Bab I: Nyanyian Senja di Eldoria
Langit di atas Eldoria selalu memiliki warna yang sama di penghujung hari: campuran antara nila tua, jingga terbakar, dan sedikit sentuhan emas yang rapuh, seolah-olah matahari enggan meninggalkan lembah itu. Di tengah lembah, menjulanglah Menara Obsidian, sebuah struktur kuno yang permukaannya menghitam dan memantulkan cahaya senja bagai cermin raksasa.
Di kaki menara, terbentang kota Eldoria yang tenang. Jalanannya terbuat dari batu sungai yang dipoles, dan rumah-rumahnya beratap genteng merah kecoklatan, diselimuti aroma hangat roti gandum dan herba kering.
Di salah satu rumah kecil di pinggiran kota, tinggallah Elara.
Elara bukanlah penduduk Eldoria pada umumnya. Ia tidak memiliki pipi merah merona khas petani lembah, juga tidak memiliki mata cokelat seperti kebanyakan pedagang. Matanya adalah anomali—biru keperakan, hampir transparan, dan selalu tampak menatap jauh ke luar batas cakrawala. Rambutnya, yang berwarna seperti perak yang dilebur, diikat longgar di belakang.
Malam itu, Elara sedang duduk di ambang jendela kamarnya, membersihkan sebuah artefak yang ia temukan dua hari lalu di reruntuhan kuil kuno di pinggiran Hutan Lumina: sebuah kepingan logam bundar seukuran telapak tangan, yang permukaannya dihiasi ukiran rumit berbentuk spiral yang berakhir pada simbol mata.
"Simbol Matahari Tua," gumamnya pelan, mengusap debu kuno dari permukaan logam itu dengan kain beludru lembut.
Tiba-tiba, kepingan logam itu terasa panas di tangannya. Ia terkejut, menjatuhkannya ke lantai kayu. Ketika kepingan itu berbenturan, bukannya bunyi klang yang keras, yang terdengar adalah bunyi lonceng yang dalam dan berdengung.
Bersamaan dengan bunyi itu, ukiran mata di permukaannya berpendar sesaat dengan cahaya hijau zamrud yang menusuk. Dalam sekejap, Elara merasakan sensasi dingin menjalar di punggungnya, seolah-olah ia baru saja melangkah ke dalam air es.
Sebuah suara asing, lembut namun bergaung, menyentuh tepi kesadarannya. Itu bukan suara yang didengar telinga, melainkan suara yang dirasakan jiwa.
“...Dia bangun. Penjaga… gerbang… terbuka…”
Elara mencengkeram dadanya. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul tulang rusuknya. Ia tahu itu gila, tapi suara itu terasa nyata—seperti bisikan kuno yang telah tidur ribuan tahun.
Di luar jendela, suasana Eldoria yang damai tiba-tiba terenggut.
Cahaya nila dan jingga senja menghilang, digantikan oleh warna merah yang mengganggu—merah darah, merah lava. Dari puncak Menara Obsidian, yang tadinya hanya diam, kini memancar kolom cahaya ungu pekat yang menembus langit malam.
Di sekeliling kolom cahaya itu, awan hitam mulai berkumpul dengan kecepatan yang mengkhawatirkan, bukan awan badai biasa, melainkan massa gelap yang berputar-putar, diselingi kilatan energi yang berdenyut-denyut.
Warga Eldoria mulai berteriak. Kepanikan menyebar bagai api.
Elara segera bangkit. Ia tidak merasakan ketakutan, melainkan sebuah dorongan kuat, tak tertahankan, yang menariknya ke Menara Obsidian. Ia merasakan kepingan logam di lantai beresonansi dengan denyutan energi dari menara.
"Itu dia," bisiknya, mengambil kembali artefak itu. "Gerbang itu..."
Tiba-tiba, pintu kamarnya didobrak terbuka. Berdiri di ambang pintu adalah Kaiden, pemuda tukang pandai besi dari alun-alun, sahabat terbaik Elara sejak kecil. Ia bertubuh kekar, dengan jubah kulit yang lusuh dan pedang tumpul di tangan. Wajahnya pucat pasi.
"Elara! Kau harus pergi! Mereka... mereka datang!" serunya, suaranya dipenuhi ketakutan.
"Siapa, Kaiden? Apa yang datang?" tanya Elara, melangkah mundur ke bayangan.
"Makhluk dari malam! Tidak, bukan makhluk... bayangan! Mereka keluar dari Menara! Penyihir kerajaan mengatakan... 'Keretakan telah terbuka!'"
