Di bawah langit kelabu Kerajaan Virginia, dentuman meriam bergema, mengguncang tanah dan hati yang masih berusaha mencintai di tengah kehancuran. Asap perang menutup matahari, dan darah menggantikan embun pagi di jalanan istana.
Ferly Dayana berdiri di tepi jendela benteng tua, mengenakan gaun sederhana yang tak pantas bagi darah saudagar kaya sepertinya. Dahulu, keluarganya adalah penyokong terbesar Kerajaan Rivelle, kerajaan yang kini menjadi musuh bebuyutan Virginia. Namun perang menghapus segalanya, gelar, harta, dan rumah yang hangus terbakar. Ia dan ibunya melarikan diri, bersembunyi di perbatasan, hingga akhirnya ditampung di sebuah biara.
Namun, di tengah malam yang sunyi itu, takdir menuntunnya bertemu dengan Daniel Jason, pewaris keluarga Marquis dari Virginia. Ia datang sebagai prajurit muda, berbalut baju zirah yang berlumur debu dan darah. Tapi di balik matanya yang teduh, tersembunyi kelembutan yang tak tersentuh perang.
Pertemuan pertama mereka bukanlah kisah manis di taman bunga, melainkan di lorong biara yang dingin. Ferly menolongnya saat Daniel terluka karena serangan mendadak musuh. Ia merawatnya tanpa tahu siapa lelaki itu sesungguhnya.
“Siapa namamu?” tanya Daniel dengan suara serak.
“Ferly,” jawabnya lembut. “Aku hanya seorang pelarian.”
Daniel tersenyum samar. “Dan aku hanya seorang lelaki yang terlalu mencintai negerinya.”
Malam-malam berikutnya, mereka berbagi kisah di bawah sinar lilin—tentang rumah, tentang keluarga, dan tentang mimpi yang tak mungkin lagi terwujud di dunia yang retak karena peperangan.
Ferly jatuh cinta bukan pada pangkat Daniel, tapi pada caranya menatap dunia yang hancur dengan harapan yang masih hidup.
Daniel mencintainya karena di mata Ferly, ia menemukan alasan untuk pulang, bukan ke istana, tapi ke hatinya sendiri.
Namun takdir tak pernah berpihak pada cinta yang tumbuh di tanah penuh darah.
Saat pasukan Rivelle menyerbu benteng perbatasan, identitas Ferly terbongkar. Ia bukan sekadar pelarian, melainkan putri saudagar besar Rivelle, yang keluarganya pernah membiayai perang melawan Virginia. Bagi kerajaan, ia adalah musuh.
Daniel terperangkap di antara cinta dan sumpah kesetiaan pada mahkota.
“Ferly,” bisiknya malam itu di bawah hujan peluru, “kalau aku melepaskanmu, aku akan dianggap pengkhianat.”
Ferly memegang tangannya erat, air matanya menyatu dengan hujan.
“Dan jika aku tetap di sini, aku akan mati di tangan orang-orangmu.”
Hening sesaat, hanya dentuman jauh yang menjadi saksi cinta mereka.
Daniel mencium keningnya, lama, dalam, dan penuh luka.
“Jika kita terlahir di dunia yang berbeda,” katanya dengan suara bergetar, “aku akan meminangmu di taman mawar, bukan menyembunyikanmu di biara.”
Ferly tersenyum, meski matanya sudah basah. “Dan aku akan datang dengan gaun putih, bukan jubah pelarian.”
Keesokan paginya, Ferly ditemukan di tepi sungai, tubuhnya terkulai dalam pelukan dingin air, seolah alam sendiri ingin menyembunyikan luka cintanya.
Di dadanya tergenggam sebuah liontin perak—hadiah dari Daniel, dengan ukiran kecil bertuliskan:
“Untuk cinta yang tak pernah selesai.”
Daniel, yang mendengar kabar itu, tak pernah lagi mengangkat pedang. Ia meninggalkan medan perang dan menghilang entah ke mana. Namun di musim semi berikutnya, orang-orang desa bersumpah pernah melihatnya di tepi sungai yang sama, menabur bunga mawar putih sambil berbisik,
“Ferly… aku sudah pulang.”