membiarkan Raisha pergi lebih dulu.
Ruang band sepi. Hanya Derian dan seekor kucing putih di sudut ruangan, Lumos, yang menatapnya tanpa berkedip.
“Dia gak akan balik, ya?” gumam Derian lirih.
“Dia akan balik,” suara lembut itu menggema, entah dari mana, tapi Derian mendengarnya dengan jelas. Ia tersentak, menatap kucing itu tak percaya.
“Siapa yang bicara?”
Lumos hanya menatap, bulunya bersinar samar oleh cahaya petir yang menyambar di luar.
“Kalian berdua belum selesai. Dunia memberi kalian kesempatan untuk menuntaskan yang tertinggal di 2022,” lanjut suara itu.
Derian membeku, tangannya bergetar. “Kenapa kami?”
“Karena hanya dengan menyatu dalam musik, kalian bisa membuka jalan pulang. Suara kalian adalah kunci waktu.”
Raisha masih berdiri di bawah atap sekolah, menatap halaman yang mulai tergenang. Hujan turun makin deras, menyamarkan air mata di wajahnya. Derian berjalan pelan mendekat, membiarkan setiap langkahnya terdengar bersama dengan turunnya air hujan.
“Elara” suaranya nyaris tenggelam oleh suara air.
Raisha tak menoleh, hanya menatap keindahan hujan beserta kenangannya.
Derian berhenti beberapa langkah di belakangnya. Derian berkata, “Aku juga merasa sedih karena kehilangan. Tapi kalau kita diam di sini terus, kita gak bakal bisa pulang, El.”
Raisha menoleh pelan, “Maksudmu?”
Derian menarik napas panjang. “Tadi Lumos datang. Aku gak tahu gimana jelasinnya, tapi dia bilang kita gak akan bisa balik ke 2025 kalau gak nampilin lagu itu. Lagu tentang hujan.”
Raut wajah Raisha berubah antara bingung dan tak percaya.
“Kak, kamu bercanda?”
“Enggak.” Derian menatapnya dalam, suaranya bergetar tapi tegas. “Lumos bilang, satu-satunya jalan keluar dari waktu ini adalah lewat lagu yang belum selesai. Kalau kita gak tampil malam ini, kita bakal terjebak di sini selamanya.”
Raisha terdiam.
Derian melangkah lebih dekat. “Aku tahu semua ini berat. Tapi kalau lagu itu bisa jadi cara kita berdamai dengan masa lalu, bukankah itu berarti kesempatan terakhir kita?”
Raisha menunduk, menatap air yang memantulkan cahaya lampu.
“Mungkin ini memang bukan tentang pulang ke 2025,” bisiknya lirih, “tapi tentang berani berdamai sama luka.”
Derian tersenyum, “Jadi, mau biarin aku main gitar sendiri, atau kamu ikut aku tampil malem ini?”
Raisha menatap Derian dan tersenyum,
“Baiklah,” ucapnya lembut.
Malamnya, ruang band terasa sunyi. Lampu panggung sudah dinyalakan, festival penutupan akan dimulai. Raisha memegang keyboard, sementara Derian memeriksa gitar. Kucing putih itu masih di sudut ruangan, menatap mereka seolah menunggu sesuatu.
“Lagunya kamu kasih judul apa?” tanya Derian, menatap kertas lirik yang kusut di tangan Raisha.
Raisha tersenyum tipis, “Hujan yang Membawa Kenangan. Tentang seseorang yang gak sempat bilang selamat tinggal.”
Derian menatapnya lama, lalu menarik napas dalam.
“Elara,” panggilan itu membuat jantung Raisha bergetar.
“Aku harus bilang sekarang, sebelum semuanya terlambat lagi.”
Raisha menoleh,
“Aku suka kamu dari dulu. Dari sebelum kamu tahu aku ada. Dari sebelum kamu tulis lagu-lagu tentangku. Aku cuma takut, waktu tahu ayahku penyebab semua itu, aku merasa gak pantas sama kamu.”