Saat Kaiden mengucapkan kata-kata itu, suara gemuruh besar terdengar dari pusat kota, diikuti oleh jeritan yang memilukan. Kolom cahaya ungu di Menara Obsidian berdenyut sekali lagi, lebih terang, dan kali ini, dari dalamnya, tampak siluet-siluet yang tidak mungkin—tinggi, kurus, dengan anggota badan yang terlalu panjang dan mata yang bersinar kuning mematikan.
Mereka bukan manusia. Mereka adalah sesuatu yang telah lama diceritakan dalam lagu pengantar tidur, tapi tidak pernah dipercaya keberadaannya: Makhluk dari Ruang Antara, atau yang dikenal dalam mitos sebagai Aetherial.
"Aku harus pergi ke sana," kata Elara tegas, menggenggam erat kepingan logam yang kini berdenyut pelan dalam ritme yang stabil.
Kaiden menatapnya, tidak percaya. "Kau gila! Itu tempat kematian! Kita harus lari ke perbukitan, Elara! Ikut aku!"
Elara menatap matanya yang memohon. Ia tahu Kaiden benar. Melarikan diri adalah satu-satunya pilihan rasional. Tetapi dorongan yang ada di dalam dirinya lebih kuat daripada naluri bertahan hidup. Kepingan logam itu memanggilnya, dan ia percaya, entah bagaimana, ia terhubung dengan kekacauan yang baru saja dimulai.
"Tidak, Kaiden," jawabnya, suaranya setenang air danau yang beku. "Jika 'Keretakan' telah terbuka, maka seseorang harus menutupnya. Dan entah mengapa... aku pikir ini harus menjadi tugasku."
Sebelum Kaiden sempat bereaksi, Elara melompat keluar dari jendela, mendarat di atas jerami di gudang di bawah. Ia tidak menunggu, langsung berlari menembus kegelapan dan kepanikan, menuju Menara Obsidian yang kini menjadi mercusuar malapetaka.
Bab II : Jalan Menuju Keretakan
Elara berlari melintasi Eldoria yang kini porak-poranda. Makhluk-makhluk Aetherial—mereka menyerupai bayangan yang dibungkus kabut hitam dengan mata kuning—bergerak cepat dan tanpa suara, meneror warga. Elara melihat Kaiden di kejauhan, dengan berani melindungi sekelompok anak-anak, mengacungkan pedangnya yang tumpul sebagai perisai.
Saat Elara mendekati Menara Obsidian, ia dihadang oleh Aetherial pertama. Makhluk itu melompat dari atap rumah, mengeluarkan suara desisan seperti pasir panas. Insting Elara mengambil alih. Ia mengangkat kepingan logam bundar—Simbol Matahari Tua—sebagai pertahanan.
Begitu Simbol itu diarahkan, ia memancarkan gelombang kejut energi hijau yang tiba-tiba. Aetherial itu menjerit, tubuhnya bergidik, dan ia mundur, seolah-olah logam itu adalah racun baginya.
Elara menyadari: artefak ini bukan sekadar peninggalan. Itu adalah kunci, atau mungkin penangkal.
Ia melanjutkan perjalanannya, memanfaatkan Simbol itu untuk mengusir makhluk-makhluk yang menghalangi. Di gerbang Menara Obsidian, ia bertemu dengan seseorang yang tak terduga: Vesper, Penyihir kerajaan yang tua dan bijak, yang disebut-sebut Kaiden.
Vesper, meski terlihat kelelahan, memegang tongkatnya yang bercahaya biru redup. "Kau, gadis dengan mata perak," suara Vesper serak. "Aku tahu kau akan datang. Kau adalah Penjaga yang diramalkan."
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Elara, napasnya tersengal-sengal. "Apa itu 'Keretakan'?"
"Keretakan adalah retakan antara dunia kita dan Kosmos Gelap," jelas Vesper cepat. "Menara Obsidian adalah Gerbang Kuno, yang disegel dengan sihir leluhur Eldoria. Seseorang—atau sesuatu—telah menghancurkan segel itu. Keretakan akan menarik seluruh dunia kita ke dalam kehampaan jika tidak ditutup."
"Aku harus menutupnya," kata Elara, menunjukkan Simbol Matahari Tua. "Artefak ini bereaksi terhadap Menara."
