Hujan turun deras sejak bel pulang sekolah berbunyi. Langit kelabu seperti ikut merasakan lelah para siswa yang baru saja menyelesaikan ujian tengah semester. Di antara riuh suara rintik dan langkah tergesa, Nino berdiri sendirian di depan gerbang sekolah, memegang sebuah payung biru tua—payung yang selalu ia bawa ke mana pun saat musim hujan tiba.
Nino bukan tipe anak yang banyak bicara. Ia lebih senang mengamati dari jauh, mendengarkan musik lewat earphone murahan yang kabelnya sudah agak kusut, dan berjalan pulang dengan tenang. Tapi hari itu berbeda. Entah kenapa langkahnya enggan beranjak dari depan gerbang.
Angin membawa aroma tanah basah, samar-samar bercampur dengan wangi seragam basah siswa lain. Semua orang tampak terburu-buru—ingin cepat sampai rumah, ingin segera menghindari dinginnya air hujan. Tapi Nino justru berdiri diam. Seperti ada sesuatu yang ia tunggu.
“Payung kamu besar juga, ya.”
Sebuah suara lembut membuat Nino menoleh cepat. Seorang gadis berdiri di sampingnya—rambutnya tergerai basah, beberapa helai menempel di pipi. Seragam putih-abu-nya sudah sedikit basah karena gerimis yang menembus atap depan gerbang.
Nino sempat terpaku. Gadis itu… cantik. Bukan cantik seperti bintang film, tapi punya aura hangat dan tenang. Lesung pipinya muncul saat ia tersenyum.
“Aku… Aira.” Gadis itu mengulurkan tangan pelan.
“N… Nino,” jawabnya kaku, menyambut uluran tangan itu dengan gugup.
Aira terkekeh kecil. “Maaf ya ganggu. Aku gak bawa payung. Bisa nebeng sampai halte depan gak?”
Deg. Jantung Nino berdetak cepat. Ia sama sekali tidak menyangka gadis sekelas Aira—yang biasanya dikelilingi teman-teman dan selalu ceria—akan bicara padanya, apalagi minta nebeng payung.
“Tentu… ayo,” jawab Nino akhirnya. Suaranya sedikit serak, tapi cukup jelas untuk terdengar di tengah rintik hujan.
Mereka berjalan berdampingan di bawah satu payung biru. Jaraknya dekat sekali—saking dekatnya, Nino bisa mencium wangi sampo dari rambut Aira yang basah. Sesekali pundak mereka saling bersentuhan, membuat Nino refleks menegakkan badan dan menggeser payung sedikit ke arah gadis itu, agar Aira tidak kehujanan.
“Kamu sering bawa payung ya?” tanya Aira sambil menatap ke depan.
“Iya. Aku suka hujan.”
“Suka hujan?” Aira meliriknya heran. “Kebanyakan orang sebel kalau kehujanan.”
Nino tersenyum kecil. “Hujan itu tenang. Kayak… semua orang bisa ngeluh tanpa ketahuan. Airnya nutupin suara tangis, nutupin suara hati. Aku suka suasananya.”
Aira terdiam sejenak. “Kamu puitis juga ya ternyata.”
Nino menggeleng cepat, pipinya memanas. “Enggak. Cuma… aku sering jalan sendiri waktu hujan. Jadi terbiasa mikir aneh-aneh.”
Aira tertawa pelan. Tawa yang jujur—bukan tawa basa-basi. “Lucu ya kamu. Padahal dari jauh keliatannya serius banget.”
Perjalanan dari gerbang sekolah ke halte sebenarnya hanya butuh lima menit, tapi bagi Nino, rasanya seperti lima detik. Suara hujan, langkah pelan mereka, dan senyum Aira membuat waktu terasa melambat.
Begitu sampai di halte, Aira berhenti dan menatapnya. “Makasih ya, Nino. Kamu baik banget.”
“Ah… gak apa-apa. Aku juga lewat sini kok.”
Aira tersenyum lagi, kali ini lebih hangat. “Mungkin mulai sekarang… aku bakal suka hujan juga.”
Nino hanya bisa membalas senyuman itu. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya terasa kaku. Gadis itu lalu naik ke angkot yang datang tepat waktu. Dari balik kaca jendela yang berembun, Aira melambai kecil.
Nino berdiri di bawah hujan yang kini mulai reda, menatap kepergian angkot itu. Payung biru masih terbuka di tangannya, tapi hatinya terasa seperti terbuka lebih lebar dari sebelumnya.
Ini pertama kalinya seseorang membuat hujan terasa lebih indah dari biasanya.
---
Sore itu, langit basah menjadi saksi awal dari sebuah cerita. Nino tidak tahu apa yang akan terjadi setelah hari itu. Tapi dalam hati kecilnya, ia tahu: perasaan hangat yang muncul saat mereka berbagi payung bukanlah perasaan biasa.
Hujan kembali turun keesokan harinya, seolah langit tahu ada cerita yang belum selesai antara dua anak SMA di ujung kota kecil itu. Langit kelabu menutup matahari, membuat suasana sekolah tampak seperti sore padahal baru pukul sepuluh pagi.
Di kelas XI-3, Nino duduk di pojokan seperti biasa. Ia menggambar sesuatu di buku tulisnya—entah coretan, entah perasaan. Sejak kemarin, pikirannya terus kembali ke satu momen: ketika Aira tersenyum di bawah payung biru.
“Mungkin mulai sekarang… aku bakal suka hujan juga.”
Kalimat itu berputar seperti lagu yang tak mau berhenti.
“Eh, Nino, ngelamun ya?” suara ceria menyentak lamunannya. Aira tiba-tiba sudah berdiri di samping mejanya, membawa buku pelajaran matematika dan senyum yang sama seperti kemarin—hangat, jujur, dan membuat jantung Nino berdebar tidak karuan.
“E… enggak. Cuma coret-coret aja,” jawab Nino buru-buru menutup bukunya.
Aira mencondongkan tubuhnya sedikit. “Boleh liat?”
“Jangan!” sahut Nino terlalu cepat, membuat Aira terkejut lalu tertawa pelan.
“Serius amat. Aku cuma pengin liat kok.”
“Enggak ada apa-apa,” gumamnya sambil menunduk. Di dalam buku itu, ada gambar dua orang berdiri di bawah payung biru.
