Pagi itu terasa berat. Langkah kaki seperti menyeret batu.
Segala hal yang dulu terlihat pasti, tiba-tiba runtuh tanpa aba-aba.
Harapan yang dulu dipeluk erat kini berubah jadi bayangan tipis — nyaris tak tersentuh.
Aku pernah percaya bahwa kerja keras selalu berujung manis. Tapi kenyataannya, dunia tak selalu memihak yang berjuang. Kadang, usaha sekuat tenaga tetap berakhir dengan kata “gagal.”
Dan hari itu, aku menatap hasil yang tak sesuai impian. Semua terasa sia-sia.
Beberapa hari setelahnya, aku hanya duduk diam.
Menatap langit-langit, mendengarkan suara hujan yang jatuh tanpa jeda.
Dalam diam itu, aku sadar — bukan hujan yang menyedihkan, tapi aku yang tak lagi mau menari di bawahnya.
Sampai suatu pagi, cahaya kecil menembus jendela.
Aku berdiri, menatap pantulan wajah sendiri di kaca.
Lelah, tapi masih hidup. Terluka, tapi masih di sini.
Dan di situlah aku belajar satu hal: jatuh bukan akhir, tapi jeda untuk belajar berdiri lebih kuat.
Langkah pertamaku setelah itu terasa canggung, seperti anak kecil yang baru belajar berjalan. Tapi setiap langkah kecil adalah bukti bahwa aku belum menyerah.
Perlahan, aku mulai menata kembali hal-hal yang dulu berserakan — mimpi, keyakinan, dan keberanian.
Kini, ketika menoleh ke belakang, aku tidak lagi melihat kegagalan.
Yang kulihat hanyalah perjalanan: tempat aku jatuh, lalu memilih untuk bangkit.
Dan mungkin, itulah kemenangan yang sebenarnya — bukan saat segalanya sempurna, tapi saat aku tak berhenti mencoba.
________
Pesan moral:
Kadang kita perlu terjatuh untuk mengerti arti berdiri. Gagal bukan kebalikan dari sukses — gagal adalah bagian dari perjalanan menuju sana.