Hening. Satu detik, dua detik, hanya suara detak jantung yang saling berkejaran di antara mereka.
Raisha menatapnya lama, kemudian berkata pelan, “Aku juga pernah salah paham, aku pikir kamu dingin, cuek, dan gak peduli sama perasaanku.”
Derian tersenyum kecil, "Ternyata begini rasanya saling terbalas. Berarti sekarang waktunya kita tampil, ya?”
Raisha membalas senyuman itu, “Iya kak.”
Ketika panggilan untuk penampilan terakhir diumumkan, mereka naik ke panggung. Lampu sorot menyoroti wajah keduanya, sementara penonton mulai bertepuk tangan.
Derian menatap Raisha sekilas sebelum mulai memetik gitar. Nada pertama mengalun lembut, seperti rintik hujan pertama di sore hari.
Raisha menekan tuts keyboard perlahan, suaranya lembut eolah sedang bercerita kepada langit
“Jika hujan kembali turun malam ini,
mungkin itu kamu,
yang datang bukan untuk menjemput,
tapi untuk memastikan aku tak lagi sendiri.”
Penonton hening. Di baris paling belakang, seseorang yang sangat dikenali Raisha berdiri melihatnya, Rendra. Wajahnya tenang, senyum hangat terukir, sama seperti dulu sebelum ia pergi. Ia melambai pelan. Raisha terdiam di tengah lagu, air matanya jatuh tapi senyumnya merekah. Derian menatap ke arah yang sama, merasakan perasaan hangat yang muncul bersamaan dengan senyumnya.
Hujan mulai turun perlahan. Derian melanjutkan petikan gitarnya, sedangkan Raisha menutup mata dan membiarkan hujan turun menyamarkan air matanya.
Suara petir menyambar lembut, lalu semua berubah. Cahaya panggung menjadi putih menyilaukan, dan dunia seolah berputar.
Ketika Raisha membuka mata, ia sudah berada kembali di ruang band SMA Derasa. Langit di luar masih gelap, hujan turun deras. Derian duduk di depannya, gitar masih berada di pangkuan, menatapnya seolah waktu tak pernah berlalu.
“Kita balik lagi?” tanya Raisha lirih.
Derian mengangguk pelan. “Kayaknya iya. Tapi aku gak tahu, kenapa rasanya kayak mimpi yang nyata banget.”
Kucing putih, Lumos, berjalan melewati kaki mereka, meninggalkan jejak air kecil di lantai. Raisha memperhatikan hewan itu sampai hilang di balik pintu, lalu menatap Derian dengan tatapan lembut.
“Mungkin itu bukan mimpi,” katanya pelan.
Derian menatap balik, menahan senyum.
“Mungkin enggak. Mungkin itu cuma cara semesta bilang kalau kita udah berdamai sama masa lalu.”
Raisha menatap jendela, melihat hujan yang masih turun. Ia menulis sesuatu di buku catatannya yang kini basah sedikit karena tetesan air.
“Kalau benar setiap lagu menyimpan jiwa, maka biarkan lagu ini jadi tempat pulang bagi semua yang pernah hilang, termasuk kita.”
Derian menatapnya dengan senyum yang sama seperti dulu.
“Elara,” panggilnya lembut, “lagu tentang hujan sepertinya belum selesai, kan?”
Raisha membalas senyum, “Belum. Tapi kali ini, aku gak mau menulisnya sendiri kak.”
Derian tertawa kecil, lalu duduk di sebelahnya.
“Kalau gitu, mari kita selesaikan sebelum hujan berhenti.”
Petikan gitar pertama terdengar lagi, lembut dan menyatu dengan suara hujan di luar. Ruang band dipenuhi cahaya keemasan dari lampu, seolah semesta pun ikut mendengarkan. Di luar, dunia tetap berjalan, tapi bagi dua orang itu, waktu seolah berhenti di antara hujan, nada, dan kenangan yang akhirnya menemukan jalan pulang.