Vesper mengangguk sedih. "Itu adalah Kunci Penjaga. Itu milik leluhurmu, Elara. Kau adalah keturunan terakhir mereka yang bertugas menjaga Gerbang. Tapi Kunci saja tidak cukup. Untuk menutupnya, kau harus mengaktifkan Simbol Bintang di puncak Menara, lalu menyerap energi Keretakan ke dalam dirimu, menyegelnya dari dalam."
"Menyerapnya?" Elara terkesiap. "Apakah itu tidak akan membunuhku?"
"Mungkin," jawab Vesper dengan jujur. "Tapi itulah takdir seorang Penjaga."
Tiba-tiba, Menara bergetar hebat. Dari puncaknya, muncul Penguasa Aetherial—makhluk yang lebih besar dan lebih padat daripada yang lain, dengan tanduk melengkung dan sepasang sayap kabut.
"Pergilah!" teriak Vesper, memancarkan gelombang energi biru dari tongkatnya, menahan Penguasa itu sejenak. "Aku akan menahan mereka sebentar. Waktu kita habis! Naiklah ke puncak!"
Elara tidak punya pilihan. Ia menghirup napas dalam-dalam, mengangguk, dan melesat memasuki lorong gelap Menara Obsidian.
Bab III : Ujian di Puncak
Pendakian Elara adalah neraka. Tangga spiral di Menara terasa tak berujung dan dipenuhi Anomali Temporal—ilusi masa lalu dan masa depan yang menyesatkan pikiran. Ia harus melawan bayangan ketakutannya sendiri, tetapi Simbol Matahari Tua memberinya fokus.
Di tengah perjalanan, ia menemukan sebuah tablet batu kuno. Tablet itu mengungkapkan rahasia leluhurnya: Penjaga pertama, yang juga memiliki mata perak, menyegel Gerbang dengan mengorbankan jiwanya, memisahkan dirinya menjadi dua: raga yang mati dan esensi yang terwariskan, yang kini hidup dalam diri Elara.
Ini menjelaskan mata peraknya dan dorongan tak terjelaskan yang ia rasakan.
Akhirnya, Elara mencapai puncak. Di sana, tidak ada atap, hanya ruang terbuka yang menampakkan langit yang berputar-putar. Di tengah ruangan, bergetar sebuah celah yang menyerupai lubang hitam kecil—Keretakan. Dari Keretakan itu, mengalir energi ungu pekat yang dingin.
Tepat di tepi Keretakan, berdiri Rexus, seorang archanist (penyihir tingkat tinggi) yang dihormati di Eldoria. Wajahnya yang biasanya ramah kini bengis, matanya memancarkan kegilaan.
"Kau terlambat, Gadis Kecil," desis Rexus. "Aku telah menunggu seribu tahun untuk membebaskan Tuan-Tuan Kosmos Gelap! Eldoria adalah kunci untuk membuka gerbang ke dunia mereka!"
"Kaulah yang menghancurkan segelnya?" tanya Elara terkejut.
"Ya! Kekuatan Eldoria terlalu terbatas, terlalu damai! Aku mencari kekuatan tak terbatas! Dan Tuan-Tuan menjanjikannya kepadaku!"
Rexus ternyata adalah pengkhianat, didorong oleh ambisi dan janji kekuatan kosmik. Ia melemparkan bola api ungu pekat ke arah Elara.
Pertarungan pun pecah. Rexus menggunakan sihir gelap yang kuat dari Keretakan, sementara Elara hanya mengandalkan refleks, Simbol Matahari Tua, dan naluri warisan Penjaga. Simbol itu memancarkan kilatan energi hijau setiap kali Rexus menyerang.
Elara teringat ucapan Vesper: Simbol Bintang harus diaktifkan. Ia melihat ukiran spiral raksasa di lantai batu di belakang Rexus—itu adalah Simbol Bintang.
Dengan manuver berbahaya, Elara berlari ke Simbol Bintang, menghindari mantra Rexus. Ia meletakkan Simbol Matahari Tua di tengah ukiran spiral. Kedua artefak itu saling beresonansi.
Cahaya putih terang menyelimuti puncak Menara. Simbol Bintang di lantai meledak dengan energi kuno.
Rexus menjerit, kekuatannya melemah. "Tidak! Segelnya kembali—"
Saat Rexus teralihkan, Elara bergerak cepat. Ia menggunakan semua kekuatan fisik dan spiritualnya, mendorong Rexus ke arah Keretakan. Rexus melawan, tetapi energi yang dilepaskan Simbol Bintang menghabisinya. Dengan lolongan kesakitan, ia tersedot ke dalam lubang hitam ungu itu.
