"Kamu mau nggak berkencan dengan nya kalau dia mengajak?" Ucap Karina sahabat ku yang berusaha menjodohkanku dengan seorang pria.
"Dia bukan tipeku," jawabku sambil menatap kearahnya.
Seorang pria yang memakai kaus bergambar anime one pice, jelas sekali bahwa kaus itu sudah sering ia pakai karena warnanya yang tampak pudar. Ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit imitasi melingkar erat di pinggangnya yang kurus, membuat bagian atas jins kumalnya berkerut. Sepatu boots yang di pakainya merupakan satu-satunya benda yang terlihat baru.
"Tidak, dia bukan tipe pria yang bisa membuatku tertarik. Aku lebih menyukai pria berotot dan atletis. Pria idealku pasti mengenakan celana berbahan khaki dan baju kaus berkerah," ucapku dalam hati.
"Kenapa kamu tidak memberitahukan nomor teleponmu kepadanya?" Ucap Karina membuyarkan lamunanku.
"Benar juga, pikirku. Kenapa tidak?" Ucapku dalam hati. Aku sebenarnya telah dari jauh-jauh hari berencana untuk melewatkan liburan musim panas bersama Karina, tapi itu sebelum pacarnya melamarnya. Kini mereka sibuk membuat rencana pernikahan.
Karena aku tidak mempunyai rencana apa-apa pada musim panas ini, kenapa tidak pergi berkencan saja dengan pria ini, toh aku akan mendapat makan malam gratis, atau mungkin menonton film tanpa harus membayar dengan uangku sendiri. Sisi baik dalam diriku merasa ingin membantu meningkatkan kepercayaan diri pria malang ini. Apa salahnya, hubungan timbal balik ini sangat berguna bukan?
"Oke, aku akan memberitahukan nomor teleponku kalau dia memintanya," ucapku.
Karina kemudian pergi menemuinya dan memberitahukan semua hal itu padanya. Aku merasa seperti kembali ke masa dimana aku duduk di kelas satu SMA, bersama teman baik ku berbicara tentang pria tampan.
"Katty menyukaimu, kamu suka dia, nggak? Tanya Karina pada pria itu. Kini aku merasa seperti seorang pecundang, kenapa aku harus setuju dengan semua ini? Oh ya, aku merasa kasihan kepadanya. Kencan kami hanya didasarkan rasa belas kasihan.
Walaupun dia saat itu tertarik kepadaku, namun sepanjang malam itu dia sama sekali tidak berbicara apa pun.
"Mungkin dia benar-benar lelaki pendiam, atau benar-benar pemalu," pikirku.
Setelah untuk kesekian kalinya kupandnagi dia, aku tahu bahwa dia tipe laki-laki yang sangat pemalu, mungkin dia merasa terlalu malu untuk menanyakan nomor teleponku.
Ketika kami selesai dan akan pulang, aku bangkit berdiri untuk membayar bagianku dari makanan dan minuman yang tadi kumakan, dia juga berdiri dan dengan gaya yang sangat kikuk bejalan mendekatiku.
"Bolehkah aku meminta nomor teleponmu?" Ucapnya dengan suara bergetar dan ada setitik keringat di dahinya.
"Tentu," kata itu keluar begitu saja dari mulutku.
Dia pun tersenyum lebar waktu aku menyebutkan nomor teleponku.
"Aku akan meneleponmu,mungkin kita bisa pergi lagi Minggu depan," ucapnya.
"Ya, mungkin," jawabku sambil berjalan menuju pintu keluar.
Dia tidak meneleponku keesokan harinya, dan juga keesokan harinya lagi. Pada mulanya aku merasa lega, tapi lama kelamaan aku marah. Setiap hari yang berlalu tanpa dia meneleponku, aku tambah merasa marah. Aku bersedia pergi berkencan dengannya hanya agar dia tidak merasa kecewa, berani benar dia tidak meneleponku setelahnya!.
Enam hari kemudian aku mengangkat telepon yang berbunyi dan ternyata dia yang meneleponku.
"Jadi, bisakah besok kita bertemu dan pergi denganku?" Tanya nya.
"Boleh," jawabku. Aku terkejut dengan jawabanku tersebut, rencananya bukan itu jawaban yang akan ku berikan seandainya dia meneleponku.
"Kita mau kemana?" Tanya ku.
"Bagaimana kalau kita makan malam dak menonton film, aku kan menjemputmu jam tujuh!" Ucap nya.
"Oke," jawabku.
Dia tiba di depan rumahku dengan membawa seikat bunga, lalu mengetuk pintu rumah dan dibukakan oleh ayahku. Aku merasa lega karena penampilannya tidak seperti pertama kali kami bertemu, celana abu-abu dan kaus berkerah warna hitam.
Aku belum merasa yakin dengan rencana kami,tapi ketika aku masuk kedalam mobilnya yang di wariskan oleh kakeknya, aku memutuskan untuk menjalaninya dan bersenang-senang.
Dan yang membuatku terkejut ialah malam ini aku benar-benar senang, malah aku merasa malam ini merupakan kencan terbaikku. Memang pada awal-awal nya kami merasa canggung, namun setelah nya kamu banyak berbicara tentang banyak hal. Ternyata dia lucu dan kami mempunyai banyak persamaan, ada semacam ikatan diantara kami berdua dan aku merasa kecewa ketika kami harus mengakhiri kencan kami malam ini.
Dia meneleponku keesokan harinya dan berterimakasih untuk kencan yang indah malam tadi. Dan seperti yang ku harapkan dia mengajak ku untuk berkencan lagi...lagi...dan lagi, tanpa kami sadari dua tahun telah berlalu. Dia mengajakku untuk melewatkan tiap malam bersama-sama sepanjang hidup kami dan aku menyetujuinya.
Dua tahun yang lalu aku berkencan dengan pria yang bukan tipe ku, dua tahun kemudian aku menikah dengan pria yang benar-benar cocok denganku. Terkadang aku masih merasa tidak percaya bahwa keduanya adalah pria yang sama. Dia bukan pria yang sering kuimpikan tapi dia jauh lebih baik dari apa yang ku khayalkan semasa kecil. Pria impianku mungkin ada di suatu tempat di luar sana, tapi belahan jiwaku ada disini di sampingku.
~SELESAI~