Roda-roda yang terus bergulir seakan melahap debu jalanan itu berhenti di hunian sederhana, namun elegan milik Jeno. Jaemin menoleh ke sebelah kanan, di mana tempat Jeno duduk.
Mata lelaki itu terpejam, bibirnya yang serupa buah ceri yang telah masak sedikit terbuka, serta hidung bangir yang terpahat sempurna di tubuh milik sang sepupu dan kulit pualamnya, membuat Jaemin betah berlama-lama memandang dan tenggelam dalam pesona sang sepupu, menciptakan perasaan asing yang mulai tumbuh dan menggerogoti hati Jaemin yang coba ia sangkal.
“Kenapa aku baru sadar, kalau kamu itu memiliki paras cantik yang memikat, No? Kayanya Tuhan sedang tenggelam dalam kolam perasaan sukacita waktu menciptakan kamu, makanya kamu dipahat dengan sempurna tanpa cacat begini,” gumam Jaemin dalam keheningan. Suaranya seakan mengambang.
Tangannya tiba-tiba terjulur mengusap setiap inchi keindahan wajah Jeno dengan hati-hati dari mata hingga labiumnya yang terlihat berisi dan merah selayaknya buah ceri.
Saat kesadaran Jaemin tenggelam dalam lamunan keindahan sang sepupu, pada saat itu pula netra serupa bulan sabit milik Jeno terbuka. Dan sepertinya seorang Na Jaemin belum tersadar dari lamunannya.
Mata Jeno berkedip beberapa kali, bulu matanya yang lentik bergerak begitu gemulai di mata Jaemin laksana kipas dewi angin.
“Udah sampai ternyata,” gumam Jeno saat melirik kanan-kirinya. “Lu ngapain nggak bangunin gue kalau udah sampai, malah diam kaya orang tolol?!”
Detik itu pula kesadaran Jaemin terdorong keras hingga ke permukaan. Ia berdeham sebentar untuk membunuh kecanggungan yang memeluk dirinya ditengah tatapan tajam bak sembilu milik Jeno.
“Eh, itu ... aku ....”
Brak! Suara keras bantingan pintu mobil menyadarkan Jaemin bahwa Jeno sudah keluar dari mobil dan melangkah masuk rumah, meninggalkan dirinya.
Dalam hati Jaemin berdecak kesal, merutuki kebodohannya, “Ah, Nana bodoh! Seharusnya aku nggak natap Jeno sedalam itu!”
Sementara itu, Jeno sudah melangkah lebar masuk ke dalam rumahnya, setiap langkahnya yang tegas seakan ingin meremukkan paving stone dengan api kekesalan bercampur kemarahan.
Hingga di ruang tamu, langkahnya terhenti melihat buket bunga mawar yang masih teronggok di meja.
“Apa ini paket yang dimaksud Jaemin tadi?” batinnya, langkahnya mendekat badannya sedikit membungkuk mengambil buket bunga mawar merah itu di meja.
Indra penciuman Jeno terlihat menarik napas dan menghirup harum bunga mawar itu dalam-dalam, meresapi setiap harum mawar merah yang menyapa lembut indra penciuman.
“Wangi banget, tapi dari siapa?” gumam Jeno ia membolak-balik buket bunga itu berharap ada sebuah pesan singkat yang tertinggal di sana.
Mata indah Jeno menangkap sebuah eksistensi kertas yang terselip di antara bunga-bunga yang indah itu.
“You know what? Kamu itu seperti setangkai bunga mawar, indah tapi penuh duri luka. Dan aku ingin menjadi sang pemetik pertama, yang akan menjaga, serta merawat lukamu, agar rasa sakit tidak akan lagi menjadi musuhmu, tetapi menjadi sahabatmu yang tumbuh dan mekar bersama menciptakan keindahan bagi orang-orang yang mampu membaca keindahan dirimu, Honey. Have A nice day for you.”
Your secret admirer
“Siapa ya pengirimnya, nggak mungkin Soobin, kan? Atau Hyunjin? Ah, nggak-nggak. Kaga mungkin kalau mereka, mah. Sengklek begitu mana mungkin dia kirim pesan manis nan puitis begini?” monolog Jeno.
Dari arah pintu belakang Jaemin masuk serta memandang Jeno dengan tatapan tidak suka.
“Nggak jadi dibuang, No, buketnya?” tanya Jaemin.
“Nggak deh. Sayang banget kalau dibuang, ini bunga bagus banget, harum lagi,” jawab Jeno dengan senyuman mengembang seindah matahari.
Jeno masuk dan mengurus bunga mawar itu meninggalkan Jaemin yang memandang dengan mata setajam belati miliknya. Tangannya bergetar samar, akibat darah yang mendidih karena kemarahan yang berkumpul membentuk sebuah koloni dalam dirinya.
Sementara itu, di tempat yang penuh dengan lautan kertas, senyuman penuh kemenangan terbit di wajah dingin nan tampan milik Mark.
“I know, i'm win, Baby,” monolognya, “it’s time for my masterpiece to begin.”
Pemuda itu berjalan mematut dirinya di cermin, ia melihat bagaimana Jeno menerima dan menyukai bunga mawar merah pemberiannya dari matanya yang lain.
Ia bisa melihat bayangan kemarahan Jaemin di bawah bayang-bayang kemenangannya dari balik cermin.
Dan pada akhirnya sang mawar berdiri kembali menemani sang putri seakan mengisyaratkan bahwa sang putri pujaan telah memiliki pemilik hati.