Aira lalu duduk di kursi kosong di sampingnya. “Kamu bawa payung lagi hari ini?” tanyanya sambil melirik tas Nino.
“Iya,” jawabnya pendek.
“Boleh nebeng lagi?” Aira menatapnya dengan mata berbinar, seperti anak kecil yang minta permen.
Deg. Nino bisa merasakan pipinya panas. Ia mengangguk pelan, “Boleh.”
Bel istirahat berbunyi. Hujan masih turun, meski tidak sederas kemarin. Beberapa siswa keluar kelas untuk ke kantin, sebagian lainnya memilih tetap di dalam kelas. Aira, entah kenapa, tidak ke kantin seperti biasa. Ia duduk santai di samping meja Nino, sambil mengobrol ringan.
“Aku baru tahu kamu ternyata asik juga,” kata Aira sambil mengayunkan kakinya kecil-kecil.
“Asik?” Nino mengerutkan kening. “Kayaknya aku biasa aja deh.”
“Justru itu. Kamu beda dari cowok lain. Gak banyak gaya, gak sok keren.”
Nino terdiam. Ia bukan tipe orang yang pandai menerima pujian. Ia tidak tahu harus bilang apa.
Aira tersenyum kecil melihatnya gugup. “Kamu lucu kalau bingung.”
Nino semakin salah tingkah. Dalam hati, ia hanya bisa memohon agar detik-detik ini tidak cepat berlalu. Ia tidak pernah menyangka akan duduk berdua dengan Aira—gadis yang selama ini hanya ia pandangi dari jauh—dan mengobrol seperti ini.
---
Sore hari tiba. Hujan belum juga berhenti.
Gerbang sekolah kembali ramai oleh siswa yang terburu-buru pulang. Nino berdiri di tempat yang sama seperti kemarin, dengan payung birunya. Tapi kali ini, ia tidak sendiri terlalu lama.
“Udah siap?” suara Aira terdengar di belakangnya. Ia mengenakan jaket abu muda, dengan rambut yang mulai basah karena gerimis.
“Iya,” jawab Nino singkat, mencoba menyembunyikan gugupnya.
Mereka berjalan berdua lagi, kali ini langkahnya lebih santai. Nino tidak sekaku kemarin. Aira pun lebih banyak bercerita. Tentang hobinya memotret langit, tentang cita-citanya kuliah di luar kota, dan tentang kenangan kecil bersama almarhum ayahnya—orang yang mengajarinya tersenyum saat hujan turun.
“Makanya aku suka langit mendung,” katanya pelan. “Karena waktu kecil, ayah suka bilang, langit mendung bukan sedih… cuma rindu.”
Nino menatapnya dari samping. Di balik wajah ceria itu, ada cerita yang dalam. Ia ingin tahu lebih banyak, tapi tidak ingin memaksanya.
“Kalau kamu,” Aira balik bertanya, “kenapa suka hujan?”
Nino menghela napas pelan. “Karena waktu hujan… semuanya terdengar lebih tenang. Dunia kayak berhenti bentar. Jadi aku bisa mikir.”
Aira tersenyum. “Kita mirip, ya.”
Hujan semakin deras. Nino menggeser payungnya lebih ke arah Aira. Bahunya mulai basah, tapi ia tidak peduli. Yang penting Aira tidak kehujanan.
“Baju kamu jadi basah,” kata Aira sambil mengernyit.
“Gak apa-apa,” jawab Nino ringan.
Aira terdiam sejenak, lalu menggenggam ujung payung, menariknya sedikit ke tengah. Kini payung itu benar-benar menaungi mereka berdua. Jaraknya semakin dekat. Nino bisa merasakan aroma wangi tubuh Aira, hangat meski hujan menusuk kulit.
“Kalau kayak gini, kamu gak kehujanan juga,” katanya pelan.
Deg. Deg. Deg.
Jantung Nino berdetak lebih cepat dari suara rintik hujan. Ia tak berani menatapnya terlalu lama. Tapi ia tahu… ini momen yang tidak akan ia lupakan.
Sesampainya di halte, Aira tidak langsung naik angkot seperti kemarin. Ia berdiri sejenak, menatap langit mendung dengan mata berbinar. “Kamu tahu, Nino?” katanya pelan. “Mungkin langit basah ini mulai jadi favoritku… karena kamu.”
Nino terdiam. Kata-kata itu begitu ringan, tapi jatuhnya terlalu dalam. Ia merasa dadanya sesak—bukan karena sakit, tapi karena bahagia yang terlalu besar untuk ditampung.
---
Malam itu, di kamarnya yang sederhana, Nino menatap payung biru yang masih basah tergantung di dinding. Setiap tetes air yang menetes dari ujungnya terasa seperti kenangan kecil dari sore tadi.
Untuk pertama kalinya, ia merasa hujan tidak lagi sendiri.
Karena kini, ada Aira di dalamnya.
---
Hari-hari berikutnya, hujan seperti menjadi bagian dari kisah mereka. Setiap kali langit menggelap, setiap kali gerimis mulai turun, Nino tahu… Aira pasti akan muncul dengan senyum hangatnya, berdiri di dekat gerbang, dan berkata dengan nada ringan:
> “Boleh nebeng payung lagi, ya?”
Dan setiap kali itu terjadi, Nino tidak pernah menolak—karena sebenarnya, ia selalu menunggu momen itu.
Pagi itu, sekolah terasa sepi. Awan kelabu menggantung berat, angin berhembus pelan tapi dingin. Upacara bendera dibatalkan karena gerimis mulai turun sejak subuh. Lapangan sekolah yang biasanya ramai kini hanya digenangi air tipis, memantulkan langit abu-abu seperti cermin retak.
Jam pelajaran pertama baru saja selesai saat suara ketukan pelan terdengar di meja Nino. Aira berdiri di sana, membawa dua gelas kopi susu instan dari kantin.
“Pagi, hujan,” katanya sambil menyerahkan satu gelas padanya.
“Hujan?” Nino mengerutkan dahi.
“Ya, mulai sekarang aku panggil kamu ‘Hujan’. Soalnya setiap aku lihat hujan, yang pertama aku ingat… ya kamu.”
Nino tersedak kecil sebelum sempat meneguk kopi. Aira tertawa lepas, sementara wajah Nino memerah sampai ke telinga.
