Jaemin terasa melayang di dalam kolam keheningan. Mulutnya terkatup tanpa kata, tetapi pikirannya dipenuhi keramaian penuh tanda tanya.
Ia melihat buket bunga mawar merah yang besar nan indah, teronggok di meja matanya memandang lembut buket bunga itu, tetapi belati tajam seolah keluar dari matanya.
“Bunga ini dari siapa ... kenapa harus mawar merah? ... apa Nono punya seseorang, kok Nana nggak tahu?” monolognya.
Jam dinding bergerak tanpa kompromi seolah tak acuh dengan keingintahuan Jaemin. Dinding-dinding rumah di ruang tamu yang menjadi saksi bisu seolah mentertawakan dirinya dan mengolok-olok dia.
Setitik perasaan yang tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata muncul dalam hati Jaemin, menciptakan rasa tidak nyaman dalam hatinya. Jaemin membuang napas kasar, bertemankan kesunyian.
Hari ini ia memutuskan untuk cuti, lantaran sang sepupu sedang dalam kondisi tidak baik, dan ini sudah hari ketiganya.
Jarum-jarum pening yang tajam seolah menyerang kepalanya tanpa berperasaan. Ia harus butuh pengalihan.
Secangkir kopi pahit yang ia minta pada asisten rumah tangga telah tersaji di meja. Bunyi dentingan piring kecil yang beradu dengan cangkir menjadi melodi pemecah kesunyian saat Jaemin mengangkat cangkirnya.
Ia menyeruput sedikit kopi hitam itu, rasa pahit, namun melegakan menyeruak di dalam mulutnya, menyapa dengan lembut indra pengecapnya. Rasanya seperti sebuah ekstasi bagi Jaemin.
Perlahan pikirannya menjadi rileks, waktu seolah berperan bagai sebuah plester luka sesaat untuk rasa pening yang melukai kepala pemuda serupa kelinci itu.
Sementara itu di tempat lain, Jeno yang tengah berada di rumah Yoshi dengan segenggam botol pewarna merah di tangannya, memandang Yoshi dengan pandangan tak minat.
“Lu pikir gue apaan, jadi korban rudapaksa, asu. Gue cuma demam, goblok!” umpat Jeno dengan nada yang tidak ada kesan ramah sama sekali.
Suara mesin pendingin yang berdengung seolah mentertawakan kekesalan Jeno pada sang tuan pemilik rumah minimalis itu.
“Ya, kan gue nggak tahu. Gue juga bukan paranormal ya, Anjing!” balas Yoshi sembari terkekeh tanpa dosa. Tangannya sibuk meraih gelas berisi jus mangga miliknya, lumayan hadiah pemberian dari tetangga, katanya.
Yoshi, pemuda itu menatap Jeno dari balik gelasnya. Temannya itu sungguh seperti zombie. Tidak sakit saja kulitnya sudah putih pucat, apalagi sakit?
“Jen, lu ke sini sama siapa? Tadi diantar, kah sama si kelinci?” tanya Yoshi.
“Kaga, gue ke sini sendirian,” jawab Jeno, tangannya sambil memainkan pewarna merah dari Yoshi—menatapnya dengan intens seolah jika dialihkan pandangannya barang sedikit saja, benda itu akan menghilang.
“Pinter, gini dong. Gue demen, nih kalau punya temen begini, gobloknya terlalu murni, semurni susu sapi,” sindir Yoshi.
Jeno memandang temannya sinis. Tanpa banyak kata, Yoshi mengambil ponsel Jeno yang tergeletak di meja, bermaksud menghubungi Jaemin.
Dering pertama, langsung dijawab.
“Halo, Jen?” sapa Jaemin diseberang telepon.
“Eh, Kelinci jemput sepupu lu di alamat perumahan diamond Jalan Harta Karun no. 3. Lu tuh gimana sih, udah tahu sepupu lu sakit. Malah nggak peka nolongin dia minimal antar ke rumah gue, kek! Saudara lu hampir sakratulmaut di rumah gue, anjir!” marah Yoshi.
“Eh, iya gue ke sana, makasih udah kasih tahu keadaan Jeno,” balas Jaemin. Ia menutup sambungannya.
“Kenapa lu telepon dia, tolol?!” marah Jeno.
“Simpel, gue cuma nggak pengen lu mati aja di rumah gue. Kalau mau mati, ya di rumah lu sendiri, dong. Jangan numpang rumah orang,” jawab Yoshi dengan cengiran khasnya.
“Babi!” umpat Jeno.
Waktu seperti berlari, tanpa terasa Jaemin sudah datang dengan taksi ke rumah Yoshi.
“Datang juga lu. Bawa pulang saudara lu sono! Gue khawatir dia sakit kolera,” Yoshi menyuruh Jaemin membawa Jeno pulang.
Jaemin mengangguk sembari memapah Jeno untuk masuk ke dalam mobil Jeno, kemudian berpamitan pada Yoshi.
Dalam keheningan di dalam mobil, Jaemin berdeham sebentar memancing atensi Jeno untuk menoleh ke arahnya.
“Jen, tadi ada paket buat kamu ....”
Jeno menaikkan satu alisnya. “Paket apaan?” tanyanya.
“Buket bunga mawar merah,” jawab Jaemin.
Jeno terdiam sebentar, pikirannya bertanya-tanya, “Dari siapa?”
Jaemin hanya mengangkat sebelah bahunya. “Tadi, nggak ada pengirimnya, Jen,” jawab Jaemin.
“Buang. Udah tahu nggak ada pengirimnya ngapain lu terima?!” sentak Jeno kesal.
“Ya, itukan paket kamu, nanti aku dicap nggak sopan, Jen,” Jaemin menjawab.
Jeno hanya diam, pikirannya yang terlalu berkecamuk ditambah kondisi tubuhnya yang sedang tidak fit, membuat ia tidak bisa berpikir jernih. Ia menutup matanya, mengistirahatkan badannya yang terasa lemas seolah nyawanya hendak terlepas.
Diam-diam seringaian penuh kemenangan milik Jaemin terbit di wajahnya yang manis, tetapi dunia tahu, bahwa mawar itu belum mati dan seseorang tahu persis alasannya.