Aku melangkahkan kakiku dengan mantap untuk menghadiri pesta ulang tahunnya. Ulang tahun ia yang dahulu kusebut sahabat, dia yang selalu ada untukku, dia yang menjadi segalanya bagiku.
Rumah kecilnya yang diselimuti dengan kehangatan keluarga itu tampak sangat ramai. Kuraih gagang pintu yang dingin ini, lalu menghadirkan diriku dibaliknya. Begitu aku memasuki ruang tamu, lima gadis dengan dengan piyama berbagai warna, bercengkrama penuh tawa. Nancy pasti telah menemukan teman baru.
Semua mata tertuju padaku begitu mereka menyadari kehadiranku. Tidak terkecuali mata cokelat hazel yang dahulu selalu bersinar penuh kasih itu. Kini, kilau mata itu perlahan meredup hinga hampir tak tersisa lagi. Ia meremas celana piyama birunya dengan kepala tertunduk sebelum akhirnya ia mengangkat kepalanya dan perlahan berjalan ke arahku tanpa sedikit pun senyuman. Seolah ia mempertanyakan keberadaanku di tengah mereka.
“Maaf karena datang larut malam. Aku datang untuk memenuhi janjiku,” ucapku, bahkan sebelum ia bertanya.
Pandangannya hanya tertuju pada kedua tanganku yang bersembunyi di balik saku mantel cokelatku.
Aku akan memberikan sebuah hadiah istimewa yang akan selalu ia ingat saat ulang tahunnya yang ke-17. Aku mengucapkan janji itu dua tahun lalu—yang mungkin menjadi tahun terakhir kebersamaan kami.
“Aku harusnya tahu bahwa hubungan seseorang bisa berubah tak peduli berapa lama mereka saling mengenal. Tapi, aku tidak menyangka kalau kau akan mengkhianati kepercayaanku, pergi menjauh dan melupakanku. Aku tak ingin hubungan kita menjadi seperti ini. Aku minta maaf, Nance, aku juga sudah memaafkanmu, aku tidak peduli kau memiliki banyak teman baru. Tapi, aku mohon, jangan lupakan aku.”
Ia hanya termenung sejenak sebelum akhirnya menatapku dan berkata, "Tidak, Kelly. Aku tidak ingin melihatmu lagi seumur hidupku."
Dari segala kata yang bisa kau katakan, mengapa kau harus mengatakan hal yang paling tidak ingin kudengar, Nancy?
Pandanganku mulai buram karena air mata yang mulai menggenangi pelupuk mataku.
“Begitu, ya?” aku menghela napas. “Ya, lagipula, aku kemari hanya untuk menepati janji ku. Nancy, terimakasih telah menjadi temanku selama ini,” ucapku seraya mengeluarkan tanganku beserta barang yang sedari kugenggam bersamanya dari dalam sakuku.
Kuarahkan pistol selebar 5,94 inci itu ke arah perutnya. Para gadis yang berada di ruangan itu segera berhamburan keluar.
Mata indah Nancy membulat sempurna dengan kedua alis yang tertaut, “Kelly, apa yang kau—”
“Aku tahu, tak ada hal yang membuat keinginanku terwujud, tapi, Nancy, setidaknya … aku takkan membiarkanmu melupakanku begitu saja.”
Dengan tangan bergetar, aku mengarahkan ujung pistol yang kucuri dari laci ayahku itu tepat ke pelipisku. Aku menekan pelatuknya, namun belum sepenuhnya menariknya.
Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat, air mata yang mulai mengalir deras membasahi pipinya. Wajahnya terlihat pucat pasi. “Kelly, kumohon …”
“Jika hanya kebencian, rasa takut, dan kenangan pahit yang mampu menghadirkan sosokku dalam bayangmu, aku bersedia melakukan ini. Lagipula, tidak ada yang dapat aku lakukan lagi. Aku tahu, aku begitu egois, maafkan aku, Nancy. Kau takkan pernah lepas dari cengkramanku meski aku mati. Kau harus menyelesaikan apa yang telah kaumulai.”
Ketahuilah, aku menyayangimu. Aku akan memberimu …
“Ini adalah hadiah terakhir yang dapat kuberikan. Seperti yang pernah aku katakan sebelumnya, aku akan memberimu hadiah yang paling berkesan untuk ulang tahunmu yang ke-17,” bisikku, tepat di telinganya.
… hadiah ulang tahun paling berkesan.
Nancy mundur selangkah, lalu membeku di hadapanku dengan tatapan kosong dan napas tercekat sementara suasana menjadi hening, sunyi.
“Happy sweet seventeen, Teman. Ingatlah hari ulang tahunmu sebagai hari kematianku. Ini adalah hadiah dariku untukmu, seperti yang telah aku janjikan sebelumnya.”
Dengan jari telunjuk yang masih gemetar, aku mengerahkan seluruh kekuatanku, menarik pelatuk. Dalam hening yang mencekam, sebuah kilatan cahaya menyambar, diikuti suara ledakan kecil yang terdengar begitu keras di telinga.
“Bagaimana, Nance? bagaimana pun kesannya, ini … akan menjadi kesan yang … luar biasa. Benar, kan?"
Nancy berdiri mematung menyaksikan tubuhku yang tergeletak bersimbah darah di lantai, sebelum akhirnya ia berlari menjauh dengan isakan tangis.
Dunia di sekitar mulai meredup, hanya menyisakan bayang terakhir dari sosok yang mulai menjauh … sebelum akhirnya, semuanya benar-benar gelap.