“Lucu banget reaksi kamu,” katanya sambil duduk di kursi sebelah.
“Nama panggilan aneh,” gumam Nino, tapi dalam hatinya, ia menyimpan panggilan itu seperti rahasia kecil yang manis.
---
Siang menjelang. Hujan semakin deras. Jam istirahat kedua, sebagian siswa memilih tetap di kelas, tapi Aira mengajak Nino keluar sebentar.
“Yuk, ke lapangan belakang,” ajaknya.
“Lagi hujan, Ra.”
“Justru itu. Aku suka liat lapangan waktu hujan.”
Nino akhirnya mengalah. Mereka berdua keluar lewat koridor panjang yang sepi. Hanya suara hujan yang menari di atap seng dan daun pohon yang basah. Lapangan belakang terlihat sunyi, hanya ada genangan air yang memantulkan bentuk pohon beringin besar di tengahnya.
Aira berdiri di bawah atap kecil samping lapangan, menatap air hujan jatuh dengan mata berbinar. “Dulu waktu kecil, ayah sering ajak aku lari di lapangan waktu hujan kayak gini. Katanya, hujan itu bukan musuh. Hujan itu pelukan langit.”
Nino menatapnya dari samping. Aira terlihat berbeda saat berbicara tentang ayahnya—lebih tenang, tapi juga ada sedikit kesedihan yang samar di matanya.
“Sekarang… kalau hujan turun, aku selalu ngerasa ayah masih di sini,” lanjut Aira pelan. “Cuma, pelukan itu sekarang datang lewat rintik.”
Nino ingin berkata sesuatu, tapi sebelum sempat, Aira tiba-tiba melangkah ke tengah lapangan—ke dalam hujan.
“Ra!” panggil Nino.
Aira tertawa sambil membuka tangannya lebar-lebar, membiarkan air membasahi seragamnya. “Coba deh, Hujaan… rasain. Dingin, tapi hangat. Kayak… rindu yang gak bisa dijelasin.”
Deg. Nino tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Gadis itu… terlihat begitu hidup saat hujan. Bukan sekadar cantik—tapi seperti bagian dari langit itu sendiri.
Tanpa sadar, Nino ikut melangkah ke tengah lapangan. Hujan membasahi rambutnya, pundaknya, hingga seragamnya mulai berat. Aira menatapnya, lalu tersenyum.
“Lihat? Gak dingin, kan?” katanya pelan.
“Dingin,” jawab Nino jujur. “Tapi… aku gak keberatan.”
Mereka berdiri di tengah lapangan yang kosong, hanya berdua. Hujan menjadi saksi diam dari dua hati muda yang perlahan saling mendekat. Tidak ada kata-kata rumit. Hanya suara rintik dan tatapan yang lebih dalam dari biasanya.
Beberapa helai rambut Aira menempel di pipinya. Nino, dengan gugup tapi lembut, menyibakkannya ke samping. Aira tidak mundur. Ia hanya menatapnya lebih lama. Dunia seperti berhenti sesaat.
---
Tiba-tiba, petir menyambar jauh di langit. Mereka berdua tersadar dari momen itu dan tertawa pelan.
“Ayo balik sebelum kita disemprot guru,” kata Aira sambil menarik pergelangan tangan Nino. Sentuhan itu singkat, tapi cukup untuk membuat jantung Nino kembali berpacu.
Mereka kembali ke koridor basah, menahan tawa kecil seperti dua orang yang baru saja menyimpan rahasia bersama.
“Kalau hujan turun lagi…” Aira menatapnya sambil menggigit bibir bawahnya pelan, “…temani aku ke lapangan lagi, ya?”
Nino mengangguk pelan. “Iya.”
---
Malam harinya, Nino tidak bisa tidur. Bayangan lapangan basah, suara tawa Aira, dan sentuhan lembut di tengah hujan terus terulang di kepalanya. Ia menyadari sesuatu:
Perasaan itu bukan sekadar kekaguman lagi.
Ia jatuh cinta.
---
Keesokan paginya, hujan turun lagi. Saat Nino melangkah ke sekolah, ia menatap payung biru di tangannya dan tersenyum kecil.
Bukan lagi sekadar pelindung dari rintik hujan… payung itu kini terasa seperti saksi tumbuhnya perasaan pertamanya.
Dan di ujung gerbang sekolah, Aira sudah berdiri—dengan senyum yang membuat pagi yang kelabu jadi lebih terang.
---
Langit kembali muram pagi itu. Daun-daun di taman sekolah basah oleh hujan dini hari, dan udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Di koridor kelas XI-3, Nino bersandar di dinding sambil menatap rintik yang jatuh dari atap seng. Entah sejak kapan, hujan selalu membuatnya tenang… tapi kini, hujan juga membuatnya deg-degan.
> Karena setiap hujan turun… selalu ada Aira.
“Nunggu aku?” suara ceria yang ia kenal baik terdengar dari belakang.
Nino menoleh, dan benar saja—Aira berdiri sambil membawa dua roti isi yang dibungkus plastik. Rambutnya terurai, beberapa helai menempel karena udara lembap.
“Enggak nunggu,” jawab Nino pura-pura tenang.
“Bohong,” goda Aira sambil menyodorkan satu bungkus roti. “Nih, sarapan. Aku beli dua karena aku tahu kamu pasti belum makan.”
Nino menerima roti itu pelan. “Kok kamu tahu?”
“Karena kamu tiap pagi muka kamu sama. Lapar,” jawab Aira sambil tertawa kecil.
Mereka duduk berdua di bangku panjang dekat taman kecil di sisi gedung sekolah. Tidak banyak orang lewat karena gerimis, jadi suasana terasa sepi dan damai. Aira membuka rotinya, lalu menatap langit yang gelap dengan senyum tipis.
“Kamu sadar gak, Nin?” katanya pelan. “Akhir-akhir ini hujan turun terus. Tapi anehnya, aku gak sebel sama sekali.”
“Kenapa?”
“Karena… setiap hujan turun, aku selalu punya alasan buat nyari kamu.”
Deg.
Jantung Nino seperti dipukul pelan dari dalam. Ia memalingkan wajahnya cepat-cepat agar Aira tidak melihat pipinya yang memerah. Tapi Aira justru terkekeh. “Kamu tuh gampang banget gugup,” katanya sambil menyenggol lengannya pelan.
