Aku membayangkan planet Merkurius, terlalu dekat dengan Matahari, panas sekali–mungkin. Pupilku membesar seperti tengah kertas yang terbakar, menjalar paras Hanum yang manis. Aku penasaran dengan Hanum.
Tubuh yang berisi itu berdiri tepat di samping pohon kelapa. Hanum memakai pakaian berkain, bibirnya seperti tomat segar. Sesekali Hanum berbicara, sesekali juga ia hanya mendengar lawan bicaranya. Mataku lekat, tak sesekali aku berpaling, bahkan dinginnya es podeng pun aku tak membayangkan planet Pluto. Hanya Hanum dan besar pupil mataku yang panas.
Sepatah dua patah Hanum kembali berbicara kepada lawan bicaranya, pemain bulu tangkis antar kecamatan. Seorang suami muda yang Hanum kenal saat berada di toko vinyl. Setahuku, mereka hanya sekadar teman sharing musik bossanova.
"Ayah, es podeng", istri pemain bulu tangkis itu datang membawakan es podeng pada suaminya itu. Lalu ia menyapa Hanum dengan tulus. "Hanum semakin segar, aku suka orang yang sehat sepertimu".
"Iya, aku senang menyantap bossanova, bukannya masuk ke jiwaku, malah ke lemakku yang jaya ini", Hanum bangga.
Aku membayangkan planet Pluto, seseorang yang tidak diakui sepertiku, jauh dari Merkurius, dan dingin. Dan suatu pertanyaan tak lain tentang diriku, "aku tidak diakui, akankah ini akan benar-benar berakhir?"
Bossanova Jawa mendendangi telinga seluruh orang di taman yang meriah tapi sederhana ini. Lampu-lampu dan bunga-bunga menyerbak, begitu juga Hanum di mataku. Pemain bulu tangkis dan istrinya pergi mengambil sup matahari. Hanum sendiri masih di samping pohon kelapa, mengangguk-anggukkan kepalanya. Lagu Terminal Tirtonadi versi bossanova itu membuat semiotika "iya" pada Hanum. Memang iya, memang mengangguk, dan memang Pluto.
Pluto itu ada di dalam bus, menuju Solo. Hanum duduk di samping kernet bus, tak kedapatan kursi, maklum ia menaiki bus ekonomi dari Surabaya. Saat itu, aku berdiri, memandangi Hanum yang memenuhi tempatnya. Manis sekali, berjoget maju mundur karena laju bus yang tak pasti. Seperti Matryoshka yang tak dibuka isinya.
Sepanjang jalan penumpang silih berganti, Hanum lebih memilih duduk samping kernet, sedang aku sudah mendapat kursi di belakang sopir. Laju bus yang tak pasti mengaburkan pandangan ekor mataku. Alih-alih melihat Hanum secara langsung, aku memilih berpura-pura memberi koin sisa di dompet untuk pengamen yang posisinya berada di sudut yang sama dengan Hanum.
Tujuan kami waktu itu sama, Kota Solo, terminal Tirtonadi. Hanum turun begitu saja, memegang helm milik ojek pengkolan, pergi entah ke sudut kota yang mana. Aku mengambil motorku, berharap bisa tetap menjaga laju Hanum, namun aku terhalang lampu merah. Setelah itu aku tak tahu di mana Hanum.
Saat ini, mungkin mukjizat bertemu kembali dengan Hanum. Ia tetap manis, wajah Indonesianya pas sekali. Pakaian saat ini menambah estetika dirinya. Bossanova masih berdendang. Hanum beranjak dari pohon kelapa, duduk di atas replika batu, kehabisan kursi. Mirip sekali dengan di bus waktu itu.
"Hanum, es podeng!" Istri pemain bulu tangkis itu datang kembali membawakan es podeng pada Hanum yang dari tadi tak menyantap apapun.
"Itu dingin, tapi tak apa", Hanum menerima dengan dua tangannya. "Terima kasih, mungkin aku abai dengan dietku sekarang, sesekali, kan?"
"Kau harus tetap makan, ini momen, kapan lagi", istri pemain bulu tangkis itu menyetujuinya.
Malam semakin meriah, bossanova Jawa berganti judul lagu. Setelah mengambil jamuan, orang-orang berdansa kecil. Melenggok ke kanan dan ke kiri dengan senyuman elegan bersama baju yang didominasi oleh batik.
Angin malam menyapa lembut, menyibak seikat helai rambut Hanum yang menjuntai. Hanum di mataku, semakin manis ia diterpa angin. Pipinya yang merah pula itu terlihat jelas. Aku masih penasaran.
Ia kini berdiri, berlenggok dengan yang lainnya. Ia membuka tutup ke kanan dan ke kiri kakinya. Kedua tangannya menyatu di depan perutnya. Kepalanya tetap mengangguk-angguk.
Pemain bulu tangkis dan istrinya mengibaskan tangan dari jauh. "Hanum! Kami pulang dulu!"
"Iya!" Hanum mengibaskan tangannya juga.
Tapi saat ia mengangkat tangannya itu, jarik yang dipakainya melorot lalu jatuh. Kini ia terlihat legingnya dan Pluto itu semakin menjauh.
"Aduh, nak, mama malu", Hanum segera mengambil jariknya lalu mengusap perutnya. Semua orang yang melihat tertawa, aku hanya senyum biasa.
Pluto itu di mataku saat ia menelepon."Sayang, aku malu, tolong jemput aku" Hanum sudah bersuami.
"Sayang, kenapa kamu terlihat tak semangat, ini sekali seumur hidup, lho!" Ujar istriku dalam pesta pernikahan kami.