Bab IV: Pengorbanan Penjaga
Keretakan, kini diperkuat oleh energi yang dilepaskan Simbol Bintang, mulai tumbuh. Ia membesar dengan cepat, mengancam untuk menelan seluruh Menara.
Elara berdiri di hadapan lubang kosmik yang menderu. Ia mengambil kembali Simbol Matahari Tua. Saat ia memegangnya, suara Vesper terngiang di telinganya: "Kau harus menyerap energi Keretakan, menyegelnya dari dalam."
Ini adalah takdirnya.
Di bawah, dari celah di lantai, ia mendengar suara teriakan Kaiden, yang berhasil mencapai bagian bawah Menara dan kini berjuang melawan sisa-sisa Aetherial. Elara tersenyum pahit. Ia tidak akan pernah melihat senja Eldoria lagi.
Elara melangkah maju, mendekati Keretakan. Cahaya perak dari matanya semakin intens, bersaing dengan cahaya ungu Keretakan.
"Aku adalah Penjaga Gerbang Bintang," bisiknya, mengulangi sumpah kuno yang tiba-tiba ia ketahui.
Dengan Simbol Matahari Tua yang memancarkan cahaya hijau terakhir, Elara melompat langsung ke dalam Keretakan.
Begitu ia masuk, tubuhnya diselimuti oleh rasa sakit dan ekstasi yang luar biasa. Energi kosmik ungu menyerbu setiap selnya. Ia berjuang, menggunakan Simbol Matahari Tua—yang kini menjadi fokus kekuatannya—untuk menarik dan mengompres energi Keretakan.
Ia tidak menutupnya dari luar; ia menutupnya dari dalam dirinya sendiri.
Ketika energi ungu terakhir Keretakan terserap, lubang hitam itu mulai menyusut. Dinding-dindingnya menyatu, menjadi garis tipis cahaya, dan kemudian... menghilang sama sekali.
Puncak Menara Obsidian kini sunyi. Kolom cahaya ungu yang menembus langit telah padam.
Epilog: Cahaya Perak di Lembah
Tiga hari kemudian.
Langit di atas Eldoria kembali pada warna nila tua dan jingga terbakar yang familiar. Kota itu rusak, tetapi warganya selamat. Para Aetherial, tanpa sumber energi dari Keretakan, hancur menjadi debu hitam. Vesper, yang terluka parah, berhasil diselamatkan.
Menara Obsidian berdiri kokoh, tetapi di puncaknya, semua orang tahu ada kekosongan.
Kaiden berdiri di lapangan Eldoria, matanya merah karena kurang tidur. Ia memandang langit, di mana bintang-bintang mulai tampak.
Vesper datang menghampirinya, bersandar pada tongkatnya. "Dia melakukannya, Kaiden. Dia menyelamatkan kita."
"Dengan mengorbankan dirinya," kata Kaiden, suaranya tercekat.
"Tidak sepenuhnya," jawab Vesper, menunjuk ke Menara. "Dia menyegel Keretakan di dalam dirinya. Itu berarti, jiwanya kini menjadi segel itu. Dia ada di sana, di antara bintang-bintang, menjaga pintu."
Vesper menyerahkan Kaiden sepotong perak kecil berbentuk mata, yang ditemukan di puncak Menara. Itu adalah pecahan dari Simbol Matahari Tua.
"Dia tahu kau akan mencarinya. Dia memintaku menyampaikan ini: 'Senja Eldoria akan selalu aman di bawah mataku.'"
Kaiden menerima kepingan itu, air matanya menetes. Ia tahu, meskipun Elara sudah tiada, ia tidak benar-benar pergi.
Sejak hari itu, setiap malam, ketika warga Eldoria menatap ke langit malam, mereka melihat satu bintang yang bersinar sedikit lebih terang dari yang lain, tepat di atas Menara Obsidian. Ia memiliki cahaya biru perak yang khas, tidak seperti bintang-bintang di sekitarnya.
Kaiden, yang menjadi pengrajin utama dalam membangun kembali Eldoria, sesekali akan melihat ke bintang itu. Ia tidak lagi melihatnya sebagai tanda duka, tetapi sebagai jaminan.
Elara, gadis dengan mata perak, kini telah menjadi Bintang Penjaga yang kekal. Ia tidak lagi berjalan di lembah, tetapi jiwanya telah menjadi selubung pelindung bagi Eldoria, Gerbang yang disegel oleh pengorbanan terbesarnya, memastikan bahwa cahaya senja Eldoria akan terus bersinar abadi.