---
Hari-hari berjalan pelan tapi manis.
Mereka makin sering bersama. Duduk di taman saat gerimis, makan roti di kantin sambil tertawa kecil, berjalan pulang bareng di bawah payung biru, bahkan belajar bersama di perpustakaan.
Nino mulai mengenal Aira lebih dalam.
Aira ternyata suka memotret langit mendung. Ia punya kamera kecil peninggalan ayahnya. Setiap selesai hujan, ia akan mengajak Nino ke halaman belakang sekolah untuk memotret awan, daun basah, dan pantulan langit di genangan air.
“Lihat ini,” kata Aira sambil menunjukkan hasil fotonya. “Langit habis hujan itu kayak hati orang yang baru nangis. Bersih. Lega.”
Nino menatapnya, bukan ke arah foto.
Aira punya cara melihat dunia yang berbeda. Ia tidak hanya memandangi, tapi merasakan. Dan di situlah Nino semakin jatuh cinta—pelan, tapi pasti.
---
Suatu sore, hujan turun lebih deras dari biasanya. Gerbang sekolah sepi. Teman-teman mereka sudah pulang lebih dulu. Hanya Aira dan Nino yang masih berteduh di depan ruang UKS.
“Kayaknya hujannya lama,” kata Aira.
“Gak apa-apa,” jawab Nino. “Aku gak buru-buru pulang.”
Aira menatapnya lama, lalu tersenyum samar. “Kamu orang pertama yang bikin aku ngerasa hujan itu… bukan kesepian.”
Hening sesaat. Hujan turun makin deras. Suara rintiknya seperti selimut yang menyelimuti dunia mereka berdua.
“Ra,” ucap Nino tiba-tiba, pelan tapi jelas.
Aira menoleh. Tatapan matanya lembut, tapi juga tajam. Nino bisa merasakan jantungnya berdetak begitu kencang.
“Aku… senang bisa kenal kamu.”
Aira mengerjap, lalu tersenyum kecil. “Aku juga, Nin.”
“Enggak cuma senang…” lanjutnya dengan suara yang sedikit bergetar, “…tapi… rasanya… aku jadi pengin hujan turun selamanya.”
Aira terdiam. Pipinya sedikit merona. “Kalau hujan turun selamanya… kita bakal kebasahan terus.”
“Gak masalah,” jawab Nino cepat, “asal kamu ada di bawah payung biru ini.”
Aira menunduk sambil tersenyum malu—sesuatu yang jarang sekali ia lakukan. Biasanya, ia yang menggoda. Tapi kali ini… Nino berhasil membuatnya gugup.
---
Saat hujan mulai reda, Aira berdiri di samping Nino. Mereka berjalan pulang seperti biasa—satu payung, dua langkah yang menyatu dalam rintik yang pelan.
Angin sore membawa aroma tanah basah, tapi juga sesuatu yang lain: kehangatan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Sesampainya di halte, Aira tidak langsung naik. Ia berdiri di samping Nino, memandangi jalanan yang masih basah.
“Aku gak tahu kenapa,” katanya pelan. “Tapi… tiap bareng kamu, hujan gak pernah terasa panjang.”
Nino hanya bisa menatapnya—dan dalam tatapan itu, ada banyak hal yang ingin ia ucapkan… tapi belum punya keberanian.
Belum. Tapi sebentar lagi.
---
Malam itu, di kamar kecilnya, Nino menatap langit dari jendela. Hujan turun lagi. Tapi kini, setiap tetes air yang menetes di atap seperti menyebut satu nama: Aira.
Perasaan itu sudah tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dalam.
Sesuatu yang tidak lagi bisa disembunyikan terlalu lama.
Dan entah bagaimana… hujan seperti tahu.
Karena setiap kali rintik turun, Nino selalu merindukan satu orang.
---
Hari-hari yang awalnya terasa seperti dongeng mulai berubah pelan-pelan. Awalnya, semua masih sama: gerimis sore, payung biru, dan langkah kaki mereka yang beriringan pulang sekolah. Tapi belakangan, ada sesuatu yang pelan-pelan membuat Nino merasa… Aira mulai menjauh.
Bukan menjauh dalam arti tak bicara—Aira masih menyapanya setiap pagi. Masih tertawa kecil saat mereka duduk di taman sekolah. Tapi ada jeda di antara tatapan matanya. Ada senyum yang tak selebar biasanya. Ada hening yang tak pernah ada sebelumnya.
Pagi itu, gerimis turun tipis. Nino duduk sendirian di bangku taman tempat mereka biasa sarapan roti. Payung biru tergantung di sampingnya, masih kering. Biasanya, Aira sudah datang saat jam masuk hampir dimulai. Tapi pagi ini, sampai bel berbunyi… Aira tak muncul.
Hati Nino mengeras pelan. Ada perasaan aneh yang sulit dijelaskan.
---
Jam istirahat, ia mencarinya. Ke kelas Aira, ke taman belakang, bahkan ke koridor dekat ruang musik tempat mereka pernah berteduh. Tapi gadis itu tak ada di mana pun.
Sampai akhirnya, ia melihatnya.
Aira berdiri di depan gerbang sekolah bersama seorang pria dewasa—tampak seperti pamannya atau seseorang dari keluarganya. Wajahnya pucat. Mata Aira sedikit sembab, seperti habis menangis.
Nino tidak mendekat. Ia hanya melihat dari jauh, menatap punggung gadis itu yang entah kenapa terasa jauh sekali sore itu.
---
Hari-hari berikutnya Aira mulai sering tidak masuk sekolah. Kalau pun masuk, ia terlihat murung. Tidak lagi menunggu Nino di gerbang. Tidak lagi memanggil “Hujan” dengan suara cerianya.
Suatu sore, Nino memberanikan diri mendekatinya di taman belakang. Gerimis turun tipis. Aira duduk di bangku kayu sambil menatap langit mendung tanpa ekspresi.
“Ra…” suara Nino pelan, tapi cukup membuat Aira menoleh.
“Oh… Nin,” jawab Aira lemah, mencoba tersenyum tapi senyum itu tidak sama seperti biasanya.
“Kamu kenapa? Kamu… berubah,” kata Nino jujur. “Akhir-akhir ini kamu kayak orang lain.”
Aira terdiam. Lama.
“Aku cuma… cape,” jawabnya akhirnya.
“Cape kenapa?”
