Bumi terus berjalan tanpa kenal lelah, tidak mengacuhkan manusia yang bahkan berteriak memohon berhenti sejenak untuk istirahat. Tirai kabut menutupi jalanan Seoul, udara tengah menari-nari membawa hawa dingin yang menyayat kulit membuat tubuh sedikit bergidik.
Dinginnya cuaca selaras dengan perasaan Jaemin yang perlahan diselimuti kabut dingin yang tipis.
Bagaimana tidak? Ini sudah dua hari berlalu, sejak insiden buket bunga mawar merah itu dikirim, dan pagi tadi ada kiriman anak anjing beserta kandangnya.
Anjing Samoyed yang begitu mungil dan lucu, bagai bayi polos tak berdosa itu pagi ini sudah sampai di rumahnya. Bahkan saat ia hendak berangkat bekerja.
Bukan Anjing Samoyed-nya yang ia permasalahkan. Akan tetapi, lagi-lagi sang secret admirer yang entah siapa namanya berani mengirim sesuatu untuk sang sepupu.
Bahkan sang sepupu yang mengetahui keberadaan anak anjing itu, langsung jatuh hati pada pertemuan pertama. Jeno bahkan hampir memekik gemas bercampur girang dengan melihat tatapannya sang puppy yang begitu menggemaskan.
Bahkan ada secarik kertas di yang setia menempel di kandang.
“Good morning, bagaimana harimu? Kuharap harimu baik, meskipun masih jauh dari kenyataan, Pretty. Pretty, kau suka dengan bunga mawar pemberianku, bagaimana indah bukan?
Ah, Pretty, aku hanya ingin memberitahu dirimu, selama seminggu aku akan pergi meninggalkan Seoul untuk urusan bisnis. Jadi, sebagai gantinya aku mengirimkan anak anjing itu supaya kau tidak kesepian saat kutinggal nanti.
Kau tahu? Aku membeli anjing itu secara tidak sengaja. Saat itu aku sedang pulang dari bekerja, saat berhenti di lampu merah, tatapanku tertuju pada anjing kecil itu, entah mengapa saat melihat anjing itu, aku jadi teringat dirimu. Yang begitu menggemaskan seperti seekor Samoyed. Jaga baik-baik, Pretty. Love you and see you again.
Your secret admirer
“Pretty?” beo Jeno, “tapi gue nggak cantik, anjir!”
Perasaan dilema menyusup dalam hati Jeno, di satu sisi ia bertanya-tanya siapa gerangan pengirim ini, tetapi di satu sisi ia mulai merasa nyaman dengan semua perhatian kecil yang ditujukan padanya.
“Hei, siapa sih yang ngirim lu ke sini?” Jeno bertanya pada sang anjing yang tengah berada di pangkuannya.
“Guk! ... guk!”
“Lu belum punya nama, ya?” tanya Jeno lagi.
“Guk!”
“Eum, nama apa ya yang bagus?” Jeno berpikir, jemarinya ia letakkan di dagu pipinya sedikit menggembung dengan bibir yang mengerucut lucu. “Ah, gimana kalau nama lu, Jjed!”
Mendengar usulan Jeno, entah mengapa sepertinya, anjing itu menggonggong keras dan matanya berbinar, seolah ia menyetujui nama pemberian sang tuan.
“Kayanya lu setuju dengan nama itu, kan?”
Jaemin menjadi lebih diam, lantaran Jeno tidak mengacuhkan eksistensinya di ruang tamu itu.
Matanya tampak datar. Tatapannya sedingin es kutub utara, hati Jaemin menggigil tak terima.
“Jen?” panggil Jaemin. Jeno melirik Jaemin sebentar. Ia menaikkan satu alisnya—memandang Jaemin penuh tanya.
“Lu nggak berangkat kerja?” tanya Jeno. Keheningan menyusup ditengah-tengah anak Adam itu.
Jaemin tersenyum, langkahnya mendekati Jeno yang sedang duduk di sofa. Memangkas setiap jarak yang tercipta. Hingga tubuh Jaemin tinggi menjulang tepat di depan Jeno.
Jaemin sedikit menunduk. Wajahnya ia condongkan sedikit ke arah Jeno. Jeno yang terkejut pun tiba-tiba memundurkan wajahnya tidak siap, serta badai kebingungan menghantam kepalanya.
“N-Na ... Jaemin lu ngapa ... uhm!” ucapan Jeno terputus saat labium Jaemin menyapa dengan lembut labium miliknya. Mata Jeno melebar, jantungnya bagai derap langkah kuda yang berlari karena perlakuan sang sepupu yang tidak biasa.
Atmosfer panas perlahan-lahan mendekap kedua anak Adam yang tengah tenggelam dan hanyut dalam keintiman mereka. Hingga sepuluh menit waktu berjalan, mereka menyudahi permainan itu. Semburat merah dan degupan jantung yang bertalu-talu lantas menyerang Jeno tanpa ampun, ia menatap Na Jaemin dengan pandangan sayu.
Tatapan Jaemin membuat tangan Jeno sedikit bergetar meski samar, di detik itu dia menyadari satu hal, bahwa Jaemin tak lagi sama.
“Aku berangkat dulu, Nono. Jadilah anak baik!” ujar Jaemin lalu ....
Cup! Satu kecupan mendarat manis di kening putih mulus milik Jeno. Jaemin kembali menegakkan tubuhnya dan keluar dari rumah untuk berangkat bekerja. Meninggalkan Jeno yang masih dilanda kebingungan mencoba memproses apa yang baru saja terjadi.
“Barusan itu ... Jaemin tadi?” monolognya seolah bertanya pada keheningan. Rasa takut dan waspada mulai menghantuinya.
Sementara itu, di dalam mobilnya, Jaemin tengah menghubungi seseorang, “Ji, gue punya tugas buat lu. Cari tahu siapa orang yang kirim Anjing Samoyed sama buket mawar untuk sepupu gue!”
Di saat yang sama, tetapi di tempat yang berbeda, Mark berdiri di balkon apartemennya, matanya memandang lepas pemandangan kota Vancouver. Sorot lampu kota memantul di matanya yang kelam menampakkan sesuatu yang lebih dari sekedar ambisi.
Senyuman yang mirip sebuah seringai lebar terbit di wajahnya yang blasteran itu.
“You know what? Sampai kapanpun lu nggak akan pernah bisa menang lawan gue Na Jaemin. Your cousin is mine!” gumamnya tertelan dalam keriuhan malam kota Vancouver.
Dan di ujung dunia yang berbeda saat satu kota baru terbangun dan kota lain mulai tertidur, dua sosok lelaki ini mulai perang tanpa senjata. Perang hati, perang luka, dan perang kepemilikan.
Pagi itu dunia seolah menjadi saksi bisu dimulainya perang yang tidak akan berhenti sampai salah satu dari mereka hancur.