Aira menggigit bibir bawahnya. Tatapannya kosong. “Gak semua hal bisa dijelasin, Nin.”
“Tapi aku pengin tahu. Aku pengin ngerti kamu.”
Aira menghela napas panjang. “Kadang, ngerti aja gak cukup buat ubah keadaan.”
Hujan turun sedikit lebih deras. Payung biru terbuka, tapi jarak di antara mereka terasa seperti tidak ada payung yang cukup besar untuk meneduhinya.
---
Hari berikutnya, Aira tidak masuk lagi.
Dan keesokan harinya.
Dan hari berikutnya lagi.
Nino mulai gelisah. Ia mencoba menghubungi teman dekat Aira, tapi tak ada yang tahu pasti apa yang terjadi. Sampai akhirnya, satu kabar datang dari salah satu guru:
> “Aira mungkin akan pindah sekolah.”
Kalimat itu seperti petir yang menyambar di siang bolong. Dunia Nino tiba-tiba sunyi.
---
Tiga hari kemudian, saat hujan deras mengguyur kota kecil itu, Nino berlari keluar dari rumah. Payung biru di tangannya hampir terlipat oleh angin kencang, tapi ia tak peduli. Ia berlari ke satu tempat: lapangan belakang sekolah — tempat di mana semuanya bermula.
Dan di sanalah Aira. Berdiri di tengah hujan tanpa payung. Rambutnya basah, wajahnya sembab, dan matanya menatap kosong ke arah langit.
Nino mendekat dengan napas terengah. “Ra!”
Aira menoleh pelan. “Nin…”
“Aku cari kamu,” suaranya parau. “Kenapa kamu gak bilang apa-apa? Kenapa kamu ngilang kayak gini?”
Aira menunduk. “Aku gak tahu harus mulai dari mana.”
“Mulai aja dari kejujuran.”
Air mata Aira menyatu dengan air hujan. “Aku harus pindah, Nin. Ibuku sakit parah. Kami harus pindah ke kota besar buat pengobatan. Aku gak punya pilihan.”
Deg.
Dunia seperti berhenti sesaat. Suara hujan terdengar lebih keras dari biasanya.
“Aku gak pengin pergi,” lanjutnya dengan suara pecah. “Tapi aku juga gak bisa ninggalin Ibu. Aku udah kehilangan Ayah… aku gak mau kehilangan Ibu juga.”
Nino tidak tahu harus berkata apa. Ia ingin menahan gadis itu, ingin mengatakan bahwa ia tidak rela… tapi bagaimana caranya melawan kenyataan?
---
Dengan langkah pelan, ia mendekat. Payung biru yang sejak awal menemani mereka terbuka di atas kepala Aira.
Aira menangis semakin keras. “Aku benci hujan hari ini. Dulu hujan bikin aku tenang. Sekarang… hujan bikin aku takut.”
Nino menggeleng pelan. “Biar aku jadi orang yang bikin kamu tenang, bukan hujan.”
Aira mengangkat wajahnya. Mata mereka bertemu di tengah rintik air.
Tanpa berpikir panjang, Nino menariknya ke dalam pelukan. Aira tidak menolak. Tubuhnya bergetar dalam dekapan itu. Mereka berdiri di tengah hujan, hanya berdua, sambil menggenggam satu payung biru yang terlalu kecil untuk menahan derasnya air mata dan langit yang basah.
“Biar aku temani kamu sampai hari terakhir kamu di sini,” bisik Nino di telinganya.
Aira memejamkan mata. “Iya, Nin… temani aku, ya.”
---
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak awal mereka bertemu, hujan tidak terasa romantis. Hujan terasa berat… seperti langit pun ikut menangis.
Tapi di balik tangis itu… ada janji kecil yang diam-diam tumbuh di dada dua remaja.
Janji untuk tidak melupakan satu sama lain.
---
Langit sore itu kembali gelap. Awan hitam menggantung berat di atas sekolah, seperti mengulang hari pertama saat Aira dan Nino bertemu di bawah satu payung biru. Angin mulai membawa aroma tanah basah. Murid-murid panik, beberapa berlari ke parkiran, beberapa buru-buru menelpon ojek online. Tapi di tengah keramaian, Aira justru berdiri di depan kelas, menunggu seseorang.
Nino muncul dari balik lorong dengan langkah tergesa. Kaos dalamnya sedikit terlihat dari seragam yang tidak terlalu rapi. Payung biru itu tergantung di tangannya. Begitu melihat Aira, langkahnya melambat—bukan karena lelah, tapi karena jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Kamu nunggu aku?” tanya Nino agak gugup.
Aira mengangguk pelan. “Kayaknya hujan bentar lagi turun. Aku… pengin nebeng lagi.”
Hujan pun turun pelan—awalnya gerimis, lalu makin deras. Suara air yang menetes di atap seng terdengar seperti irama pelan yang romantis. Nino membuka payung biru mereka. Tanpa banyak kata, Aira melangkah mendekat, berdiri di sampingnya.
Mereka mulai berjalan pelan ke arah halte yang sama seperti dulu. Tapi kali ini, suasananya berbeda. Dulu, Nino gugup. Sekarang… dia masih gugup, tapi ada sedikit keberanian yang tumbuh di dalam hatinya. Aira juga tidak sekadar tersenyum—ia sering mencuri pandang ke arah Nino.
“Payung kamu… masih sama,” ucap Aira.
“Iya. Ini payung favoritku.”
“Lucu ya. Kayak simbol pertemanan kita.”
Nino menoleh cepat. “Teman?”
Aira tertawa pelan. “Ya, atau… mungkin lebih dari teman?”
Nino terdiam. Suara hujan mengisi keheningan. Aira menatap jalanan, pipinya sedikit memerah. “Maksudku… aku nyaman tiap sama kamu. Kayak hujan pun gak dingin.”
Jantung Nino berdetak kencang. Kata-kata itu membuat hatinya menghangat meski udara dingin menusuk kulit.
“Kalau gitu… boleh aku bilang sesuatu?” tanya Nino lirih.
Aira mengangguk tanpa menatapnya.
“Aku… senang banget waktu kamu pertama kali jalan bareng aku di bawah payung ini. Aku pikir itu cuma kebetulan. Tapi sekarang… aku mulai ngerasa, ini bukan sekadar hujan.”
Aira mendongak pelan. Mata mereka saling bertemu di bawah payung kecil itu. Dunia di sekitar seakan menghilang, hanya ada suara rintik hujan dan degupan jantung mereka.
“Nino…” bisik Aira.
“Aku janji…” lanjut Nino, “kalau hujan turun lagi, aku bakal selalu ada di samping kamu.”
Aira menunduk, tersenyum kecil—senyum yang lembut dan penuh arti. “Kalau gitu, aku gak akan bawa payung sendiri.”
Mereka tertawa pelan bersamaan. Tawa yang tulus. Tawa yang hangat.
Sesampainya di halte, Nino memberanikan diri untuk menggenggam tangan Aira sebentar—tidak lama, tapi cukup untuk membuat jantung keduanya berdegup kencang. Aira tidak menarik tangannya, malah menggenggam balik.
“Janji, ya?” ucap Aira pelan.
“Janji,” jawab Nino mantap.
Hujan semakin deras. Tapi di dalam hati mereka, sesuatu sedang tumbuh—pelan, tapi nyata. Bukan sekadar pertemanan, bukan sekadar kebetulan. Ini adalah awal dari cinta pertama yang lahir di bawah langit basah.
Hujan masih sering turun di kota kecil itu. Tapi setiap kali rintik air membasahi tanah, hati Nino dan Aira seperti ikut bergetar. Bagi mereka, hujan bukan lagi cuaca biasa — hujan adalah kenangan, adalah awal dari semua cerita.
Malam itu, Nino duduk di meja belajarnya. Di samping buku-buku sekolah, tergeletak payung biru yang kini mulai sedikit usang di ujungnya. Ia menatapnya lama, seolah sedang berbicara dengan benda mati.
“Kalau bukan karena kamu,” gumamnya pelan, “aku mungkin gak akan berani dekatin dia.”
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Aira.
> Aira: “Besok ada acara sekolah. Kamu datang, kan?”
Nino: “Iya. Kenapa?”
Aira: “Soalnya… aku pengin kamu ada di sana.”
Pesan itu membuat jantung Nino langsung berdegup cepat. Ia membaca ulang pesan itu tiga kali untuk memastikan tidak salah baca. “Pengin kamu ada di sana.” Kalimat itu sederhana, tapi punya arti besar baginya.
---
Keesokan harinya, langit lagi-lagi mendung. Nino datang lebih awal ke halaman sekolah. Lapangan sudah dihias pita warna biru dan putih. Ada panggung kecil untuk acara pentas seni tahunan. Murid-murid sibuk latihan atau sekadar mengobrol santai.
Dari kejauhan, Aira muncul. Rambutnya dikuncir setengah, seragamnya rapi. Tapi yang paling membuat Nino terpaku adalah senyumnya — sama seperti pertama kali saat hujan turun. Ia melambai ke arah Nino dan berlari kecil menghampiri.
“Nino!” panggilnya ceria.
Nino berdiri canggung, tapi tak bisa menahan senyum. “Kamu cantik banget hari ini.”
Wajah Aira langsung memerah. Ia pura-pura menunduk, tapi matanya tak bisa menyembunyikan rasa bahagia. “Makasih…”
Tiba-tiba, langit menggelap lagi. Suara petir samar terdengar dari kejauhan. Semua murid saling menatap dan tertawa kecil — sepertinya hujan akan datang di tengah acara. Aira menoleh ke Nino.
“Hujan lagi, ya?” katanya sambil tersenyum.
“Kayaknya iya. Hujan suka banget sama kita,” jawab Nino setengah bercanda.
Acara pun dimulai. Musik, tarian, dan sorak-sorai memenuhi halaman sekolah. Saat giliran Aira tampil menyanyi, Nino duduk di barisan depan, matanya tak lepas dari gadis itu. Suara Aira lembut, jernih, dan penuh perasaan. Setiap lirik terasa seperti sedang diarahkan padanya.
Ketika lagu selesai, butiran hujan pertama mulai turun. Semua orang heboh membuka jas hujan atau berlarian ke atap terdekat. Tapi Aira justru mendekati Nino.
“Hujan datang pas aku nyanyi. Kayaknya ini tandanya bagus,” ucapnya.
Nino membuka payung biru yang selalu ia bawa, lalu mengangkatnya di atas mereka. “Kalau hujan turun, tempat yang paling nyaman ya di sini,” katanya pelan.
Aira berdiri di sampingnya, lagi-lagi sedekat dulu. Tapi kali ini, Nino tak sekadar gugup. Ada keberanian yang tumbuh dalam dirinya. “Aira…” panggilnya.
Aira menoleh. Mata mereka bertemu. Rintik hujan di sekitar seakan meredam semua suara lain, menyisakan detak jantung mereka berdua.
“Kenapa kamu suka payung biru itu?” tanya Aira tiba-tiba.
Nino terdiam. Pertanyaan itu membawanya pada kenangan masa lalu — tentang ibunya yang dulu selalu menemaninya jalan di tengah hujan, dengan payung biru yang sama. Payung itu satu-satunya kenangan yang masih ia simpan sejak kecil.
“Itu…” suara Nino lirih, “payung ini dulu milik Mama. Mama suka hujan, katanya hujan bisa menyembunyikan air mata. Setelah Mama pergi, aku bawa payung ini terus. Biar aku gak ngerasa sendirian.”
Aira membeku sesaat. Ia menatap payung itu dengan lembut, lalu menatap Nino. “Jadi… aku selama ini ada di bawah payung yang punya cerita ya?”
Nino mengangguk pelan. Matanya sedikit berkaca. “Tapi sejak kamu pertama kali nebeng payung ini, aku ngerasa… aku gak jalan sendirian lagi.”
Aira menutup jarak di antara mereka sedikit lebih dekat. “Mulai sekarang, aku mau jadi bagian dari cerita itu.”
Hujan makin deras. Tapi di bawah payung biru, kehangatan justru semakin kuat. Di tengah riuh acara, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
---
Hujan turun semakin deras. Suara rintiknya menghantam tanah, atap, dan dedaunan, menciptakan simfoni alami yang menenangkan. Di bawah payung biru itu, Nino dan Aira berdiri sangat dekat. Begitu dekat, hingga suara napas mereka bisa saling terdengar.
Aira memeluk lengannya sendiri, menahan dingin. Nino yang melihat itu langsung mengangkat payungnya lebih dekat dan merangkul bahu Aira secara perlahan. Gerakan itu kecil… tapi membuat jantung mereka berdua berdetak cepat.
“Dingin, ya?” tanya Nino pelan.
Aira menoleh dengan pipi sedikit memerah. “Iya… tapi sekarang udah agak hangat.”
Mereka berdua tertawa kecil. Tawa pelan yang hanya bisa dimengerti oleh dua orang yang sedang jatuh cinta.
“Lucu ya,” kata Aira tiba-tiba.
“Apa yang lucu?”
“Dulu waktu pertama kali aku nebeng payung kamu, aku cuma pengin gak kehujanan. Tapi sekarang… rasanya aku gak pengin hujan ini berhenti.”
Nino terdiam. Kalimat itu seperti petir kecil yang menyambar hatinya — bukan menyakitkan, tapi menyadarkan sesuatu: Aira juga merasakan hal yang sama.
“Aira…” suara Nino bergetar halus.
“Hmm?”
“Kalau aku bilang… aku suka sama kamu… kamu bakal marah gak?”
Aira membeku sesaat. Tatapannya langsung bertemu dengan tatapan Nino. Mata gadis itu berkilau oleh pantulan air hujan dan lampu panggung yang redup.
“Aku gak bakal marah,” jawabnya pelan. “Soalnya… aku juga ngerasain hal yang sama.”
Hujan seperti berhenti sesaat. Waktu seakan melambat. Di antara suara rintik, langkah-langkah orang yang berlari, dan bau tanah basah… hanya ada dua hati yang berdetak serempak.
Nino tersenyum lega, meski gugupnya belum hilang. “Serius?”
Aira mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Nino. Aku suka sama kamu… dari hujan pertama kita bareng.”
Payung biru itu bergeser sedikit saat Nino menunduk untuk melihat wajah Aira lebih jelas. Aira pun menatapnya balik, tidak ada lagi canggung, hanya ketenangan.
“Mulai sekarang,” ucap Aira pelan, “setiap hujan turun, aku mau bareng kamu.”
Nino mengangguk, hampir tanpa suara. “Aku janji… aku bakal selalu jagain kamu, di bawah payung ini… dan di luar hujan sekalipun.”
Hujan terus turun, tapi bagi mereka, dunia terasa lebih hangat. Di tengah keramaian yang berlarian mencari tempat berteduh, mereka berdiri tenang — seakan hujan adalah rumah mereka.
Aira menyandarkan kepalanya di bahu Nino. Payung biru itu menutupi mereka dari derasnya air, tapi tidak menutupi keindahan momen kecil yang akan mereka kenang selamanya.
---
Hari-hari setelah acara pentas seni terasa seperti mimpi indah bagi Nino dan Aira. Setiap hujan turun, mereka selalu berjalan bersama di bawah payung biru itu. Mereka mulai sarapan bareng di kantin, saling menunggu sepulang sekolah, dan bertukar pesan hingga larut malam.
Tapi seperti langit yang tak selalu cerah, cinta pun punya ujian.
---
Suatu pagi, Aira terlihat berbeda. Ia datang ke sekolah dengan wajah murung, matanya sembab seperti habis menangis semalaman. Saat Nino menyapanya di depan kelas, Aira hanya tersenyum kecil—senyum yang dipaksakan.
“Kamu kenapa?” tanya Nino pelan, khawatir.
“Gak apa-apa,” jawab Aira singkat.
“Beneran gak apa-apa?”
Aira menatapnya sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke arah jendela. “Iya… aku cuma lagi capek.”
Tapi Nino tahu, itu bukan jawaban jujur. Ia hapal cara Aira bicara. Biasanya, gadis itu ceria dan terbuka. Tapi hari ini… seperti ada tembok tinggi yang tiba-tiba berdiri di antara mereka.
---
Siang itu, hujan turun deras lagi. Namun untuk pertama kalinya, mereka tidak berjalan bersama. Aira memilih pulang lebih dulu, tanpa pesan, tanpa nebeng payung. Nino berdiri di depan gerbang dengan payung biru di tangan, tapi tak ada Aira di sampingnya. Payung itu terasa lebih berat dari biasanya.
Keesokan harinya, gosip mulai terdengar. Teman-teman sekelas berbisik tentang Aira yang katanya akan pindah sekolah. Nino mendengar bisikan itu dengan jantung berdebar. Ia menunggu Aira di depan kelas, tapi gadis itu menghindar.
Akhirnya, saat sore menjelang hujan lagi, Nino memberanikan diri menghampirinya di taman sekolah yang sepi.
“Aira… bener kamu mau pindah?” tanya Nino dengan suara bergetar.
Aira terdiam lama, lalu mengangguk pelan. “Iya, Nino. Papa dipindah kerja. Aku harus ikut.”
Kata-kata itu menghantam dada Nino seperti petir di tengah badai. “Tapi… kenapa kamu gak bilang dari awal?”
Aira menunduk. “Aku gak tahu harus ngomong gimana. Aku takut kalau aku bilang, kita bakal jauh sebelum waktunya.”
Nino mengepalkan tangannya. Hujan mulai turun pelan, membasahi dedaunan. “Aku pikir… kita akan terus bareng. Aku pikir hujan selalu bakal jadi milik kita.”
Aira mendongak, matanya berkaca-kaca. “Nino, aku gak pernah bohong tentang perasaan aku. Aku sayang kamu. Tapi kenyataannya… aku gak bisa milih.”
Tetesan air hujan bercampur dengan air mata yang mengalir di pipi Aira. Nino berdiri kaku, menggenggam payung biru itu erat-erat seolah tak ingin kenyataan memisahkan mereka.
“Kalau gitu… ini akhir kita?” suara Nino pelan, nyaris tenggelam oleh suara hujan.
Aira menggeleng. “Bukan akhir. Hujan gak pernah benar-benar hilang. Dia cuma pindah tempat turun. Aku bakal tetap inget setiap rintiknya… dan kamu.”
Nino menatap gadis itu lama—wajah yang selama ini selalu ada di sampingnya saat hujan. Ia tahu, cinta pertama tidak selalu punya akhir bahagia. Tapi kenangan yang lahir darinya… akan selamanya hidup.
---
Beberapa hari kemudian, Aira benar-benar pindah. Hari terakhirnya di sekolah, hujan turun lagi. Nino berdiri sendirian di halte yang biasa mereka lewati, dengan payung biru di tangan dan hati yang berat.
Hujan tetap turun, tapi kali ini… tak ada Aira di sampingnya.
---
Sejak hari Aira pindah, hujan tidak lagi terasa sama. Payung biru itu masih Nino bawa setiap kali langit mendung, tapi bukan untuk berteduh… melainkan untuk mengenang.
Minggu demi minggu berlalu. Nino tetap berjalan pulang sendiri di bawah hujan. Ia melewati jalan yang dulu mereka lewati berdua — halte kecil, taman dengan bangku kayu, hingga jembatan dekat sungai. Semua tempat itu kini sepi.
Terkadang, saat rintik hujan menyentuh wajahnya, ia menutup mata dan seolah bisa mendengar suara tawa Aira di sampingnya.
---
Di rumah, payung biru itu tergantung di belakang pintu kamar. Nino tidak pernah menggantinya, tidak pernah membeli yang baru. “Selama hujan turun,” pikirnya, “aku bakal tetap ingat Aira.”
Meski jarak memisahkan, Aira sesekali mengirim pesan. Tapi semakin lama, pesan itu makin jarang. Bukan karena lupa, tapi karena hidup membawa mereka ke arah yang berbeda. Namun, tidak ada satu hari pun Nino melewati hujan tanpa mengingat janji kecil di bawah payung itu.
---
Tiga tahun kemudian…
Nino kini duduk di bangku kelas 3 SMA. Ia sudah tumbuh lebih dewasa. Payung biru itu mulai usang dan warnanya memudar, tapi ia masih menyimpannya dengan hati-hati.
Hari itu hujan turun sangat deras. Kota seperti kembali ke masa lalu. Anak-anak sekolah berlarian mencari tempat berteduh. Nino berdiri di halte yang sama—tempat semuanya dimulai. Ia membuka payung biru itu, menatap langit, lalu tersenyum getir.
“Kalau kamu ada di sini, Aira…” gumamnya lirih, “aku pasti gak akan sendirian.”
Tapi saat ia hendak melangkah pulang, suara langkah seseorang terdengar dari belakang. “Payung kamu… masih sama, ya.”
Deg. Nino membeku. Ia mengenal suara itu.
Perlahan ia menoleh. Di balik kabut hujan, berdiri sosok yang selama ini ia tunggu — Aira. Rambutnya kini lebih panjang, wajahnya lebih dewasa, tapi senyumnya… tetap sama seperti dulu.
“Aira?” suara Nino bergetar.
Aira tersenyum lebar meski matanya berkaca. “Aku balik.”
---
Hujan deras tak mampu menyembunyikan keharuan di antara mereka. Aira melangkah pelan mendekat, seperti takut semua ini hanya mimpi. Nino masih berdiri kaku, payung biru di tangannya bergetar ringan.
“Kamu beneran… Aira?”
Aira mengangguk pelan. “Iya. Papa dipindah kerja lagi ke kota ini. Aku sekarang sekolah di sini.”
Nino tak tahu harus bicara apa. Semua kata seolah hilang disapu derasnya hujan. Tapi matanya berbicara—rindu, bahagia, haru—semuanya tumpah jadi satu.
Aira mendekat, lalu berdiri di bawah payung yang sama. Sama seperti dulu…
“Payung ini,” ucap Aira lirih, “kamu masih simpan.”
“Gak pernah aku buang,” jawab Nino pelan. “Karena itu… satu-satunya cara aku ngerasa kamu masih ada di sini.”
Aira tersenyum, lalu menunduk sedikit. “Aku juga gak pernah lupa. Tiap hujan turun di kota lain, aku selalu inget kamu.”
---
Mereka mulai berjalan berdampingan, seperti tiga tahun lalu. Tapi kali ini tidak ada gugup, tidak ada canggung. Hanya ketenangan yang dalam. Hujan membasahi kota, tapi payung biru itu menutupi dua hati yang kini sudah jauh lebih kuat.
“Aku pikir kita gak bakal ketemu lagi,” kata Nino.
“Aku juga,” jawab Aira. “Tapi ternyata… hujan punya caranya sendiri untuk nyatuin kita.”
Langkah mereka berhenti di depan taman kecil — tempat mereka pertama kali berbagi tawa. Aira menatap Nino dalam-dalam. “Nino, aku masih sayang kamu. Dari dulu sampai sekarang.”
Nino menarik napas dalam. “Aku juga, Aira. Aku nunggu kamu bukan cuma karena janji di bawah payung… tapi karena aku percaya, cinta pertama gak akan hilang begitu saja.”
Hujan pelan mulai reda, menyisakan sisa rintik yang lembut. Nino menutup payungnya perlahan. Aira mendongak ke langit yang basah, lalu menatapnya dengan senyum yang sama seperti hari pertama.
Di tengah sisa hujan dan langit mendung, mereka saling menggenggam tangan. Tidak ada kata-kata yang panjang, hanya genggaman yang dalam dan janji tanpa suara.
---
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi yang akhirnya jadi nyata. Mereka kembali berjalan di bawah payung biru setiap kali hujan turun — seperti melanjutkan cerita yang sempat berhenti di tengah jalan.
Namun kini mereka bukan lagi dua remaja gugup. Mereka adalah dua hati yang pernah diuji oleh waktu dan jarak… tapi tak pernah berhenti mencintai.
Aira pernah bilang,
> “Hujan gak pernah benar-benar hilang. Dia cuma pindah tempat turun.”
Kini Nino paham maksudnya. Cinta mereka pun sama—tidak pernah hilang. Hanya menunggu waktu untuk kembali turun, di tempat yang sama, di hati yang sama.
---
✨ EPILOG — Payung Biru ✨
Bertahun-tahun kemudian, payung biru itu tetap disimpan dengan rapi. Warnanya semakin pudar, tapi kenangannya tetap hidup. Setiap hujan turun, mereka berdua selalu berjalan bersama—bukan lagi sebagai anak sekolah, tapi sebagai dua jiwa yang tumbuh bersama.
Langit basah bukan lagi sekadar cuaca.
Langit basah adalah saksi cinta pertama mereka.
Dan cinta pertama itu… menjadi cinta terakhir. 🌧️💙
---
📖 TAMAT 📖